EKONOMI DIGITAL

Indonesia Mulai Susun Aksi Unilateral Pajak Digital, Mengapa Tidak?

Redaksi DDTCNews | Kamis, 29 Agustus 2019 | 13:40 WIB
Indonesia Mulai Susun Aksi Unilateral Pajak Digital, Mengapa Tidak?

Partner Research & Training DDTC B. Bawono Kristiaji dalam diskusi bertajuk ‘Aspek Perpajakan atas Transaksi Ekonomi Digital’.

JAKARTA, DDTCNews – Pemerintah perlu menyusun rencana kebijakan pajak khusus untuk raksasa digital. Kebijakan untuk memerangi base erosion and profit shifting (BEPS) ini menjadi langkah unilateral yang bisa dijalankan jika konsensus global tidak tercapai juga pada tahun depan.

Hal tersebut diungkapkan Partner Research & Training DDTC B. Bawono Kristiaji dalam diskusi yang digelar Kompartemen Akuntan Perpajakan Ikatan Akuntan Indonesia (KAPj—IAI) hari ini, Kamis (29/8/2019). Menurutnya, meskipun proposal OECD menguntungkan negara sumber seperti Indonesia, pencapaian konsensus global pemajakan ekonomi digital masih penuh ketidakpastian.

“Perlu adanya quick response karena model bisnis digital ini berubah dengan cepat. Tidak ada salahnya men-draft regulasi mulai dari sekarang. Jadi regulasi langsung bisa dijalankan ketika konsensus global belum bisa berjalan,” jelasnya.

Baca Juga:
Langganan Platform Streaming Musik, Kena PPN atau Pajak Hiburan?

Dalam diskusi bertajuk ‘Aspek Perpajakan atas Transaksi Ekonomi Digital’ ini, Bawono menjelaskan proposal yang diajukan terkait pemajakan ekonomi digital yang terdiri dari dua pilar. Kedua pilar tersebut masih menjadi pembahasan yang alot.

Pembahasan mengenai kedua pilar ini juga bisa Anda simak dalam Indonesia Taxation Quarterly Report (Q1-2019) bertajuk ‘Tax and Digital Economy: Threats and Opportunities’ yang dirilis oleh DDTC Fiscal Research.

Salah satu aspek yang diperdebatkan adalah metode dalam mengalokasikan hak pemajakan. Perdebatan panjang masih terus berlangsung terkait tiga pilihan membagi hak pemajakan apakah lewat user participation, market intangibles, atau sufficient economic presence.

Baca Juga:
Meninjau Aspek Keadilan dari Konsensus Pajak Minimum Global

Masih belum pastinya pencapaian konsensus telah membuat banyak negara menempuh jalan pintas dengan aksi unilateral untuk memajaki transaksi ekonomi digital. Beban pajak dan tarifnya juga bermacam-macam mulai dari 2% hingga 13%.

Baru-baru ini Prancis memperkenalkan digital service tax (DST) berupa PPh final dengan tarif 3%. Uni Eropa melalui komisinya juga sudah membuat proposal yang ditujukan untuk transaksi yang dilakukan pada ranah digital. Tarif pajak dipatok pada angka 3% yang berlaku untuk iklan digital dan jasa atas penggunaan data.

“Jadi ada sikap frustasi negara-negara karena tidak ada konsensus global di 2020. Mereka pandang itu terlalu lama dan akhirnya buat aksi unilateral yang tidak dalam koordinasi global. Pajak final seperti DST Prancis sepertinya mudah dan tambah penerimaan negara,” paparnya.

Baca Juga:
Penerapan Pilar 1 Amount A Butuh Aturan yang Berkepastian Hukum Tinggi

Meskipun sederhana, ada kemungkinan model pemajakan tersebut juga akan merugikan pengguna jasa digital. Beban pajak final tersebut bisa jadi justru dialihkan kepada konsumen. Akibatnya, dapat terjadi welfare loss.

Oleh karena itu, kalaupun ada aksi unilateral, dia tetap meminta pemerintah mempertimbangkannya secara matang. Perlindungan terhadap bisnis start-up juga perlu dikedepankan, misalkan melalui threshold berdasarkan pendapatan entitas bisnis digital. (kaw)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Jumat, 18 Oktober 2024 | 15:30 WIB SERBA-SERBI PAJAK

Langganan Platform Streaming Musik, Kena PPN atau Pajak Hiburan?

Rabu, 16 Oktober 2024 | 13:20 WIB BUKU PAJAK

Meninjau Aspek Keadilan dari Konsensus Pajak Minimum Global

Rabu, 09 Oktober 2024 | 16:17 WIB KONSENSUS PAJAK GLOBAL

Penerapan Pilar 1 Amount A Butuh Aturan yang Berkepastian Hukum Tinggi

Rabu, 09 Oktober 2024 | 13:45 WIB LITERATUR PAJAK

Menginterpretasikan Laba Usaha dalam P3B (Tax Treaty), Baca Buku Ini

BERITA PILIHAN
Rabu, 23 Oktober 2024 | 17:30 WIB PERPRES 132/2024

Tak Hanya Sawit, Cakupan BPDP Kini Termasuk Komoditas Kakao dan Kelapa

Rabu, 23 Oktober 2024 | 17:05 WIB KABINET MERAH PUTIH

Kabinetnya Gemuk, Prabowo Minta Menteri Pangkas Kegiatan Seremonial

Rabu, 23 Oktober 2024 | 17:00 WIB UJIAN SERTIFIKASI KONSULTAN PAJAK

Awas! Ada Sanksi Blacklist bagi Peserta USKP yang Tidak Datang Ujian

Rabu, 23 Oktober 2024 | 16:30 WIB KEMENTERIAN KEUANGAN

Daftar Lengkap Menteri Keuangan dari Masa ke Masa, Apa Saja Jasanya?

Rabu, 23 Oktober 2024 | 16:00 WIB KABUPATEN MALUKU TENGAH

Pajak Hiburan 45%, Ini Daftar Tarif Pajak Terbaru di Maluku Tengah

Rabu, 23 Oktober 2024 | 15:53 WIB PROFESI KONSULTAN PAJAK

USKP Kembali Digelar Desember 2024! Khusus A Mengulang dan B-C Baru

Rabu, 23 Oktober 2024 | 15:45 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Kabinet Gemuk Prabowo, RKAKL dan DIPA 2024-2025 Direstrukturisasasi

Rabu, 23 Oktober 2024 | 15:32 WIB SERTIFIKASI PROFESIONAL PAJAK

Profesional DDTC Bersertifikasi ADIT Transfer Pricing Bertambah

Rabu, 23 Oktober 2024 | 15:30 WIB CORETAX SYSTEM

Coretax DJP: Lapor SPT WP Badan Harus Pakai Akun Orang Pribadi