KELAS PPh PASAL 21 (4)

Memahami Pengurang Penghasilan dalam PPh Pasal 21

DDTC Fiscal Research and Advisory | Rabu, 01 Mei 2024 | 13:00 WIB
Memahami Pengurang Penghasilan dalam PPh Pasal 21

DALAM penghitungan pajak penghasilan (PPh) Pasal 21, untuk menentukan besarnya penghasilan kena pajak (PKP), penghasilan bruto yang telah dihitung perlu dikurangi dengan komponen pengurang.

Komponen pengurang penghasilan ini merupakan biaya-biaya yang dikeluarkan oleh wajib pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Ketentuannya saat ini mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan No. 168 Tahun 2023 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Orang Pribadi (PMK 168/2023).

Dalam peraturan tersebut, penjelasan mengenai pengurang penghasilan hanya ditujukan kepada pegawai tetap dan pensiunan.

Baca Juga:
Sempat Menolak, PDIP Kini Berbalik Dukung PPN 12 Persen

Sesuai dengan Pasal 1 angka 10 PMK 168/2023, pegawai tetap diartikan sebagai pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan secara teratur, termasuk anggota dewan komisaris dan anggota dewan pengawas, serta pegawai yang bekerja berdasarkan kontrak untuk suatu jangka waktu tertentu sepanjang pegawai yang bersangkutan bekerja penuh dalam pekerjaan tersebut.

Berdasarkan pada Pasal 1 angka 13 PMK 168/2023, pensiunan adalah orang pribadi atau ahli warisnya, termasuk janda, duda, anak, dan/atau ahli waris lainnya, yang menerima atau memperoleh imbalan secara periodik berupa uang pensiun, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, jaminan hari tua, untuk pekerjaan yang dilakukan di masa lalu.

Dengan kata lain, komponen pengurang penghasilan ini pada dasarnya tidak diberikan bagi penerima penghasilan lainnya meskipun penerima penghasilan tersebut merupakan subjek pajak yang dipotong PPh Pasal 21, seperti bukan pegawai atau peserta kegiatan.

Baca Juga:
Keputusan yang Dikirim via Coretax Dianggap Sudah Diterima Wajib Pajak

Lantas, apa saja komponen pengurang penghasilan yang dimaksud? Berikut ulasannya.

Pengurang Penghasilan bagi Pegawai Tetap

SESUAI dengan Pasal 10 PMK 168/2023, terdapat 3 jenis pengurang penghasilan bruto yang diperbolehkan dalam perhitungan PPh Pasal 21 bagi pegawai tetap. Pengurang ini dapat berupa biaya jabatan, iuran program pensiun dan hari tua, serta zakat atau sumbangan yang bersifat wajib.

Setiap komponen pengurang penghasilan yang dimaksud memiliki ketentuannya masing-masing. Adapun perincian penjelasan setiap komponen tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.

Baca Juga:
Hingga November, Kanwil DJP Jakbar Kumpulkan Pajak Rp57,67 Triliun

Pertama, biaya jabatan. Biaya jabatan adalah biaya yang dikenakan terhadap semua karyawan tanpa mempertimbangan tingkatan jabatan pegawai. Dengan demikian, semua pegawai apapun jabatan dan tingkatannya akan dikenakan biaya jabatan ini.

Pengenaan biaya jabatan ini ditetapkan sebesar 5% dari jumlah penghasilan bruto, dengan besaran maksimum Rp6 juta setahun atau Rp500.000 sebulan. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (2) PMK 168/2023.

Sebagai contoh, Tuan Pratama memperoleh penghasilan bruto senilai Rp15.000.000 sebulan. Berdasarkan ilustrasi ini, jumlah biaya jabatan dihitung berdasarkan pada tarif dikali dengan jumlah penghasilan bruto. Penghitungannya, 5% x Rp15.000.000 = Rp750.000.

Baca Juga:
WP Bisa Akses Aplikasi Coretax Mulai Hari Ini, Fiturnya Masih Terbatas

Berdasarkan pada perhitungan di atas, nilai biaya jabatan Tuan X melebihi batas maksimum yang ditentukan. Dikarenakan pengenaan biaya jabatan ditetapkan paling tinggi sebesar Rp500.000 per bulan maka Tuan X hanya akan dibebankan biaya jabatan senilai Rp500.000 per bulan.

