EKONOMI DIGITAL

Menggali Respons Amerika Serikat terhadap Pajak Layanan Digital

Redaksi DDTCNews | Jumat, 24 April 2020 | 15:27 WIB
Menggali Respons Amerika Serikat terhadap Pajak Layanan Digital

PAJAK layanan digital atau yang dikenal sebagai digital service taxes (DST) merupakan salah satu pajak baru yang kini santer didengar. Kehadirannya mulai dikenal publik setelah Komisi Uni Eropa mengajukan usulan adanya pajak yang bersifat interim itu pada 2018.

Proposal tersebut utamanya didasari karena para petinggi negara di kawasan bersangkutan tak kunjung mencapai kata sepakat untuk memajaki laba perusahaan digital melalui harmonisasi konsep BUT yang berbasis kehadiran ekonomi signifikan.

Semakin maraknya negara yang menjadikan pajak ini sebagai kebijakan unilateralnya telah memunculkan pertanyaan lanjutan. Pertanyaan itu adalah bagaimana tanggapan Amerika Serikat (AS) yang notabene menjadi pusat dari berbagai raksasa digital dunia?

Baca Juga:
Perkaya Pengetahuan Pajak, Baca 11 e-Books Ini di Perpajakan DDTC

Hal inilah yang kemudian digali lebih lanjut oleh Congressional Research Service (CRS) dalam laporannya yang berjudul ‘Digital Services Taxes (DSTs): Policy and Economic Analysis’.

Lembaga think-thank yang merupakan unit internal di bawah legislatif negara federal AS ini kemudian mengkaji penerapan DST di berbagai negara. Secara garis besar, dokumen ini mencermati dampak penerapan DST melalui suatu pendekatan ekonomi terhadap pasar layanan digital di yurisdiksi bersangkutan, baik yang bersifat monopoli maupun persaingan sempurna.

Dokumen ini juga mencermati jenis-jenis penghasilan yang disasar oleh DST berdasarkan penerapannya di berbagai negara, yaitu penghasilan dari perusahaan digital yang bukan merupakan laba. Implikasi ekonomi atas penerapannya kemudian ditelaah dari tiga aspek utama, antara lain efisiensi ekonomi, prinsip keadilan dalam pajak, dan beban administratif.

Baca Juga:
DDTC Gelar Temu Kontributor Buku Gagasan Perpajakan Prabowo-Gibran

Lebih lanjut, ada pula penjabaran mengenai tujuan suatu negara untuk menerapkan DST ini. Salah satunya adalah untuk memajaki penghasilan yang diperoleh perusahaan digital multinasional secara lebih adil.

Alokasi hak pemajakan yang lebih merata tersebut kemudian ditekankan pada konsep nilai yang tercipta di yurisdiksi dari pengguna yang memanfaatkan layanan digital, alih-alih implementasinya selama ini yang sebatas mengacu pada nilai aset tidak berwujud yang dimiliki oleh perusahaan.

Tidak hanya itu, laporan yang diketuai oleh Sean Lowry ini juga menggali implikasi penerapan DST terhadap kebijakan pajak yang berlaku di AS. Hal tersebut dapat dikatakan sebagai poin paling krusial dalam dokumen bersangkutan.

Baca Juga:
Kurang Kooperatif, Saldo Rekening Penunggak Pajak Dipindahbukukan

Berdasarkan dokumen ini setidaknya terdapat empat kebijakan pajak AS yang terimbas secara signifikan dari adanya DST tersebut.

Pertama, kebijakan kredit pajak luar negeri dan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) AS. Kedua, Global Intangible Low Tax Income (GILTI). Ketiga, kebijakan perdagangan internasional terkait cukai. Keempat, negosiasi reformasi pajak yang bersifat multilateral.

Namun, di tengah pembahasan yang mengalir pada bagian awal, penutup dari dokumen mengenai implikasi DST terhadap kebijakan pajak AS ini justu menimbulkan ‘kerancuan’.

Baca Juga:
Langganan Platform Streaming Musik, Kena PPN atau Pajak Hiburan?

Ambiguitas ini terlihat dengan penetapan konsep DST sebagai cukai (excise taxes on digital economy) sebagaimana yang disebutkan dalam poin implikasi ketiga. Padahal sebagaimana diketahui, cukai sendiri lebih dekat dengan konsep pajak tidak langsung ketimbang pajak langsung sebagaimana halnya pajak atas penghasilan.

Dokumen laporan ini cukup untuk memberikan gambaran yang kuat terkait penolakan AS terhadap implementasi DST di berbagai negara meskipun terdapat beberapa ‘bumbu’ yang tampaknya sengaja disebutkan untuk mendukung penerapannya.

Pada akhirnya, perspektif dalam laporan ini dapat menjadi suatu acuan bagai negara yang ingin menerapkan pajak serupa, terutama untuk memahami argumentasi penolakan dari sisi negara residen perusahaan digital raksasa.*


Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Selasa, 22 Oktober 2024 | 11:45 WIB LITERATUR PAJAK

Perkaya Pengetahuan Pajak, Baca 11 e-Books Ini di Perpajakan DDTC

Senin, 21 Oktober 2024 | 15:30 WIB HUT KE-17 DDTC

DDTC Gelar Temu Kontributor Buku Gagasan Perpajakan Prabowo-Gibran

Senin, 21 Oktober 2024 | 12:30 WIB KPP PRATAMA NATAR

Kurang Kooperatif, Saldo Rekening Penunggak Pajak Dipindahbukukan

Jumat, 18 Oktober 2024 | 15:30 WIB SERBA-SERBI PAJAK

Langganan Platform Streaming Musik, Kena PPN atau Pajak Hiburan?

BERITA PILIHAN
Selasa, 22 Oktober 2024 | 21:45 WIB LEMBAGA LEGISLATIF

Sah! Misbakhun Terpilih Jadi Ketua Komisi XI DPR 2024-2029

Selasa, 22 Oktober 2024 | 21:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

PPN Mestinya Naik Tahun Depan, Gerindra akan Bahas Bareng Kemenkeu

Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:30 WIB KPP PRATAMA JAMBI TELANAIPURA

WP Gagal Daftar LPSE karena KSWP Tidak Valid, Gara-Gara Tak Lapor SPT

Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:06 WIB LEMBAGA LEGISLATIF

DPR Tetapkan Daftar Mitra Kerja untuk Komisi XII dan Komisi XIII

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:41 WIB IHPS I/2024

BPK Selamatkan Keuangan Negara Rp13,66 Triliun pada Semester I/2024

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:30 WIB KANWIL DJP JAWA TIMUR II

Pakai Faktur Pajak Fiktif, Dirut Perusahaan Akhirnya Ditahan Kejari

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:00 WIB TIPS PAJAK DAERAH

Cara Daftarkan Objek Pajak Alat Berat di DKI Jakarta secara Online

Selasa, 22 Oktober 2024 | 15:30 WIB AUSTRALIA

Bikin Orang Enggan Beli Rumah, Australia Bakal Hapus BPHTB

Selasa, 22 Oktober 2024 | 14:00 WIB KP2KP SIDRAP

Ubah Kata Sandi Akun Coretax, Fiskus: Tak Perlu Cantumkan EFIN