Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Tepat 5 hari lagi aturan baru tentang faktur pajak, yakni PER-11/PJ/2022, resmi berlaku. Beleid ini merevisi sejumlah pasal dalam aturan faktur pajak sebelumnya, PER-03/PJ/2022.
Topik tentang ketentuan baru faktur pajak ini masih hangat diperbincangkan netizen sepanjang pekan ini.
Kendati berlaku sebentar lagi, yakni pada 1 September 2022, ternyata masih banyak wajib pajak yang kebingungan dengan poin-poin perubahan yang dituangkan dalam PER-11/PJ/2022. Hal ini terlihat dari banyaknya cuitan netizen yang melempar pertanyaan-pertanyaan seputar PER-11/PJ/2022 melalui Twitter.
Menanggapi kondisi ini, Ditjen Pajak (DJP) menegaskan PER-11/PJ/2022 tetap berlaku pada 1 September 2022, tanpa ada penundaan. "Sampai saat ini PER-11/PJ/2022 akan berlaku sesuai dengan yang telah disebutkan dalam ketentuan tersebut yaitu tanggal 1 September 2022," ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Neilmaldrin Noor.
Ditilik dari lini masa Twitter, mayoritas pertanyaan wajib pajak adalah terkait dengan ketentuan pencantuman nama, NPWP, dan alamat PKP pembeli sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (6) PER-11/PJ/2022. Baca Masih Banyak WP Bingung, PER-11/PJ/2022 Tetap Berlaku Bulan Depan.
Pada sisa waktu sebelum PER-11/PJ/2022 berlaku pada 1 September 2022, ketentuan lama dalam PER-03/PJ/2022 masih berlaku. Misalnya, ketentuan soal penulisan alamat pada faktur pajak untuk transaksi sebelum aturan baru berlaku.
Sebagai informasi, melalui Pasal 6 ayat (6) PER-03/PJ/2022, DJP mengatur secara khusus tentang pencantuman nama, NPWP, dan alamat PKP pembeli bila PKP pembeli melakukan pemusatan PPN, tetapi BKP atau JKP dikirimkan ke tempat PPN yang dipusatkan.
Apabila kriteria tersebut terpenuhi, nama dan NPWP yang dicantumkan dalam faktur pajak ialah nama dan NPWP pusat. Adapun alamat yang dicantumkan adalah alamat cabang.
Ketentuan ini hanya berlaku bila PKP pembeli ialah PKP yang terdaftar di KPP pada Kanwil DJP Wajib Pajak Besar, KPP pada Kanwil DJP Jakarta Khusus, dan KPP Madya (KPP BKM) dan melakukan pemusatan PPN sesuai dengan PER-07/PJ/2020 s.t.d.d PER-05/PJ/2021. Baca DJP Ingatkan Lagi Wajib Pajak, PER-11/PJ/2022 Baru Berlaku 1 September.
Selain itu, DJP juga mengirimkan pesan singkat melalui Whatsapp secara serentak kepada ribuan wajib pajak. Pesan ini dikirim oleh perusahaan rekanan yang ditunjuk DJP, yakni PT Marketing Sentratama Indonesia (Frontier).
Pesan singkat berisi permintaan izin untuk melakukan wawancara lanjutan melalui sambungan telepon Whatsapp.
Survei ini bertujuan untuk memahami tingkat kepuasan masyarakat pengguna layanan atau stakeholders terhadap pelayanan yang diberikan DJP. Selain itu, survei juga bertujuan menjaring opini/pendapat publik mengenai efektivitas kegiatan penyuluhan dan kehumasan DJP serta mendapatkan saran atau masukan atas perbaikan layanan, penyuluhan dan kehumasan di masa yang akan datang.
"Berkenaan dengan hal itu, kami mengharapkan kesediaan Bapak/lbu selaku pengguna layanan DJP untuk dapat berpartisipasi dalam survei dengan menjawab pertanyaan yang diberikan oleh petugas survei," tulis DJP dalam pengumumannya.
Pertanyaan diajukan melalui wawancara tidak langsung menggunakan media online terekam seperti Zoom Meetings atau aplikasi sejenis, atau melalui telepon terekam. Wajib pajak diminta memberikan jawaban survei tersebut berdasarkan kondisi yang sebenarnya dialami. Baca Wajib Pajak Terima Whatsapp Permintaan Wawancara, Ini Penjelasan DJP.
