KONSENSUS PAJAK GLOBAL

Penerapan Pilar 1 Amount A Butuh Aturan yang Berkepastian Hukum Tinggi

Dian Kurniati | Rabu, 09 Oktober 2024 | 16:17 WIB
Penerapan Pilar 1 Amount A Butuh Aturan yang Berkepastian Hukum Tinggi

Senior Specialist of DDTC Fiscal Research & Advisory Hamida Amri Safarina dalam focus group discussion (FGD) Kesiapan dan Kebijakan Pemerintah dalam Pengenaan Pajak Digital di Indonesia oleh Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Rabu (9/10/2024).

JAKARTA, DDTCNews - Rencana penerapan Pilar 1 Amount A dari Two-Pillar Solution yang disusun OECD/G-20 BEPS Inclusive Framework diperkirakan akan memunculkan kompleksitas yang sangat tinggi.

Senior Specialist of DDTC Fiscal Research & Advisory Hamida Amri Safarina mengatakan kompleksitas Pilar 1 Amount A ini antara lain mencakup kompleksitas peraturan, potensi pajak berganda, dan beban administratif. Oleh karena itu, penerapan Pilar 1 Amount A akan membutuhkan ketentuan yang jelas dan berkepastian hukum tinggi.

"Kalau kepastian hukum dan ketentuan penerapannya sulit dipahami, penerapannya nanti juga akan sulit dilakukan," katanya dalam focus group discussion (FGD) Kesiapan dan Kebijakan Pemerintah dalam Pengenaan Pajak Digital di Indonesia oleh Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Rabu (9/10/2024).

Baca Juga:
Aturan BMAD Produk Canai Lantaian Asal Tiga Negara, Download di Sini!

Hamida mengatakan Pilar 1 Amount A bertujuan menjamin hak pemajakan dan basis pajak yang lebih adil dalam konteks ekonomi digital karena tidak lagi berbasis kehadiran fisik di yurisdiksi pasar. Yurisdiksi pasar akan mendapatkan hak pemajakan atas 25% dari residual profit yang diterima perusahaan multinasional yang tercakup pada Pilar 1 Amount A.

Pilar 1 semula disusun dengan cakupan perusahaan multinasional di bidang teknologi digital. Seiring berjalannya waktu, cakupannya meluas pada perusahaan dengan pendapatan global di atas EUR20 miliar dan profitabilitas di atas 10%.

Meski demikian, Pilar 1 Amount A baru akan berlaku apabila 30% negara yang mewakili 60% ultimate parent entity menandatangani dan meratifikasi multilateral convention (MLC). Adapun sejauh ini, negara seperti Amerika Serikat (AS) yang menjadi markas sebagian besar grup perusahaan multinasional masih enggan menandatanganinya.

Baca Juga:
Perkembangan Aturan PPh Final UMKM di Indonesia

Apabila nantinya Pilar 1 Amount A ini disepakati, dia menjelaskan terdapat 3 hal utama yang perlu menjadi perhatian. Pertama, kompleksitas peraturan yang tecermin dari jumlah halaman dan pasar dari MLC Pilar 1 Amount A beserta explanatory statement yang mencapai 850 halaman dan 53 pasal.

Kedua, potensi pengenaan pajak berganda karena Pilar 1 Amount A yang merujuk pada konsepsi formula apportionment hadir di tengah berlakunya ketentuan distribusi laba existing yang merujuk pada arm's length principle. Ketiga, beban administratif yang timbul dari penerapan Pilar 1 Amount A berkaitan erat dengan penyampaian SPT dan pembayaran pajak.

"Beban administratif ini banyak yang harus dipersiapkan, baik dari sisi perusahaan maupun pemerintah yang memang dia melakukan pemungutan pajak. Secara keseluruhan harus siap dan memiliki kepastian hukum dalam penerapannya," ujarnya.

