Founder DDTC Danny Septriadi saat memberikan paparannya dalam sesi kelas Audit & Negosiasi Pajak.
“Malaikat dan setan saja bisa duduk bersama untuk bernegosiasi, kenapa manusia tidak?”
Begitulah salah satu komentar atau caption dari seorang mahasiswa FEB Magister Akuntansi Universitas Indonesia atas sebuah kartun yang muncul pada slide di bawah. Kartun karya Dana Fradon (1987) tersebut menampilkan dua macam karakter yang identik dengan malaikat dan setan.
Tangkapan layar sesi kelas Audit & Negosiasi Pajak yang diampu Danny Septriadi, Sabtu (14/9/24).
Sejurus kemudian, peserta lain mulai terpantik imajinasinya. Ada yang berujar, “Demi mencapai kesepakatan, setan aja mau nyamperin tempat tinggal malaikat.” Satu lagi yang juga menarik adalah caption berikut, "Di tiap negosiasi, semua orang menganggap dirinya malaikat."
Respons-respons semacam itulah yang Anda dapatkan bila hadir langsung di kelas Audit & Negosiasi Pajak Magister Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI), dengan Danny Septriadi sebagai pengajarnya.
Sabtu (21/9/24) adalah kali kedua Founder DDTC tersebut mencoba mengaplikasikan metode cartoon caption untuk menggali pengalaman, pemahaman konsep, hingga imajinasi para mahasiswanya terkait soft skills berkomunikasi dan bernegosiasi. Profesor asal University of Hawaii, John Barkai, melalui bukunya Humor in Negotiations & ADR (2020) menjadi inspirasi Danny dalam menyampaikan materi.
Sepanjang kelas, Danny memberikan dua sudut pandang dalam penggunaan negosiasi. Yang utama, tentunya soft skills ini harus digunakan dalam konteks positif, yakni berorientasi pada pencarian solusi berlandaskan etika serta aturan yang berlaku, dan berfungsi sebagai pelengkap technical skills, seperti pemahaman ground rules terkait standar dan prosedur pemeriksaan pajak.
Selain itu, dia juga mencontohkan aplikasi bernegosiasi dalam konteks negatif. Danny membawakan analisisnya atas putusan tindak pidana korupsi No. 68/Pid/Sus-TPK/2021/PN Jkt.Pst, terkait negosiasi yang melanggar etika dan peraturan perundang-undangan pajak.
Dari pengalaman mengaplikasikan metode cartoon caption untuk mengenalkan proses dan konsep dalam negosiasi pajak dari opening sampai final offer tersebut, secara umum, umpan balik (feedback) dari peserta dapat dikategorikan menjadi 3 kelompok.
Pertama, ada sebagian kecil mahasiswa yang merasa belum bisa banyak berkontribusi di kelas karena salah memahami. Mereka mengira komentar yang diberikan harus lucu, sehingga overthinking sendiri kalau caption-nya gagal membikin teman-temannya dan si pengajar tertawa.
Ada juga yang merasa jam terbang bernegosiasinya di lapangan masih kurang. Alhasil, mereka belum punya banyak cerita serta imajinasi untuk dikemas jadi caption. Setidaknya, para peserta di kategori ini mengaku telah mendapat banyak insight dari caption dan pengalaman teman-temannya saat bekerja.
Kedua, kelompok yang mengaku mulanya kaget dan bingung bagaimana humor dan cartoon caption bisa menjadi metode pembelajaran negosiasi saat menerima slide materi sebelum kelas berlangsung. Namun, begitu menyimak penjelasan dari Danny Septriadi dan respons dari peserta ajar lain secara langsung, mereka pun mulai paham dan mencoba menarasikan caption-nya sendiri.
Ketiga, ada pula mereka yang justru sudah dapat menikmati dan berpartisipasi aktif sejak awal pertemuan. Sebab, selain telah memiliki pengalaman riil dalam bernegosiasi, para peserta dalam kategori ini juga menyimpan banyak uneg-uneg, dari lika-liku soal pekerjaannya hingga keresahan akan perpolitikan nasional.
