DESENTRALISASI fiskal sudah diterapkan di Indonesia selama hampir dua dekade. Tonggak sejarah ditorehkan melalui Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah serta UU Nomor 25 tahun 2009 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Seiring berjalannya waktu, pedoman otonomi dan keuangan daerah disempurnakan melalui berbagai revisi UU.
Implikasi dari penerapan desentralisasi fiskal tersebut antara lain pemerintah daerah diberikan kewenangan yang luas dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah, termasuk dalam mencari sumber pendapatan daerah. Daerah diharapkan dapat meningkatkan pelayanan dan menyediakan barang publik yang sesuai dengan preferensi masyarakat lokal. Ujung-ujungnya: kesejahteraan umum meningkat.
Ide ini sebenarnya berangkat dari model Tiebout (1956) bahwa kompetisi fiskal antardaerah akan memberikan dorongan bagi pemerintah tiap daerah dalam menyediakan barang dan layanan publik yang optimal.
Untuk mencapai hal tersebut, ada kewenangan dalam memungut dan mengelola pajak yang diberikan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah melalui revenue assignment. Tidak hanya itu, dalam menjamin pemerataan kesejahteraan dalam konteks kapasitas fiskal yang berbeda-beda antardaerah, pemerintah pusat juga masih bisa mengalokasikan dana perimbangan dalam skema bervariasi.
Akan tetapi, sejauh mana kemandirian pemerintah daerah untuk memobilisasi pajak daerah dalam kerangka desentralisasi fiskal di Indonesia? Apa yang bisa kita pelajari dari penerapannya sejauh ini?
Tanda Tanya
Pertanyaan tersebut masih jadi tanda tanya. Akan tetapi, informasi mengenai realisasi belanja transfer ke daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mungkin bisa jadi rujukan.
Sebagai informasi, transfer ke daerah terdiri atas Dana Perimbangan (Dana Transfer Umum dan Transfer Khusus), Dana Insentif Daerah, Dana Otonomi Khusus, dan Dana Keistimewaan DIY. Sejak tahun 2015, transfer ke daerah juga memasukkan Dana Desa.
Berdasarkan data realisasi APBN pada kurun 2014-2016, total transfer ke daerah dan dana desa rata-rata bertumbuh sebesar 11,5% per tahunnya. Jika pada 2013, transfer ke daerah ini hanya sebesar Rp513,3 triliun atau 31,1% dari belanja APBN, pada 2017 (per November) nilainya meningkat tajam hingga Rp699,7 triliun atau sebesar 40% dari belanja APBNP 2017. Sebagian besar dana tersebut berasal dari DAU yang mencapai 22,74% APBN 2017.
Angka ini mengindikasikan masih adanya ketergantungan atas uluran tangan dari pemerintah pusat. Terlepas dari sejauh mana keberhasilan masing-masing pemda dalam menggunakan dana tersebut bagi kesejahteraan masyarakat daerahnya ataupun proses good governance yang menyertainya, pertanyaan yang lebih penting adalah: sampai kapankah pemerintah daerah akan terus bergantung pada dana transfer ke daerah?
Saat ini, kabarnya pemerintah tengah memfinalisasi revisi UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) guna mendorong Pemda memperluas basis pajaknya. Hal ini menunjukkan mulai besarnya perhatian pemerintah dalam mendorong kemandirian fiskal di daerah.
Berdasarkan catatan Kementerian Keuangan, penerimaan pajak dan retribusi daerah secara nasional setiap tahun terus meningkat dari Rp63,9 triliun pada 2010 menjadi Rp177,8 triliun pada 2017. Peningkatan penerimaan pajak dan retribusi tersebut telah berhasil meningkatkan peranan penerimaan asli daerah (PAD) dalam pendanaan APBD secara nasional dari 14,2% dalam 2010 menjadi 23,1% pada 2017.
Meski demikian, peranan pajak daerah terhadap PAD relatif berbeda antara provinsi dan kabupaten/kota, termasuk antarprovinsi dan antarkabupaten/kota itu sendiri. Secara umum, belum optimalnya penerimaan pajak daerah masih menjadi persoalan yang hingga kini belum terpecahkan.
Apakah lebih disebabkan karena skema revenue assignment yang belum tepat atau dikarenakan kelemahan administrasi pemerintah daerah dalam memungut pajaknya? Tanpa adanya data, penelitian, ataupun pusat dokumentasi mengenai kondisi pungutan pajak daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, maka solusi yang diambil bisa saja kurang tepat.
Tanda tanya ini juga seharusnya menjadi pekerjaan rumah dari setiap kepala daerah. Bagaimana mungkin upaya pembangunan dan janji-janji kampanye politik bisa terealisasi tanpa adanya strategi untuk mengoptimalkan atau memobilisasi penerimaan di daerahnya.
