Peter Barnes, President of International Fiscal Association
JAKARTA, DDTCNews - Indonesia dinilai punya modal kuat untuk menjadi pemimpin dalam penyusunan ketentuan pajak internasional atas skema pembiayaan syariah. Dengan populasi muslim terbesar di dunia serta volume pembiayaan syariah yang tidak kecil, Indonesia didorong untuk maju paling depan menggaungkan isu ini.
Peter Barnes, President of International Fiscal Association menilai topik tentang pemajakan atas pembiayaan syariah sudah sepantasnya diangkat di tengah geliat pembahasan tentang mitigasi praktik penggerusan basis dan pengalihan laba (base erotion and profit shifting/BEPS). Menurutnya, pemajakan atas pembiayaan syariah bisa cukup berimbas terhadap banyak negara yang kini menjalankan skema pembiayaan ini, termasuk Indonesia.
"Pembiayaan syariah disusun dengan cara yang agak berbeda dari pembiayaan konvensional tetapi hukum pajak internasional belum mengaturnya.Kita tidak memiliki aturan yang jelas tentang perpajakan yang tepat untuk struktur keuangan yang sesuai syariah," kata Barnes dalam The 10th IFA Indonesia Annual International Tax Seminar yang digelar oleh International Fiscal Association (IFA), Rabu (7/12/2022).
Negara Barat seperti Amerika Serikat (AS) pun, imbuh Barnes, mencatatkan volume pembiayaan syariah hingga US$1 miliar dolar setiap tahunnya. AS sendiri memiliki panduan yang sangat terbatas terkait dengan pemajakan atas pembiayaan syariah di bawah UU mereka. Namun, ada beberapa yurisdiksi yang sudah memiliki aturan khusus untuk memajaki pembiayaan syariah seperti Inggris, Malaysia, dan Hong Kong.
"Saya khawatir kita gagal untuk merespons kebutuhan akan kejelasan dan panduan tentang pemajakan pembiayaan dan keuangan berbasis syariah. Saya pikir Indonesia bisa maju menjadi leader dalam isu ini," kata Barnes.
Seperti diketahui, pembiayaan syariah atau Islamic finance mengalami perkembangan yang cukup pesat dalam satu dekade terakhir. Pembiayaan syariah menjadi alternatif bagi masyarakat dunia untuk melakukan transaksi komersial.
Namun, nihilnya ketentuan pajak yang spesifik atas pembiayaan syariah ini memunculkan celah penghindaran pajak untuk transaksi internasional. Alasannya, perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) pun belum mengakomodasi perlakuan pajak terhadap pembiayaan syariah.
Berbeda dengan pembiayaan konvensional, pembiayaan syariah menganggap uang tidak memiliki nilai intrinsik dan hanya berperan sebagai media pertukaran. Karenanya, unsur bunga pada uang tidak bisa meningkatkan nilai uang itu sendiri.
Adapun transaksi dengan prinsip syariah didasarkan pada prinsip ekuitas, aset, dan pembagian laba atau rugi serta melarang unsur berupa bunga atau riba, ketidakpastian (gharar), perjudian (meysir), dan perbuatan yang dilarang hukum Islam (haram). Hal ini sempat diulas dalam artikel DDTCNews berikut, 'Implikasi Perpajakan Internasional dalam Pembiayaan Syariah'. (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.