Partner DDTC Fiscal Research B. Bawono Kristiaji (kiri) dalam seminar bertajuk ‘Outlook Penerimaan Pajak 2019’.
JAKARTA, DDTCNews – Kinerja penerimaan pajak tahun ini tidak kalah menantang dari tahun-tahun sebelumnya. Faktor eksternal akan mewarnai dinamika kinerja pajak pada tahun politik ini.
Hal tersebut diungkapkan oleh Partner DDTC Fiscal Research B. Bawono Kristiaji dalam seminar bertajuk ‘OutlookPenerimaan Pajak Indonesia Tahun Anggaran 2019: Strategi dan Tantangannya’. Acara ini diadakan oleh Ikatan Akuntan Indonesia Kompartemen Akuntan Pajak (IAI KAPj) yang bekerja sama dengan Program Studi MAKSI PPAk FEB UI dan Tax Education and Research Center (TERC) FEB UI.
Menurut Bawono, setidaknya ada terdapat lima aspek utama yang akan mewarnai dinamika penerimaan di tahun ini. Pertama, meningkatnya tren kompetisi pajak dalam menggenjot ekonomi dan daya saing. Isu pertama ini, menurutnya, harus menjadi perhatian serius pemerintah.
"Tarif pajak penghasilan (PPh) badan Indonesia sebesar 25%, termasuk kategori tinggi untuk rata-rata tarif PPh badan baik di Kawasan Asia maupun dunia," ujarnya di Auditorium FEB Universitas Indonesia (UI) Salemba, Senin (28/1/2019).
Namun demikian, penurunan tarif PPh badan bukan satu-satunya opsi yang dimiliki pemerintah. Pilihan kebijakan lain masih terbuka untuk dilakukan, salah satunya melalui pemberian insentif dan perubahan rezim pajak dari worldwidemenjadi territorial.
Kedua, meningkatnya kontribusi penerimaan dari pajak konsumsi. Ketika mengejar PPh badan dan PPh orang pribadi semakin sulit, pajak konsumsi seperti pajak pertambahan nilai (PPN) dan cukai menjadi andalan untuk mendulang penerimaan di banyak negara.
Ketiga, berkembangnya kerja sama skala internasional dalam penghindaran pajak. Bawono mengatakan kerja sama akan dilakukan baik berupa modifikasi skema BEPS maupun kerja sama petukaran ingormasi yang diperluas baik dari sisi jumlah negara maupun jenis data yang dipertukarkan.
“Kemudian, faktor keempat adalah berbagai terobosan administrasi dalam meningkatkan kepatuhan terutama kepastian hukum. Salah satunya adalah mengejar pajak untuk orang super kaya atau high nettworth individual," ujarnya.
Terakhir, yang paling menyita perhatian belakangan ini adalah soal pemajakan atas ekonomi digital. Untuk isu yang satu ini idealnya terdapat dua perlakuan berbeda atas pelaku ekonomi digital. Pertama, adalah perlakuan pajak atas raksasa ekonomi digital semacam Google, Amazon, dan Facebook. Kemudian, pemajakan atas perdagangan yang dilakukan lewat ranah digital.
“Untuk yang raksasa ini belum ada pemajakan atas data karena mereka besar karena data dan user participation. Kemudian yang ekonomi digital atau e-commerce sudah tepat seperti PMK.210/2018 karena tidak ada jenis pajak baru,” imbuhnya.
Oleh karena itu, sebagaimana dijabarkan dalam majalah InsideTax edisi ke-40, shortfall - selisih kurang antara realisasi dan target - penerimaan pajak masih akan berlanjut di tahun ini. Proyeksinya, penerimaan pajak bergerak pada rentang Rp1.450 triliun sampai Rp1.491,2 triliun atau 92%-94% dari target APBN 2019 sebesar Rp1.577,6 triliun. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.