PADA 1 hingga 3 Desember 2016, Foundation for International Taxation (FIT) India bekerja sama dengan International Bureau Fiscal Documentation (IBFD) mengadakan International Taxation Conference dengan tema ‘BEPS and Beyond BEPS: A Year Later’. Dari Indonesia, DDTC yang diwakili B. Bawono Kristiaji menjadi salah satu pembicara di konferensi tersebut. Berikut laporan ketiganya:
DI berbagai negara berkembang, persoalan penerimaan tidak hanya berkutat pada penggerusan basis pajak dan perpindahan laba (base erosion and profit shifting/BEPS) saja namun mencakup dimensi yang lebih luas.
Aliran dana gelap, pencucian uang, korupsi, aktivitas ilegal, hingga pemberian insentif pajak yang berlebihan juga memiliki kontribusi yang tidak kecil terhadap keuangan negara. India, tidak terkecuali. Negara jumlah wajib pajaknya hanya 3,01% dari populasi (2013) tersebut menghadapi hampir seluruh dimensi persoalan yang menggerogoti uang pajak.
Ini terjadi terutama karena maraknya penghasilan yang didapatkan secara ilegal. Ataupun jika legal, penghasilan tersebut ternyata tidak dilaporkan kepada otoritas pajak. Penghasilan semacam ini, istilah populernya adalah black money (uang gelap).
Proporsi uang gelap terhadap produk domestic bruto (PDB) India kian hari semakin meningkat. Pada 1984, angkanya masih berkisar antara 19%-21%. Sepuluh tahun berikutnya, persentasenya meningkat hingga dua kali lipat. Dengan tren pertumbuhan tersebut, tidak mengherankan jika Pemerintah India pada tahun ini mengambil dua langkah penting.
Pertama, melaksanakan Income Declaration Scheme yaitu pengampunan pajak untuk menjaring uang gelap ke dalam sistem sekaligus meningkatkan kepatuhan pajak. Program yang dilaksanakan pada periode Juni hingga September lalu, berhasil menarik 64.275 peserta dengan jumlah deklarasi INR650 miliar.
Kedua, menarik peredaran uang kertas dengan denominasi tertinggi yaitu pecahan 500 dan 1.000 rupee hingga akhir tahun. Tujuannya untuk mencegah korupsi, mengurangi penggelapan pajak, sekaligus menindak kepemilikan uang gelap.
Aliran Dana Gelap
SEBAGIAN besar uang gelap tersebut kemudian dialirkan ke luar India melalui berbagai skema baik secara komersial maupun ilegal. Pelarian tersebut sering disebut sebagai aliran dana gelap (illicit financial flow/IFF).
Bagi negara berkembang, IFF adalah momok yang menakutkan. Menurut Global Financial Integrity, selama periode 2004 hingga 2013 saja, IFF yang ke luar negara-negara berkembang mencapai angka US$784,8 miliar tiap tahun.
Khusus untuk India, angkanya mencapai US$51 miliar. Dengan pencapaian tersebut, tidak heran jika India merupakan negara dengan aliran dana gelap terbesar nomor empat di antara negara-negara berkembang.
Menurut Kuntal Dave (India), kebijakan yang dapat dipergunakan untuk mencegah IFF tidak melulu soal pajak. Banyak cara lain yang cukup efektif. Contohnya, penegakan regulasi mengenai pencucian uang, memperkuat prosedur due-diligent, whistleblower system untuk mengurangi suap, mensyaratkan pelaporan beneficial owner, hingga penerapan transparansi secara konsisten di sektor keuangan. Tidak hanya itu, upaya pemulihan aset dan merepatriasikannya ke dalam negeri juga patut dicoba.
Perspektif India Melawan BEPS
BAGI India, program anti-BEPS adalah hal penting dan memberikan pengaruh yang tidak kecil. Hal ini seperti dinyatakan Kepala Komisaris Pajak Penghasilan India Akhiles Ranjan, “program anti-BEPS merupakan suatu langkah dalam menciptakan sistem pajak global yang semakin adil”.
Akan tetapi, itu bukanlah solusi final karena program anti-BEPS tersebut belum menyentuh persoalan mendasar mengenai keadilan atas alokasi hak pemajakan.
Sebagai salah satu negara berkembang, India sejak awal memiliki kepentingan yang besar atas program ini. Hal ini mendorong keterlibatan mereka dalam penyusunan Rencana Aksi BEPS baik yang diwakili oleh pemerintah, swasta atau individu.
Walau demikian, sepertinya terdapat perbedaan atas hal-hal yang menjadi perhatian negara berkembang dan India, serta negara maju.
India memiliki kepentingan untuk terwujudnya tatanan pajak global yang memberikan alokasi hak pemajakan kepada aktivitas-aktivitas produksi dan penciptaan nilai. Berbeda dengan negara-negara maju, India juga harus menyeimbangkan keinginan untuk mencegah penghindaran pajak di satu sisi dan upaya menarik investasi di sisi lainnya.
Menariknya, India termasuk salah satu negara berkembang yang menyikapi secara cepat Rencana Aksi dalam Program Anti-BEPS. Hampir seluruh Rencana Aksi telah direspons dengan revisi ataupun pembentukan aturan baru.
Satu-satunya yang menjadi tantangan bagi India terletak pada sisi administrasinya. “Menciptakan sistem penilaian risiko yang efisien dalam audit, menjamin kerahasiaan data, serta meningkatkan kapasitas merupakan tiga hal yang sedang dikerjakan selama enam bulan terakhir,” pungkas Ranjan.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.