Kanal Profil Daerah
Saat ini, sulit bagi kita untuk menemukan suatu institusi ataupun lembaga yang secara khusus mendedikasikan dirinya untuk menjadi pusat dokumentasi dan penelitian mengenai kinerja pajak daerah dan segala persoalan yang menyertainya. Informasi mengenai regulasi, realisasi penerimaan, hingga terobosan administrasi yang dilakukan oleh masing-masing daerah seringkali tersebar dan sulit ditemukan.
Untuk itu, DDTC melalui DDTCNews, memberanikan diri untuk merintis jalan yang terjal ini. Kami merasa terpanggil untuk menyediakan pusat informasi mengenai kondisi fiskal, khususnya pajak daerah di 34 Provinsi, 416 Kabupaten, dan 98 Kota di Indonesia.
Informasi ini akan disajikan melalui kanal baru DDTCNews, yaitu Profil Pajak Daerah yang ada dalam kolom Literasi. Kanal ini disusun tidak hanya untuk mengkaji lebih jauh bagaimana strategi tiap daerah dalam menggenjot penerimaan pajak daerah namun juga untuk membantu pembaca dalam melakukan studi perbandingan kinerja antardaerah.
Setiap artikel profil pajak daerah dalam kanal ini terdiri dari lima komponen. Pertama, ringkasan informasi seputar profil ekonomi dan profil pendapatan. Hal ini untuk memberikan pemahaman pembaca atas kondisi umum perekonominan serta perbandingan kontribusi PAD dan dana perimbangan terhadap total pendapatan di masing-masing daerah.
Kedua, profil daerah juga akan menelusuri lebih dalam mengenai kinerja penerimaan PAD terutama pajak dan retribusi daerah. Dari informasi ini, pembaca diharapkan bisa menelusuri tren kinerja dan struktur penerimaan pajak, sekaligus melihat sejauh mana kredibilitas penyusunan target fiskal.
Ketiga, kami juga menyajikan uraian singkat mengenai kebijakan pajak daerah. Hal ini akan diilustrasikan dalam bentuk tabel tarif. Kami menyadari bahwa kebijakan tidak hanya melulu mengenai tarif, apalagi beberapa pajak daerah juga mendefinisikan tax base yang berbeda-beda. Sebagai contoh: untuk pajak hiburan ataupun pajak kendaraan bermotor. Namun demikian, kebijakan tarif bisa menjadi indikasi awal sejauh mana setiap pemerintah daerah telah mengkombinasikan upaya menciptakan daya saing, mengendalikan aktifitas tertentu, maupun menjamin dana bagi pembangunan daerah.
Keempat, penyajian mengenai indikator tax ratio. Tax ratio merupakan rasio yang menunjukkan sejauh mana aktivitas ekonomi di suatu daerah telah berhasil dipungut pajaknya. Perhitungan tax ratio daerah menggunakan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sebagai penyebut serta penjumlahan antara pajak dan retribusi daerah sebagai pembilang.
Penting untuk dicatat bahwa dalam menghitung tax ratio provinsi, kami juga mengikutsertakan seluruh penerimaan pajak yang dikumpulkan oleh kabupaten/kota dalam provinsi tersebut. Hal ini dilakukan karena PDRB diukur berdasarkan seluruh aktivitas ekonomi yang ada dalam yurisdiksi provinsi, termasuk yang ada di tiap kabupaten kota. Dengan demikian, perhitungan tax ratio yang hanya mengacu pada nilai pajak dan retribusi daerah yang menjadi tanggung jawab provinsi akan memberikan indikator yang menyesatkan.
Kinerja tax ratio ini kemudian akan diperbandingkan dengan nilai tax ratio terendah, tertinggi, maupun rata-rata (secara tertimbang). Kami memisahkan penilaian tax ratio bagi daerah tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Sepanjang catatan kami, hingga saat ini DDTCNews merupakan satu-satunya portal yang memberikan indikator data ini kepada publik.
Kelima, informasi umum mengenai administrasi pajak. Informasi mengenai administrasi pajak suatu daerah mencakup mengenai nama instansi, situs resmi, serta beberapa penelusuran terobosan administrasi yang pernah atau sedang dilakukan oleh daerah terkait.
Seluruh informasi tersebut disajikan dengan tampilan yang menarik dan sistematis. Profil daerah ini akan kami update secara mingguan dalam format yang sama. Harapan kami, semoga langkah ini bisa mendorong diskusi atas pajak daerah yang lebih berbobot.
Misi Nawacita Jokowi ‘Membangun dari Pinggiran’ selayaknya juga diiringi dengan pembangunan dari sisi ‘pajak daerah’. Pada akhirnya, kemandirian fiskal daerah diharapkan dapat segera terwujud.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.