Ketua PDRI Sjafruddin Prawiranegara (tengah) tiba di Lapangan Terbang Maguwo, Yogyakarta, untuk mengembalikan mandat pemerintahan kepada Soekarno, Juli 1949. (Foto: historia.id)
KUTIPAN ini datang dari paragraf pertama artikel yang ditulis di tahanan Gang Tembok, Jakarta, 22 Mei 1966. Dalam gemuruh hantaman badai ekonomi dan politik waktu itu, penulisnya seolah sedang berbicara dalam-dalam sembari menahan amarah. Judul artikel: ‘Membangun Kembali Ekonomi Indonesia’.
“Banyak sekali bangsa yang kaya dan makmur karena mempunyai sistem irigasi yang baik kehilangan kemakmuran dan peradaban mereka karena hancurnya sistem perairan mereka. Dan kehancuran itu disebabkan oleh hancurnya hukum, karena diinjak-injak oleh yang kaya dan yang kuat...”
“... Mereka yang kaya dan yang kuat itu mengira akan memperoleh kekayaan yang lebih banyak lagi dengan tidak menghiraukan hukum itu. Dalam membunuh hukum itu mereka dibantu oleh pejabat-pejabat polisi dan pengadilan yang korup, yang mau disuap.”
Lebih dari sekadar menguraikan relasi konsep keadilan dengan kemakmuran—yang sekaligus inti tujuan pembangunan pascakemerdekaan—artikel tersebut dengan praktis juga menunjukkan, sebab lumpuhnya kegiatan produktif di Indonesia, dan apa yang sebaiknya dilakukan guna memperbaikinya.
Tak pelak, artikel tersebut segera menyedot perhatian. Di tahun yang sama, artikel itu berubah jadi buku. Khalayak mungkin menunggu, apa gerangan yang akan ditulis seseorang dengan kombinasi yang amat sangat jarang itu: Wartawan, fiskus, aktivis, politisi, ekonom, ahli hukum, mubalig, pemberontak sekaligus pahlawan.
Daftar kombinasi itu masih panjang, dan tidak tanggung-tanggung: Ia pernah menjabat sebagai Menteri Kemakmuran, Menteri Keuangan, Menteri Perdagangan, Menteri Pertanian, Wakil Perdana Menteri, Gubernur Bank Indonesia, dan Presiden/ Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia.
Barangkali karena rangkaian kombinasi dan daftar panjang itu, hanya namanya-lah yang kemudian sama-sama diabadikan menjadi nama gedung pada dua instansi pengelola perekonomian Indonesia—dua instansi yang ‘berteman tapi kadang tidak mesra’, yaitu Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia.
Sampai di sini mungkin kita bertanya kenapa anehnya, tidak ada jalan di Indonesia yang dinamai Sjafruddin Prawiranegara (1911-1989), sosok multidimensi yang sederhana, jujur, keras hati, dan fenomenal, yang pensiun tanpa fasilitas apapun dari negara, dan nyaris terlupakan dari serpihan sejarah bangsa Indonesia.
Memang, kita tahu ia kehilangan jabatannya setelah menentang Demokrasi Terpimpin milik Presiden/ Pemimpin Besar Revolusi/ Panglima Tertinggi. Lalu ia memberontak, diancam, menyerahkan diri hingga akhirnya dijebloskan ke penjara oleh pemerintah yang dipimpin oleh sahabat yang sangat dibelanya.
Tapi begitu bebas, dan rezim berganti, ia toh tetap kena cekal: Diawasi, dilarang khutbah Jumat, dan disensor namanya di buku sejarah. Kala meninggal, jasadnya dimakamkan di TPU Tanah Kusir, bukan TMP Kalibata. Baru berpuluh tahun kemudian, pada 2011, ia ditetapkan sebagai pahlawan.
“Hanya masyarakat yang berdasarkan hukum yang bisa makmur. Jika hukum dan keadilan lenyap, kemakmuran akan lenyap,” tulis Sjafruddin Prawiranegara di tahun 1966. (Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.