Sebagai informasi tambahan, dalam Pasal 10 ayat (3) PMK 168/2023 juga memuat ketentuan apabila wajib pajak menerima atau memperoleh penghasilan lebih dari satu pemberi penghasilan. Dalam kondisi ini, penghitungan biaya jabatan akan dilakukan oleh masing-masing pemberi penghasilan.

Kedua, iuran terkait program pensiun dan hari tua. Iuran pensiun dan hari tua merupakan biaya yang wajib dibayarkan secara teratur setiap bulannya oleh pegawai tetap. Sesuai dengan Pasal 10 ayat (1b) PMK 168/2023, iuran ini dapat menjadi pengurang penghasilan bruto apabila berkaitan dengan gaji yang diberikan melalui pemberi kerja.

Baca Juga:
Jelang Tutup Tahun, Realisasi Pajak Kanwil Khusus Capai 95% Target

Iuran yang dapat menjadi pengurang ialah iuran yang persentasenya dibayarkan sendiri oleh pegawai. Dalam hal iuran hari tua, persentase iuran yang ditanggung perusahaan sebesar 3,7% dan yang ditanggung pegawai sebesar 2%. Oleh karena itu, besaran biaya yang diperbolehkan menjadi pengurang penghasilan bruto adalah iuran yang dibayarkan sendiri oleh pegawai sebesar 2%.

Sementara itu, iuran pensiun adalah 3%, yang terdiri atas 2% yang dibayarkan oleh pemberi kerja dan 1% yang dibayarkan oleh pegawai. Dalam hal ini, yang dapat menjadi pengurang penghasilan bruto pegawai adalah iuran yang dibayarkan sendiri oleh pegawai sebesar 1%.

Namun, iuran tersebut hanya dapat menjadi pengurang jika dibayarkan kepada beberapa institusi yang ditetapkan. Beberapa institusi yang dimaksud ialah dana pensiun yang disahkan oleh menteri keuangan atau mendapat izin dari OJK, badan penyelenggara jaminan sosial ketenagakerjaan, dan badan penyelenggara tunjangan hari tua yang pendiriannya sesuai dengan perundang-undangan.

Baca Juga:
Ini Aturan Terbaru Pengkreditan Pajak Masukan Sebelum Pengukuhan PKP

Ketiga, zakat atau sumbangan. Sesuai dengan Pasal 10 ayat (1b) PMK 168/2023, zakat atau sumbangan keagamaan yang bersifat wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia dapat diperbolehkan menjadi pengurang penghasilan bruto.

Zakat atau sumbangan tersebut dapat dikurangkan sepanjang dibayarkan melalui pemberi kerja kepada badan amil zakat, lembaga amil zakat, dan lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah.

Pengurang Penghasilan bagi Pensiunan

BERBEDA dengan pengurang penghasilan untuk pegawai tetap, pensiunan sebagai penerima penghasilan hanya memiliki 2 komponen yang diperbolehkan untuk menjadi pengurang penghasilan bruto. Keduanya adalah biaya pensiun dan zakat atau sumbagan keagamaan yang bersifat wajib. Berikut uraiannya.

Baca Juga:
Realisasi Pajak Rokok di Sumsel Tak Capai Target, Ini Penyebabnya

Pertama, biaya pensiun. Biaya pensiun merupakan biaya pengurang penghasilan yang terutang dan harus dipotong bagi penerima pensiun secara berkala (bulanan). Dalam Pasal 11 ayat (2) PMK 168/2023 disebutkan besaran biaya pensiun yang dapat menjadi pengurang penghasilan ditetapkan sebesar 5% dari jumlah penghasilan bruto.

Namun, pembebanan biaya pensiun hanya diperbolehkan maksimal senilai Rp2,4 juta setahun atau Rp200.000 sebulan. Contoh, Tuan X memasuki masa pensiunnya dan memperoleh uang pensiun dari dana pensiun senilai Rp5 jutaper bulan.

