FORT de Kock menjadi sebutan Kota Bukittinggi pada masa pemerintahan Belanda. Sebutan diambil dari nama benteng bersejarah wilayah tersebut, tepatnya di Bukit Jirek. Kota tempat kelahiran Sang Proklamator Mohammad Hatta ini juga pernah dijuluki Parijs van Sumatra.
Banyak peristiwa sejarah Indonesia terjadi di sini. Bukittinggi juga pernah menjadi ibu kota negara pada masa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia 1948. Salah satu kota di Provinsi Sumatra Barat ini memilih wilayah seluas 25,24 km2 dengan jumlah penduduk sebanyak 121.028 jiwa.
Bukittinggi kaya objek wisata, baik sejarah maupun alam. Objek wisata sejarah yang paling terkenal adalah jam gadang. Dianugerahi kondisi topografi yang berbukit dan berlembah, Bukittinggi juga memiliki wisata alam yang indah, salah satunya adalah Ngarai Sianok.
PADA 2020, realisasi produk domestik regional bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku Kota Bukittinggi tercatat senilai Rp8,63 triliun. Ada beberapa sektor utama yang menjadi penopang PDRB daerah ini.
Penyumbang terbesar adalah sektor perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil dan sepeda motor. Kontribusinya pada 2020 sebesar 33,7% dari total PDRB. Kemudian, ada sektor transportasi dan pergudangan dengan kontribusi sebesar 10,1%.
Berdasarkan pada data yang dilansir Ditjen Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian Keuangan, total pendapatan Kota Bukittinggi pada 2020 mencapai Rp689,22 miliar. Dana perimbangan menjadi kontributor terbesar, yakni 81,2% dari total pendapatan atau senilai Rp559,64 miliar.
Selanjutnya, ada pendapatan asli daerah (PAD) senilai Rp84,09 miliar atau 12,2% dari total pendapatan 2020. Kontribusi terendah berasal dari lain-lain pendapatan daerah yang sah, yakni senilai Rp45,5 miliar atau 6,6% dari total pendapatan.
Jika diperinci, kontribusi terbesar PAD Kota Bukittinggi pada 2020 berasal dari pajak daerah. Kontribusinya mencapai 42,6% atau senilai Rp35,86 miliar. Kemudian, ada retribusi daerah dengan kontribusi senilai Rp21,83 miliar atau 26% dari total PAD.
REALISASI penerimaan pajak daerah Kota Bukittinggi dari 2016 sampai dengan 2020 tidak pernah mencapai target yang telah ditetapkan. Secara terperinci, sesuai dengan data DJPK Kementerian Keuangan, realisasi penerimaan pajak Kota Bukittinggi pada 2016 tercatat senilai Rp30,71 miliar atau 88,3% dari target yang ditetapkan.
Pada 2017, penerimaan pajak daerah tumbuh 24,6% dengan capaian Rp38,28 miliar atau 83,1% dari target. Namun, pada 2018 terjadi perlambatan sebab realisasi penerimaan pajak hanya tumbuh 17,9%, yakni senilai Rp45,13 miliar atau 98% dari target.
Kemudian, pada 2019, kinerja penerimaan kembali melambat dengan pertumbuhan hanya sebesar 0,2%, yakni senilai Rp45,2 miliar atau 95,3% dari target yang telah ditetapkan. Pada 2020, terjadi penurunan kinerja penerimaan sebesar 20,7% dengan realisasi hanya Rp35,86 miliar atau 70,1% dari target.
Berdasarkan pada data yang dilansir Pemerintah Kota Bukittinggi, penyumbang terbesar penerimaan pajak daerah 2020 berasal dari bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB). Kontribusinya mencapai 32,56% atau senilai Rp11,67 miliar.
Kemudian, kontributor terbesar kedua berasal dari pajak hotel, yakni senilai Rp7,99 miliar atau 22,29% dari total realisasi penerimaan pajak. Kmeudian, ada pajak penerangan jalan (PPJ) yang menyumbang senilai Rp5,58 miliar atau 15,55% dari total penerimaan pajak.
KETENTUAN setiap jenis pajak daerah Kota Bukittinggi diatur secara terpisah dalam Peraturan Daerah (Perda) yang berbeda-beda. Salah satunya adalah Perda Kota Bukittinggi No. 7 Tahun 2012 yang mengatur mengenai pajak hotel.
Pajak restoran diatur sendiri dalam Perda No. 8 Tahun 2012. Pajak hiburan diatur dalam Perda No. 9 Tahun 2014. Begitu pun jenis pajak lainnya diatur dalam perda masing-masing. Adapun informasi mengenai Perda Kota Bukittinggi dapat diakses melalui laman resmi https://jdih.bukittinggikota.go.id/.
Berikut daftar jenis dan tarif pajak di Kota Bukittinggi.
BERDASARKAN pada penghitungan yang dilakukan DDTC Fiscal Research & Advisory, kinerja pajak daerah terhadap PDRB (tax ratio) Kota Bukittinggi pada 2020 tercatat sebesar 0,42%. Adapun rata-rata tax ratio kabupaten/kota di Indonesia sebesar 0,6%.
Dengan demikian, kinerja pajak daerah Kota Bukittinggi lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata seluruh kabupaten/kota di Indonesia.
SESUAI dengan Peraturan Daerah Kota Bukittinggi Nomor 9 Tahun 2016 Tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah, kewenangan pemungutan pajak daerah ada pada Badan Keuangan Kota Bukittinggi.
Untuk melakukan optimalisasi penerimaan pajak daerah, Pemerintah Kota Bukittinggi menerbitkan Peraturan Walikota Bukittinggi No. 2 Tahun 2022 sebagai dasar hukum pengelolaan beberapa jenis pajak secara online. Penerapan sistem online diterapkan pada pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, dan pajak parkir.
Dengan adanya sistem online, Pemerintah Kota Bukittinggi dapat melakukan pengawasan kepatuhan pajak melalui perangkat elektronik perekam data transaksi seperti tapping box atau online cash register dan bentuk perekam lainnya.
Pada 2020, Pemerintah Kota Bukittinggi telah menjalankan program smart tax yang bekerja sama dengan Bank Nagari, bank milik pemerintah daerah Sumatera Barat. Dari program tersebut, alat pengawasan penerimaan pajak telah dipasangkan pada 70 wajib pajak. Ke depannya, penambahan pemasangan alat pengawasan dilakukan secara bertahap. (Fauzara/kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.