Selain topik-topik di atas, masih ada sejumlah pemberitaan lain yang juga menyita perhatian publik. Berikut adalah 5 artikel terpopuler lainnya yang sayang untuk dilewatkan:
1. Ternyata Ini Alasan di Balik Penolakan Implementasi NIK sebagai NPWP
DJP mengantisipasi potensi timbulnya penolakan terhadap implementasi nomor induk kependudukan (NIK) sebagai nomor pokok wajib pajak (NPWP). Neilmaldrin Noor mengatakan resistensi tersebut berpotensi muncul akibat adanya kesalahpahaman masyarakat atas kebijakan tersebut.
"Ada anggapan di masyarakat bahwa dengan berlakunya NIK sebagai NPWP, maka bayi yang baru saja lahir langsung wajib membayar pajak," ujar Neilmaldrin.
Anggapan tersebut tidak tepat karena meski NIK sekarang berlaku sebagai NPWP, kewajiban perpajakan baru muncul ketika syarat subjektif dan syarat objektif sebagai wajib pajak telah terpenuhi.
2. Pencantuman NIK Pembeli di Faktur Pajak Tuai Keluhan, Ini Jawaban DJP
Ketentuan pencantuman NIK pembeli dalam faktur pajak apabila pembeli tersebut tidak memiliki NPWP, dikeluhkan oleh banyak pihak.
Dalam Sosialisasi UU Cipta Kerja yang digelar oleh DJP, seorang pengusaha bernama Hermawan mengatakan banyak pembeli yang tak bersedia memberikan NIK untuk dicantumkan dalam faktur pajak.
"Ibu-ibu jual di pasar kalau diminta NIK kadang-kadang enggak mau. Mereka ngomong 'saya jual merek lain saja daripada jual punya Anda'. Ini kesulitan distributor kita," ujar Hermawan.
Lantas bagaimana tanggapan DJP soal ini? Simak artikel lengkapnya lewat tautan pada judul.
3. Tahan Harga BBM, Sri Mulyani: Pagu Subsidi Harus Ditambah Rp198 T
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut kebutuhan anggaran subsidi energi setidaknya harus bertambah Rp198 triliun apabila harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite dan solar tidak ingin dinaikkan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan anggaran subsidi energi dan kompensasi yang telah disiapkan pemerintah sejumlah Rp502 triliun tidak cukup untuk menahan harga di tengah harga minyak yang terus meningkat dan depresiasi nilai tukar rupiah.
"Rp502 triliun itu dihitung dengan asumsi volume 23 juta kiloliter, harga US$100, kurs Rp14.450. Namun, mulai Juli, Agustus dan seterusnya, harga itu di atas US$100, sudah di US$104,9 per barel dengan kurs Rp14.750,” katanya.
4. Soal Aturan Perpajakan di UU Cipta Kerja, DJP: Tak Ada PR Sama Sekali
DJP menyebut ketentuan perpajakan yang termuat dalam UU 11/2020 tentang Cipta Kerja sejauh ini telah terimplementasi dengan baik.
Direktur Peraturan Perpajakan I Ditjen Pajak (DJP) Hestu Yoga Saksama mengatakan semua aturan turunan yang diperlukan pada klaster perpajakan UU Cipta kerja telah terbit. Manfaat kemudahan berusaha dari klaster perpajakan juga sudah dirasakan wajib pajak.
"UU Cipta Kerja klaster kemudahan berusaha di bidang perpajakan secara regulasi sudah lengkap, tidak ada PR dan sudah terimplementasi dengan sebaik-baiknya," katanya dalam Sosialisasi UU Cipta Kerja Klaster Perpajakan di Jawa Timur.
5. DJP Sebut Dividen Dapat Bebas Pajak Berkat UU Cipta Kerja
Dividen yang diterima oleh wajib pajak badan dalam negeri menjadi bebas pajak seiring dengan berlakunya ketentuan perpajakan dalam UU 11/2020 tentang Cipta Kerja.
Direktur Peraturan Perpajakan II DJP Estu Budiarto mengatakan dividen yang dikecualikan dari objek pajak sebelum UU Cipta Kerja ialah dividen diterima dari perusahaan yang sahamnya dimiliki oleh wajib pajak badan sebesar 25% atau lebih.
"Jadi memang ada keleluasan. Kalau dulu dibatasi 25%, sekarang diterima badan langsung bebas," katanya dalam Sosialisasi UU Cipta Kerja. (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.