BERITA PAJAK HARI INI

Ini Dampak Penurunan Tarif PPh Badan Terhadap Ekonomi & Penerimaan

Redaksi DDTCNews | Jumat, 07 Februari 2020 | 07:58 WIB
Ini Dampak Penurunan Tarif PPh Badan Terhadap Ekonomi & Penerimaan

Ilustrasi. 

JAKARTA, DDTCNews – Sejumlah media nasional menyoroti rancangan omnibus law perpajakan pada hari ini, Jumat (7/2/2020).

Salah satu yang disoroti adalah terkait skenario penurunan tarif pajak penghasilan (PPh) badan yang rencananya dilakukan secara bertahap yaitu dari 25% menjadi 22% pada 2021 dan 2022. Selanjutnya, tarif turun lagi dari 22% menjadi 20% pada 2023 dan seterusnya.

Dalam skenario pemerintah, sesuai pemberitaan Bisnis Indonesia dan Kontan, penurunan secara bertahap membuat pertumbuhan ekonomi turun 0,09% pada 2021, tapi berangsur naik pada 2022 hingga 2025 yaitu 0,02%, 0,30%, 0,49%, 0,63%. Pada 2030, ada dampak peningkatan ekonomi 1,02%.

Baca Juga:
Coretax Diterapkan 1 Januari 2025, PKP Perlu Ajukan Sertel Baru

Adapun potensi penerimaan dari pos tersebut turun sekitar Rp52,83 triliun pada 2021 dan Rp50,13 triliun pada 2022. Selanjutnya, pada 2023-2025, potensi penerimaan pajak turun Rp90,46 triliun, Rp99,11 triliun, dan Rp108,15 triliun. Pada 2030, potensi penerimaan turun hingga Rp150,20 triliun.

Sementara itu, jika penurunan tarif dilakukan secara langsung, pertumbuhan dampak ke pertumbuhan ekonomi akan negatif 0,15% pada 2021 dan 0,00% pada 2022. Kemudian, dampak baru positif pada 2023, 2024, 2025, dan 2030, yaitu sebesar 0,41%, 0,60%, 0,76%, dan 1,20%.

Dengan skenario penurunan tarif secara langsung dari 25% menjadi 20%, potensi penerimaan yang hilang pada 2021 dan 2022 diestimasi senilai Rp87,45 triliun dan Rp87,21 triliun. Angkanya penurunan terus membesar pada 2023-2025, yaitu Rp80,45 triliun, Rp98,50 triliun, Rp98,62 triliun. Pada 2030, potensi hilangnya penerimaan senilai Rp141,45 triliun.

Baca Juga:
Jelang Coretax Diterapkan, PKP Bakal Perlu Bikin Sertel Baru

Selain itu, sejumlah media nasional juga menyoroti pengenaan pajak terhadap transaksi ekonomi digital. Dalam draf rancangan omnibus law yang beredar dinyatakan pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, dan/atau PPMSE luar negeri yang memenuhi ketentuan kehadiran ekonomi signifikan dapat diperlakukan sebagai bentuk usaha tetap (BUT) dan dikenakan PPh.

Berikut ulasan berita selengkapnya.

  • Risiko Tergerusnya Penerimaan

Dirjen Pajak Suryo Utomo meminta pebisnis untuk memanfaatkan insentif PPh yang rencananya masuk dalam omnibus law perpajakan. Salah satu insentif itu adalah penurunan tarif PPh badan. Meskipun demikian, dia mengaku memang ada risiko potential loss penerimaan pajak sesuai skenario.

Baca Juga:
PPN 12 Persen, Pemerintah Ingin Rakyat Lebih Luas Ikut Bayar Pajak

“Harapan kami, potential loss ini bisa memberikan kontribusi lagi ke ekonomi,” katanya.

Selain penurunan tarif PPh badan, omnibus law perpajakan juga mengakomodasi penurunan tarif badan untuk perusahaan go public sebesar 3% lebih rendah dari tarif normal. Ada pula penghapusan PPh atas dividen baik dari wajib pajak badan dalam negeri maupun luar negeri yang diinvestasikan ke Indonesia. (Kontan)

  • Dukungan Aspek Lain

Managing Partner DDTC Darussalam meminta pemerintah juga ikut memperhatikan aspek lain di luar insentif pajak untuk menarik investasi. Dengan demikian, insentif pajak yang diberikan harus tetap didukung dari sisi infrastruktur, ketenagakerjaan, dan birokrasi.

Baca Juga:
Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

“Tanggung jawab pembenahan ekonomin jangan semata-mata dibebankan di pajak,” katanya. (Kontan)

  • Ketentuan Kehadiran Ekonomi Signifikan

Merujuk pada rancangan omnibus law perpajakan, ketentuan kehadiran ekonomi signifikan berdasarkan omzet konsolidasi grup usaha sampai dengan jumlah tertentu, penjualan di Indonesia sampai dengan jumlah tertentu, dan/atau jumlah pengguna aktif media digital

Apabila PPh tersebut akibat adanya perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) maka subjek pajak luar negeri (SPLN) yang memenuhi ketentuan kehadiran ekonomi signifikan tersebut bakal dikenai pajak transaksi elektronik.

