JAKARTA, DDTCNews – Kabar pagi ini, Rabu (27/12) masih seputar pajak ekonomi digital. Sebagai bagian dari Inclusive Framework on Base Erosion and Profit Shifting (IFBEPS), Indonesia bersama negara lainnya telah sepakat memberi mandat kepada Task Force on Digital Economy (TFDE) untuk mengkaji perkembangan informasi, komunikasi dan teknologi (ICT) paling lama 2020.
Direktur Perpajakan Internasional Direktorat Jendral (Ditjen) Pajak John Hutagaol menjelaskan bahwa pilihan itu bukannya tanpa pertimbangan, pemerintah tak ingin gegabah, sebagai negara yang terikat dengan perjanjian Internasional, langkah menunggu kajian TFDE rampung dinilai paling tepat. Dalam hal itu, TFDE telah menganjurkan kepada negara anggota supaya memungut PPN berdasarkan transaksi ekonomi digital.
Indonesia sendiri tengah merancang aturan tentang ‘Tata Cara Pemajakan’ termasuk aspek kepabeanannya terhadap e-commerce. Sementara itu, Managing Partner DDTC Darussalam menganngap bahwa kebijakan terkait pemajakan ekonomi digital sebenarnya tinggal menunggu langkah dari pemerintah. Saat ini, menurutnya pemerintah memiliki dua pilihan, yakni mengambil langkah seperti yang dilakukan Inggris, India, dan Australia atau menunggu TFDE keluar.
Berita lainnya adalah mengenai kebijakan pajak AS yang patut dicermati. Berikut ulasan ringkas beritanya:
Agenda reformasi pajak Amerika Serikat (AS) yang diusung oleh Presiden Trump akhirnya disetujui Senat. Pengamat Pajak DDTC Bawono Kristiaji mengatakan reformasi yang akan mengubah sistem pajak AS itu memiliki beberapa poin menarik. Antara lain soal perubahan sistem pemajakan dari worldwide ke teritorial. Kedua, reformasi pajak AS di tengah upaya kerja sama pajak global akan menciptakan dinamika baru. Ketiga, reformasi pajak AS adalah gambaran tren reformasi pajak di berbagai negara di tiga tahun terakhir. Keempat, prospek keberhasilan kebijakan pajak AS bagi AS tetap ada, dan bagaimana efeknya ke nilai tukar, flow of capital, suku bunga hingga neraca pembayaran penting untuk dimonitor pemerintah. Dan terakhir, bagi Indonesia langkah AS merupakan alarm bahwa keleluasaan untuk mempertahankan tarif PPh badan 25% semakin menipis. Namun bukan berarti tarif harus diturunkan secara drastis. Penurunan tarif harus gradual dengan urgensi perluasan basis pajak secara tepat.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menjamin aturan pajak bagi pelaku industri e-commerce akan diterapkan secara berkeadilan untuk menciptakan level playing field yang sama dengan perdagangan konvensional. Skema pajak yang masih difinalkan di Ditjen Pajak, Ditjen Bea Cukai, dan Badan Kebijakan Fiskal ini tidak akan membuat dunia usaha menjadi gaduh. Enggar melanjutkan, pemerintah melalui Kementerian Keuangan akan berhati-hati dalam menyusun aturan pajak tersebut. Aturan ini bukan kepada pengenaan pajak jenis baru tapi lebih berkaitan dengan tata cara pemungutan pajak. Sebelumnya, Ditjen Pajak mengeluarkan Surat Edaran Nomor SE-62/PJ/2013 tentang Penegasan Ketentuan Perpajakan atas E-commerce. Ada empat model bisnis internet yang akan dikenai pajak berdasarkan surat itu, yaitu marketplace, classified ads, daily deal, dan peretail online.
Pemerintah belum juga merampungkan aturan teknis terkait pajak perusahaan yang bermain di sektor over the top (OTT) seperti Google, Facebook, dan Twitter. Mestinya regulasi dalam bentuk Peraturan Menteri Komunikasi dan Informasi itu rampung tahun ini. Tapi karena masalah administrasi yang belum tuntas, regulasi ini pun baru akan selesai pada tahun depan. Atau tepatnya di kuartal I-2018 nanti. Dalam pembentukan Permen ini juga turut membahas mengenai aturan baru mengenai KBLI (Klasifikasi Baku Lapangan Usaha). Sebelumnya pemerintah baru saja merampungkan aturan KBLI terbaru pada bulan Mei. Nantinya dalam Permen itu akan diatur penyedia layanan OTT harus membayar pajak, termasuk OTT Asing. Sebetulnya, Kemkominfo telah mengeluarkan Surat Edaran (SE) pada tahun lalu. yaitu SE Nomor 3 tahun 2016 tentang Penyediaan Layanan Aplikasi dan/atau Konten Melalui Internet (OTT). Kemkominfo memastikan seluruh penyedia layanan OTT harus membayar pajak, termasuk OTT Asing.
Menjelang tutup tahun, kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara masih menimbulkan rasa was-was. Baik dari sisi penerimaan maupun belanja diprediksi bakal meleset dari target. Sumber utama penerimaan negara, yakni pajak, baru terealisasi 82,5% hingga pertengahan Desember 2017. Hingga pengujung tahun, penerimaan pajak diprediksi kekurangan sekitar Rp110-130 triliun dari target dalam APBN-P 2017 sebesar Rp1.283,6 triliun. Shortfall pajak sebesar itu di satu sisi memberikan hikmah terselubung, karena realisasi belanja juga masih di bawah target, sehingga defisit anggaran dapat terjaga di level aman, sekitar 2,7% dari produk domestik bruto (PDB). Realisasi belanja negara hingga November lalu baru mencapai Rp1.619,6 triliun atau sekitar 75,9% dari target APBN-P 2017 sebesar Rp 2.133,3 triliun. Dengan pencapaian seperti itu, dapat kita simpulkan bahwa pola penerimaan dan belanja APBN relatif tidak berubah. Penerimaan pajak terutama, hampir tidak pernah mencapai target dalam beberapa tahun terakhir. Realisasinya hanya di sekitar angka 90%. Belanja negara pun setali tiga uang, khususnya belanja modal, dengan angka realisasi tidak jauh dari kisaran 90%-an. (Amu)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.