SALAH satu strategi yang ditempuh otoritas untuk meningkatkan kepatuhan pajak adalah memperlakukan wajib pajak sesuai dengan perilaku kepatuhannya. Untuk itu, otoritas mengklasifikasikan wajib pajak berdasarkan karakteristik tertentu yang merujuk pada tingkat kepatuhan.
Namun, terdapat banyak kesulitan yang dihadapi oleh otoritas untuk dapat menggolongkan wajib pajak secara akurat. Di sisi lain, apabila otoritas salah dalam menggolongkan wajib pajak, perbedaan perlakuan justru akan berpotensi merusak hubungan antara otoritas pajak dengan wajib pajak.
Kesulitan dan kelemahan dalam pemetaan perilaku kepatuhan tersebut mendorong lahirnya paradigma kepatuhan kooperatif. Paradigma ini digadang-gadang dapat menjadi solusi agar otoritas dapat meningkatkan kepatuhan pajak sembari menjalin hubungan yang baik dengan wajib pajak.
Sebagai paradigma kepatuhan yang menjunjung tinggi jalinan kerja sama antara otoritas dan wajib pajak, kepatuhan kooperatif berdiri di atas tiga pilar dasar, yaitu rasa saling percaya, transparansi, dan pengertian. Simak Kamus ‘Apa Itu Kepatuhan Kooperatif?’.
Paradigma kepatuhan kooperatif memiliki berbagai manfaat baik bagi otoritas pajak maupun wajib pajak. Seluruh manfaat yang diperoleh dapat disimak dalam tabel berikut.
Sebagai tambahan informasi, otoritas yang menerapkan paradigma kepatuhan kooperatif tidak berarti mengganti sistem yang sudah ada. Penerapan paradigma ini lebih pada upaya untuk meningkatkan efektivitas pemungutan pajak dengan cara memengaruhi perilaku wajib pajak.
Adapun ulasan ini menyadur tulisan dari salah satu bab dalam buku ‘Era Baru Hubungan Otoritas Pajak dengan Wajib Pajak’ yang ditulis oleh Darussalam, Danny Septriadi, B. Bawono Kristiaji dan Denny Vissaro. Anda dapat mengunduh buku tersebut secara gratis di sini. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.