Baca Juga:
Kantor Pajak Telepon 141.370 WP Sepanjang 2023, Kamu Termasuk?

Ketentuan lebih lanjut mengenai kehadiran ekonomi signifikan, tata cara pembayaran dan pelaporan PPh dan pajak transaksi elektronik, serta tata cara penunjukan perwakilan yang berkedudukan di Indonesia diatur lebih lanjut melalui Peraturan Menteri. (Bisnis Indonesia)

  • Ekstensifikasi Dilebur ke Waskon

Pendekatan kewilayahan yang akan dilakukan DJP akan dibarengi dengan perubahan payung hukum organisasi. Otoritas tengah menyusun perangkat hukum agar pendekatan kewilayahan dapat diimplementasikan tahun ini. Perubahan tersebut akan dilakukan secara komprehensif.

“Infrastrukturnya sedang dikerjakan, termasuk peraturan, aplikasi, dan proses bisnisnya,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Hestu Yoga Saksama.

Baca Juga:
Tahap Pra-Implementasi Aplikasi Coretax, DJP Imbau WP Soal Ini

Khusus untuk level KPP Pratama, perubahan yang paling terasa adalah peleburan Seksi Ekstensifikasi dan Penyuluhan ke Seksi Pengawasan dan Konsultasi (Waskon). Sebelumnya, dalam PMK No.210/2017 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Ditjen Pajak, fungsi ekstensifikasi terpisah dari Waskon. (DDTCNews)

  • Sistem DJP Online Normal

Setelah Single Login diluncurkan, sejumlah wajib pajak mengaku kesulitan saat hendak mengakses sistem DJP Online. DJP memastikan pada pekan ini sistem sudah berjalan normal. Wajib pajak, disebutnya, sudah dapat login tanpa kendala dalam sistem DJP Online.

“Kalau sekarang sudah lancar. Insyaallah sudah oke,” tegas Direktur Teknologi Informasi dan Komunikasi DJP Iwan Djuniardi. (DDTCNews) (kaw)


Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Jumat, 27 Desember 2024 | 09:07 WIB BERITA PAJAK HARI INI

Coretax Diterapkan 1 Januari 2025, PKP Perlu Ajukan Sertel Baru

Kamis, 26 Desember 2024 | 13:30 WIB CORETAX SYSTEM

Jelang Coretax Diterapkan, PKP Bakal Perlu Bikin Sertel Baru

Kamis, 26 Desember 2024 | 08:45 WIB BERITA PAJAK HARI INI

PPN 12 Persen, Pemerintah Ingin Rakyat Lebih Luas Ikut Bayar Pajak

Rabu, 25 Desember 2024 | 13:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

BERITA PILIHAN
Jumat, 27 Desember 2024 | 13:30 WIB UU HKPD

Berlaku Mulai 5 Januari 2025, Begini Penghitungan Opsen Pajak

Jumat, 27 Desember 2024 | 12:30 WIB LAPORAN BELANJA PERPAJAKAN

Masih Ada Fasilitas Kepabeanan Tak Dimanfaatkan, DJBC Beri Penjelasan

Jumat, 27 Desember 2024 | 12:00 WIB PMK 81/2024

Catat! Dokumen WP Badan Era Coretax Diteken Pakai Sertel Pengurus

Jumat, 27 Desember 2024 | 11:30 WIB PMK 168/2023

Penghitungan PPh 21 Pegawai Tidak Tetap untuk Masa Pajak Desember

Jumat, 27 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Analisis Kesebandingan dalam Tahapan Penerapan PKKU

Jumat, 27 Desember 2024 | 10:45 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Jamin Stimulus Ekonomi Efektif, Birokrasi Penyaluran Perlu Dipermudah

Jumat, 27 Desember 2024 | 10:30 WIB KILAS BALIK 2024

Maret 2024: Pemerintah Rilis Ketentuan Baru terkait Akuntansi Koperasi

Jumat, 27 Desember 2024 | 10:00 WIB KEBIJAKAN KEPABEANAN DAN CUKAI

Reformasi Berkelanjutan DJBC, Kolaborasi Lintas Sektor Jadi Kunci

Jumat, 27 Desember 2024 | 09:30 WIB ADMINISTRASI PAJAK

Tahun Baru, PTKP Baru? Catatan bagi yang Baru Menikah atau Punya Anak

Jumat, 27 Desember 2024 | 09:07 WIB BERITA PAJAK HARI INI

Coretax Diterapkan 1 Januari 2025, PKP Perlu Ajukan Sertel Baru