Baca Juga:
Pemerintah Kaji Bentuk Insentif Pajak yang Sejalan dengan Pilar 2

Di sisi lain, Hamida menambahkan UN juga mencoba memberikan solusi untuk menghadapi persoalan pajak digital melalui pembentukan UN Tax Convention. Pasal 12B dalam UN Model bertujuan memberikan hak pemajakan atas penghasilan dari jasa digital otomatis (automated digital services/ADS) kepada negara domisili.

Menurutnya, Pasal 12B UN Model ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya antara lain memberikan cara pemajakan yang lebih sederhana sehingga akan menghasilkan penerimaan pajak yang lebih stabil atas penghasilan dari ADS.

Sementara untuk kelemahannya, kebijakan Pasal 12B UN Model dianggap tidak efisien dan tidak efektif diaplikasikan dalam beberapa situasi.

Baca Juga:
Meski Bukan Mandatory, Indonesia Dinilai Perlu Adopsi Pilar 1 Amount B

Dibandingkan dengan Pilar 1 Amount A, Pasal 12B UN Model dinilai lebih mewakili kepentingan negara-negara berkembang. Tak heran, beberapa negara maju seperti AS, Inggris, Jepang, dan anggota Uni Eropa menolaknya.

"UN dan OECD mencoba saling beriringan, tetapi kepentingannya berbeda. Secara tersirat, dalam konsep UN Model cenderung mendukung negara-negara berkembang," imbuhnya. (sap)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Kamis, 17 Oktober 2024 | 10:30 WIB DDTC EXCLUSIVE GATHERING 2024

Dibagikan Gratis, 2 Buku DDTC ITM 2024 Dwibahasa Telah Diluncurkan

Rabu, 16 Oktober 2024 | 14:20 WIB LITERATUR PAJAK

Cek Update Aturan Insentif PPN Rumah Tapak dan Rusun DTP di DDTC ITM

Rabu, 16 Oktober 2024 | 13:20 WIB BUKU PAJAK

Meninjau Aspek Keadilan dari Konsensus Pajak Minimum Global

Rabu, 16 Oktober 2024 | 11:30 WIB PERATURAN PAJAK

Aturan BMAD Produk Canai Lantaian Asal Tiga Negara, Download di Sini!

BERITA PILIHAN
Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:00 WIB TIPS PAJAK DAERAH

Cara Daftarkan Objek Pajak Alat Berat di DKI Jakarta secara Online

Selasa, 22 Oktober 2024 | 15:30 WIB AUSTRALIA

Bikin Orang Enggan Beli Rumah, Australia Bakal Hapus BPHTB

Selasa, 22 Oktober 2024 | 14:00 WIB KP2KP SIDRAP

Ubah Kata Sandi Akun Coretax, Fiskus: Tak Perlu Cantumkan EFIN

Selasa, 22 Oktober 2024 | 13:45 WIB KABINET MERAH PUTIH

Tak Lagi Dikoordinasikan oleh Menko Ekonomi, Kemenkeu Beri Penjelasan

Selasa, 22 Oktober 2024 | 13:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kenaikan Tarif PPN Perlu Diikuti dengan Transparansi Belanja

Selasa, 22 Oktober 2024 | 11:45 WIB LITERATUR PAJAK

Perkaya Pengetahuan Pajak, Baca 11 e-Books Ini di Perpajakan DDTC

Selasa, 22 Oktober 2024 | 11:45 WIB PERPRES 139/2024

Kemenkeu Era Prabowo Tak Lagi Masuk di Bawah Koordinasi Menko Ekonomi

Selasa, 22 Oktober 2024 | 11:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Anggota DPR Ini Minta Prabowo Kaji Ulang Kenaikan PPN Jadi 12 Persen

Selasa, 22 Oktober 2024 | 11:05 WIB KABINET MERAH PUTIH

Prabowo Kembali Lantik Pejabat Negara, Ada Raffi Ahmad dan Gus Miftah