Secara keseluruhan, mahasiswa yang latar belakangnya cukup heterogen di kelas ini mengaku cocok dengan metode cartoon caption untuk mempelajari konsep dan tips dalam negosiasi pajak. Sebagai gambaran, kelas ini berisi full-time student, profesional di luar bidang pajak (seperti auditor), serta praktisi di bidang pajak (fiskus maupun staf pajak di perusahaan).
Di akhir sesi, seorang mahasiswa berinisial SH yang juga berprofesi sebagai pegawai Ditjen Pajak (DJP), menyimpulkan rekan-rekannya di DJP perlu juga mempelajari metode semacam ini. Dia melihat, pendekatan seperti ini bisa membantu agar pegawai pajak tidak terlalu kaku dalam memandang dan menjalankan tugasnya.
Sebagai fiskus, HH juga sependapat. Metode cartoon caption telah mendorong dia dan teman-temannya di kelas untuk berpikir out of the box, sehingga bisa muncul gambaran yang lebih luas (bigger picture) tentang isu perpajakan. Metode seperti ini jauh lebih seru daripada hanya fokus mempelajari aturan perpajakan saja.
Sementara itu, bagi AA, praktisi pajak di sebuah korporasi, dua pertemuan ini telah menyadarkannya satu hal: wajib pajak dan fiskus sebenarnya sama-sama dalam tekanan. Rasa empati satu sama lain ini bakal relevan dalam menjalankan proses negosiasi ketika kedua belah pihak telah memiliki technical skill yang memadai.
Temuan ini memperkaya hasil penerapan cartoon caption sebagai metode pengajaran negosiasi yang diinisiasi Prof. John Barkai sejak 1980. Meskipun dari pengalamannya mengajar di berbagai negara, Prof. Barkai merasa jika peserta ajar yang bahasa ibunya bukan Bahasa Inggris sering salah memahami cara bermain cartoon caption. Mereka biasanya tidak memberikan komentar atau keterangan singkat terkait kartun tersebut, tetapi malah bercerita (Humor in Negotiations & ADR, 2020, h.130).
Namun, menurut Danny Septriadi, hal tersebut bukan masalah. Pasalnya, penggunaan cartoon caption di kelasnya ini memang sengaja dia tujukan untuk memancing insight riil dan diskusi yang cair. Bahasa sama sekali tidak menjadi kendala, karena seluruh materi dan interaksi yang muncul menggunakan Bahasa Indonesia.
Efeknya bisa Danny rasakan dan lihat jelas. Begitu mahasiswa mendapatkan kesempatan untuk merefleksikan pengalamannya di lapangan maupun konsep yang sudah mereka pahami, terciptalah suasana belajar yang egaliter. Informasi tidak hanya bersumber dari pengajar, tetapi juga di antara peserta ajar sendiri. Saat Danny membagikan pengalaman dan menjelaskan suatu konsep lewat kartun pun, peserta ajarnya bisa mengelaborasi sekaligus memverifikasinya.
Anda bisa mengakses slide yang Danny Septriadi dan Ulwan Fakhri (peneliti humor IHIK3) bawakan di kelas tersebut melalui tautan berikut.
Sebagai informasi, DDTC Academy sendiri konsisten mengembangkan materi untuk mengembangkan soft skills para praktisi pajak, di antaranya seni berkomunikasi dengan humor, berpikir kreatif (divergent thinking), logical fallacy (convergent thinking), serta resiliensi bagi praktisi pajak.
Sesi mengasah kemampuan bernegosiasi lewat cartoon caption ini juga tersedia sebagai tema untuk In-House Training di perusahaan Anda. Silakan ajukan permintaan atau pertanyaan terkait melalui Whatsapp Hotline DDTC Academy (+62)812-8393-5151 (Vira).
*Artikel ditulis oleh Ulwan Fakhri Noviadhista, peneliti Institut Humor Indonesia Kini (IHIK3). (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.