Ilustrasi Gedung BPK.
JAKARTA, DDTCNews—Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan terdapat delapan permasalahan signifikan dalam penyelesaian restitusi pajak sepanjang semester kedua tahun lalu.
Delapan persoalan restitusi pajak itu terangkum dalam ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II/2019. Pertama, adanya persoalan pengenaan sanksi denda yang tidak sesuai dengan UU KUP Pasal 14 ayat (4) atas pelaporan penyerahan barang ekspor.
Akibat ketidaksesuaian tersebut menyebabkan wajib pajak terkena sanksi administrasi yang tidak seharusnya senilai Rp2,37 miliar. Adapun temuan tersebut terjadi di KPP Madya Jakarta Pusat.
“BPK merekomendasikan Dirjen Pajak agar memerintahkan Direktur Kepatuhan Internal dan Transformasi Sumber Daya Aparatur untuk meneliti adanya unsur kelalaian atau kesengajaan dalam penetapan Surat Tagihan Pajak,” sebut BPK dalam IHPS dikutip Jumat (8/5/2020).
Kedua, terdapat temuan atas perbedaan perlakuan koreksi pajak atas kredit pajak impor barang kena pajak yang mengakibatkan kelebihan pembayaran restitusi sebesar Rp201,92 miliar.
BPK meminta Dirjen Pajak melakukan penelaahan dengan Itjen Kemenkeu dalam proses pemeriksaan yang dilakukan oleh KPP Pratama Soreang.
Ketiga, adanya perbedaan koreksi pajak masukan atas perolehan barang atau jasa kena pajak dalam negeri, sehingga berpotensi kelebihan pemberian restitusi sebesar Rp13,6 miliar kepada wajib pajak yang terdaftar di Kanwil DJP Jakarta Pusat.
BPK meminta Dirjen Pajak berkoordinasi dengan Itjen Kemenkeu untuk meneliti adanya unsur kelalaian atau kesengajaan dalam menelaah keberatan, dan menindaklanjuti hasil review sesuai dengan ketentuan.
Keempat, adanya temuan permasalahan pada restitusi yang diberikan kepada wajib pajak yang terdaftar di KPP Pratama Karang Anyar senilai Rp6,4 miliar.
BPK meminta Dirjen Pajak berkoordinasi dengan Itjen Kemenkeu untuk meneliti ada atau tidaknya unsur kelalaian atau kesengajaan yang dilakukan oleh Account Representative (AR), Kepala Seksi Waskon I dan Kepala KPP pada KPP Pratama Karang Anyar.
Kelima, BPK menemukan pemeriksa pajak tidak melakukan prosedur kerja secara lengkap dalam menguji faktur pajak masukan dari lima wajib pajak, sehingga menyebabkan kelebihan pemberian restitusi sebesar Rp1,4 miliar.
Tak hanya itu, BPK juga menemukan adanya kekurangan penerimaan pajak dari sanksi administrasi kenaikan 100% sebesar Rp1,4 miliar.
Keenam, adanya temuan kegiatan pemeriksa KPP PMA V yang tidak memperhatikan ketentuan perihal perlakuan atas pemungutan PPN di kawasan berikat, sehingga berpotensi menyebabkan kerugian negara atas imbalan bunga sebesar Rp4,3 miliar.
Ketujuh, BPK menemukan adanya pemeriksaan yang tak sesuai dengan ketentuan sehingga menyebabkan potensi imbalan bunga sebesar US$241.000.
BKP meminta Dirjen Pajak berkoordinasi dengan Itjen Kemenkeu untuk melihat ada atau tidaknya unsur kelalaian atau kesengajaan yang dilakukan oleh Pemeriksa Pajak dan Kepala KPP terkait.
Kedelapan, BPK menyebutkan DJP tidak cermat dalam menerapkan perlakuan perpajakan atas branch profit tax Bentuk Usaha Tetap, dan participating interest atas wajib pajak bidang usaha hulu migas sehingga berujung sengketa pajak.
Akibat ketidakcermatan tersebut, penerimaan negara berkurang atas restitusi dari perhitungan lebih bayar sebesar Rp2,08 triliun. Selain itu, terdapat potensi restitusi berikutnya dari upaya hukum atas kondisi serupa.
“BPK merekomendasikan Dirjen Pajak melakukan koordinasi dengan Kementerian ESDM dan SKK Migas untuk mendapatkan data Plan of Development (PoD)," sebut BPK dalam IHPS Semester II/2019. (rig)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.