Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Pengusaha memiliki kewajiban melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP) apabila sampai dengan suatu bulan dalam tahun buku jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp4,8 miliar.
Perlu dipahami, pengukuhan PKP dengan batasan omzet Rp4,8 miliar memperhatikan penyerahan barang kena pajak (BKP) dan/atau jasa kena pajak (JKP). Artinya, angka omzet Rp4,8 miliar tidak termasuk penyerahan-penyerahan non-JKP atau non-BKP.
"Jika terdapat penyerahan non-JKP dan/atau non-JKP, tidak masuk dalam penghitungan batasan penghasilan bruto Rp4,8 miliar," kata contact center DJP saat menjawab pertanyaan netizen, dikutip pada Sabtu (25/2/2023).
Pernyataan DJP di atas menjawab pertanyaan seorang netizen di Twitter. Seorang netizen bertanya perihal penghasilan minimum perusahaan untuk bisa ditetapkan sebagai PKP.
"Apakah penghasilan minimal Rp4,8 miliar itu seluruh penghasilan perushaaan atau hanya yang menjadi objek PPN?" tanya seorang wajib pajak tersebut.
Netizen itu lantas memberikan sebuah ilustrasi kasus. Misalnya, sebuah resort memiliki penerimaan bruto Rp5 miliar dari sewa kamar. Artinya, penghasilan tersebut objek pajak daerah. Kemudian, ada juga penghasilan bruto Rp2 miliar dari pemberian jasa diving kepada wisatawan. Artinya, penghasilan tersebut objek PPN. Jika ditotal, resort tersebut sudah memiliki penghasilan di atas Rp4,8 miliar sesuai batas pengukuhan PKP.
"Apakah bisa dikatakan resort tersebut sudah seharusnya PKP?" tanya netizen tersebut.
Jika mengacu pada ketentuan yang ada, penghasilan yang merupakan objek PPN hanyalah yang berasal dari penyerahan jasa diving.
Untuk diketahui, threshold PKP yang senilai Rp4,8 miliar telah berlaku sejak 1 Januari 2014 sesuai dengan PMK 197/2013. Sebelumnya, threshold PKP yang berlaku di Indonesia hanya senilai Rp600 juta.
Dengan berlakunya UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), pemerintah sesungguhnya memiliki opsi untuk mulai mewajibkan UMKM memungut dan menyetorkan PPN dengan mekanisme yang lebih sederhana, yakni dengan skema PPN final.
Sebagaimana diatur pada Pasal 9A ayat (1) UU PPN s.t.d.t.d UU HPP, PKP dengan peredaran usaha tak lebih dari jumlah tertentu dapat memungut dan menyetorkan PPN yang terutang atas penyerahan barang dan jasa menggunakan besaran tertentu.
Untuk mengimplementasikan pasal ini, Kementerian Keuangan harus menerbitkan aturan lebih lanjut dalam bentuk PMK. (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.