Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Ditjen Pajak (DJP) menegaskan terbitnya Peraturan Menteri Keuangan No.210/PMK.10/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik (e-Commerce) memberikan dua manfaat utama.
Hal ini disampaikan oleh Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Hestu Yoga Saksama. Kedua manfaat itu adalah pertama, menciptakan rasa keadilan atau kesetaraan (level playing field) antara pelaku usaha konvensional dan pelaku usaha e-commerce.
“Sebenarnya dari proses bisnis hanya beda model dari offline menjadi online. Latar belakangnya dari peraturan ini adalah suatu industri yang sedang berkembang harus diatur sehingga menimbulkan level playing field yang sama,” jelas Hestu, seperti dikutip dari laman resmi Kemenkeu, Senin (18/2/2019).
Kedua, memberikan perlindungan kepada masyarakat. Menurut dia, dengan aturan main yang jelas, masyarakat tidak akan ragu untuk memasuki ekosistem tersebut. Dengan demikian, masyarakat juga mendapat kepastian hukum terkait model bisnis e-commerce.
Peraturan Menteri Keuangan No.210/PMK.10/2018 merupakan turunan dari Peraturan Presiden (Perpres) No. 74/2017 tentang Peta Jalan Sistem Perdagangan Nasional Berbasis Elektronik (road map e-commerce) 2017-2019.
Dalam road map e-commerce telah diatur adanya mandat terkait perizinan, masalah perpajakan, pengembangan e-commerce, dukungan terhadap e-commerce, sekaligus perlindungan kepada masyarakat.
"Dengan PMK [210/2018] ini, sebenarnya aturan mainnya menjadi jelas. Untuk pelaku seperti apa, pelapaknya seperti apa. PMK ini turunan dari situ [Perpres 74/2017] yang mengatur mengenai perpajakannya,” imbuh Hestu.
Dia menegaskan perlakuan perpajakan untuk e-commerce sama persis dengan yang konvensional. Menurutnya, tidak ada perbedaan dari sisi tarif, objek, maupun subjek pajak. Dengan demikian, PMK tersebut hanya bersifat penegasan.
Terkait dengan pemberlakuan PMK mulai 1 April 2019, Hestu mengatakan perlakuan perpajakan untuk pelaku e-commerce tidak berarti baru mulai berjalan sehingga terutang pajak. Selama ini, lanjutnya, pemajakan sudah berjalan sesuai aturan yang berlaku.
Ia memberi contoh adanya Peraturan Pemerintah (PP) No. 23 /2018 tentang Pajak Penghasilan (PPh) atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
Tarif PPh final 0,5% untuk UMKM, sesuai PP tersebut, berlaku untuk pelaku usaha yang memiliki omzet paling tinggi Rp4,8 miliar per tahun. Ketentuan ini, sambung Hestu, juga sudah berlaku untuk pelaku usaha yang bergerak di sektor e-commerce.
Hal yang sama juga sudah berlaku untuk pelaku usaha yang memasarkan produk melalui media sosial. Walaupun, diakuinya, model pengawasannya berbeda dan potensi pajaknya tidak bisa langsung masuk. Selain itu, apabila seseorang memiliki toko konvensional dan marketplace, omzet keduanya harus dijumlahkan dan dikenakan pajak yang sama.
Hestu menegaskan perusahaan over the top (OTT) juga harus membayar pajak. Namun, lagi-lagi, cara pengawasan, pembangunanawareness, pengenaan pajak efektif, dan level playing field-nya berbeda. DJP, sambungnya, tengah berusaha untuk menjangkau semua pebedaan level playing field. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.