Berdasarkan pada ilustrasi di atas, penghitungan penghasilan bruto dihitung berdasarkan tarif dikali dengan jumlah penghasilan bruto. Penghitungannya, 5% dikalikan dengan jumlah penghasilan bruto per bulan senilai Rp5 juta maka hasilnya senilai Rp250.000.

Baca Juga:
Nanti Ada Coretax, Masih Perlu Ajukan Sertifikat Elektronik?

Berdasarkan pada penghitungan tersebut, dikarenakan pengenaan biaya pensiun ditetapkan paling tinggi senilai Rp200.000 per bulan, Tuan X hanya akan dibebankan biaya jabatan senilai Rp200.000 per bulannya.

Selain itu, merujuk pada Pasal 11 ayat (3) PMK 168/2023, apabila pensiunan menerima atau memperoleh penghasilan lebih dari satu dana pensiun atau badan lain yang membayarkan uang pensiun, biaya pensiun dihitung pada masing-masing dana pensiun atau badan lain yang membayarkan uang pensiun.

Kedua, zakat atau sumbangan keagamaan. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 11 ayat (1b) PMK 168/2023, zakat atau sumbangan dapat menjadi pengurang penghasilan bruto ialah yang dibayarkan melalui pembayar uang pensiun berkala.

Baca Juga:
Ketentuan Pelaporan PPh Atas Penjualan Saham Berubah, Jadi Lebih Cepat

Untuk dapat diperbolehkan sebagai pengurang penghasilan bruto, pembayaran zakat dan sumbangan ini harus dibayarkan kepada badan amil zakat, lembaga amil zakat, dan lembaga keagamaan yang bentuk atau disahkan oleh pemerintah.

Berdasarkan pada penjelasan di atas, penentuan besaran pajak yang terutang perlu memperhatikan pengurang penghasilan PPh Pasal 21 terlebih dahulu. Pada artikel kelas pajak seri selanjutnya akan diulas mengenai penghasilan tidak kena pajak dalam PPh Pasal 21. (Jauzaa)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Selasa, 24 Desember 2024 | 19:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Sempat Menolak, PDIP Kini Berbalik Dukung PPN 12 Persen

Selasa, 24 Desember 2024 | 18:00 WIB KANWIL DJP JAKARTA BARAT

Hingga November, Kanwil DJP Jakbar Kumpulkan Pajak Rp57,67 Triliun

Selasa, 24 Desember 2024 | 17:27 WIB CORETAX SYSTEM

WP Bisa Akses Aplikasi Coretax Mulai Hari Ini, Fiturnya Masih Terbatas

BERITA PILIHAN
Selasa, 24 Desember 2024 | 21:30 WIB CORETAX SYSTEM

Simak! Keterangan Resmi DJP Soal Tahapan Praimplementasi Coretax

Selasa, 24 Desember 2024 | 19:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Sempat Menolak, PDIP Kini Berbalik Dukung PPN 12 Persen

Selasa, 24 Desember 2024 | 18:00 WIB KANWIL DJP JAKARTA BARAT

Hingga November, Kanwil DJP Jakbar Kumpulkan Pajak Rp57,67 Triliun

Selasa, 24 Desember 2024 | 17:27 WIB CORETAX SYSTEM

WP Bisa Akses Aplikasi Coretax Mulai Hari Ini, Fiturnya Masih Terbatas

Selasa, 24 Desember 2024 | 17:00 WIB PMK 81/2024

Ini Aturan Terbaru Pengkreditan Pajak Masukan Sebelum Pengukuhan PKP

Selasa, 24 Desember 2024 | 16:30 WIB PROVINSI SUMATERA SELATAN

Realisasi Pajak Rokok di Sumsel Tak Capai Target, Ini Penyebabnya

Selasa, 24 Desember 2024 | 16:00 WIB CORETAX SYSTEM

Nanti Ada Coretax, Masih Perlu Ajukan Sertifikat Elektronik?

Selasa, 24 Desember 2024 | 15:00 WIB KPP PRATAMA KOSAMBI

Utang Pajak Rp632 Juta Tak Dilunasi, Mobil WP Akhirnya Disita KPP