JAKARTA, DDTCNews – Awal pekan ini, Senin (9/7), kabar datang dari pemerintah yang berencana memasukkan laba ditahan (retained earnings) dan warisan sebagai objek pajak penghasilan (PPh). Rencana ini tengah disosialisasikan dan kabarnya akan tertuang pada revisi UU PPh.
Upaya pemajakan warisan dan laba ditahan itu mendapat sorotan dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) yang menyatakan ketidaksetujuannya dalam hal tersebut. Baik warisan maupun laba ditahan dianggap bukan menjadi hal yang patut untuk dipajaki.
Selain itu, kabar datang dari Ditjen Pajak yang menilai data yang tercatat di Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM) terkait jumlah pelaku UMKM sebanyak 60 juta, tidak seluruhnya bisa mendapatkan keringanan tarif PPh final 0,5%.
Berikut ringkasannya:
Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Rofyanto mengatakan pajak laba ditahan bertujuan untuk mengurangi uang pasif dan mendorong dana tersebut tetap diinvestasikan, sedangkan pajak atas warisan bertujuan untuk pemerataan sekaligus mengurangi ketimpangan. Menurutnya pajak laba ditahan tidak akan langsung dikenakan, hanya berlaku pada laba yang tidak diinvestasikan bertahun-tahun. Untuk pajak warisan, dia menilai pemerintah hanya memajaki orang superkaya dengan nilai kekayaan tertentu, sehingga tidak semua warisan maupun masyarakat dipajaki.
Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani mengatakan pemajakan laba ditahan tidak dibenarkan, karena perusahaan yang menahan laba biasanya menggunakan dana itu untuk perluasan usaha yang akan meningkatkan penjualan dan pendapatan, hingga akhirnya meningkatkan penerimaan pajak pula. Begitu pun halnya warisan, menurutnya warisan baru bisa dipajaki hanya pada saat diperjualbelikan saja.
Direktur P2 Humas Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama mengatakan pelaku UMKM yang tercatat sebanyak 60 juta (data Kemenkop UKM) berbeda dengan parameter dengan yang masuk kriteria perpajakan. Menurutnya angka 60 juta itu berisi pengusaha dengan peredaran usaha terkecil sampai Rp50 miliar per tahun. Sedangkan pengusaha yang boleh memanfaatkan tarif PPh final 0,5% hanyalah pengusaha dengan omzet maksimal Rp4,8 miliar per tahun.
Jumlah hakim agung di Mahkamah Agung (MA) sangat minim, padahal institusi ini menjadi pintu terakhir dalam penyelesaian masalah perpajakan yang diadili oleh Pengadilan Pajak. Pengamat Pajak DDTC B. Bawono Kristiaji mengatakan dalam paket kebijakan ekonomi, terdapat sejumlah paket yang berkaitan dengan perpajakan, mulai dari tax amnesty, penurunan tarif dan kewajiban setor data pajak, yang seluruhnya rawan menimbulkan sengketa di pengadilan pajak hingga ke tingkat Peninjauan Kembali (PK). Minimnya jumlah hakim pajak dikhawatirkan mempengaruhi waktu penetapan putusan PK yang diajukan wajib pajak. Lamanya waktu tunggu bisa membuat ketidakpastian hukum semakin bertambah. Terlebih, pertimbangan hukum dari hakim agung bakal terpengaruh.
Setelah sekian kalinya tertunda, Staf Khusus Menko Perekonomian Edy Putra Irawadi mengatakan Online Single Submission (OSS) bisa berjalan terlebih dulu seiring menunggu waktu kosong Presiden RI Joko Widodo untuk secara resmi melakukan peluncuran OSS. Pelaksanaan OSS lebih dulu dibanding peresmian oleh presiden menjadi pilihan pemerintah untuk segera mengimplementasikan kebijakan baru tersebut. Edy berharap Senin (9/7) atau Selasa (10/7) bisa menerapkan OSS di luar seremonial peresmian. (Amu)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.