Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Setelah ditunggu-tunggu, Kementerian Keuangan akhirnya menerbitkan ketentuan yang merevisi produk hukum lama yang berkaitan dengan dasar pengenaan pajak (DPP) nilai lain dan PPN besaran tertentu, selain yang sudah diatur dalam PMK 131/2024. Pembaruan ketentuan ini tertuang dalam PMK 11/2025.
Terbitnya regulasi ini mendapat sorotan cukup banyak dari publik sepanjang pekan ini.
Sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 PMK 131/2024, PPN atas BKP/JKP nonmewah yang DPP nilai lain atau PPN besaran tertentunya diatur dalam PMK tersendiri tidak boleh dihitung menggunakan DPP nilai lain sebesar 11/12 dari harga jual.
"PMK 131/2024 ... mengatur pengecualian penghitungan PPN dengan menggunakan DPP berupa nilai lain dan besaran tertentu PPN yang telah diatur secara khusus dalam PMK tersendiri," bunyi bagian pertimbangan PMK 11/2025.
Oleh karena itu, PMK 11/2025 diterbitkan untuk menyesuaikan formula DPP nilai lain dan PPN besaran tertentu atas BKP/JKP tertentu yang selama ini telah diatur dalam dalam beragam PMK tersendiri, selain PMK 131/2024.
"Untuk memberikan kepastian hukum dalam penghitungan PPN dengan menggunakan DPP berupa nilai lain dan besaran tertentu PPN, perlu menyesuaikan beberapa ketentuan dalam PMK yang mengatur mengenai PPN," bunyi bagian pertimbangan PMK 11/2025.
Tanpa penyesuaian melalui PMK 11/2025, PPN atas BKP/JKP nonmewah yang memiliki DPP nilai dan PPN besaran tertentu dalam PMK tersendiri bakal naik sejalan dengan kenaikan tarif umum PPN dari 11% menjadi 12% pada 2025.
Merujuk pada Pasal 3 PMK 11/2025, PMK terkait DPP nilai lain yang direvisi antara lain:
a. PMK 75/2010 tentang Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan PMK 121/2015;
b. PMK 102/2011 tentang Nilai Lain sebagai DPP atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean Berupa Film Cerita Impor dan Penyerahan Film Cerita Impor, serta Dasar Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas Kegiatan Impor Film Cerita Impor;
c. PMK 6/2021 tentang Penghitungan dan Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai serta Pajak Penghasilan atas Penyerahan/Penghasilan Sehubungan dengan Penjualan Pulsa, Kartu Perdana, Token, dan Voucer;
d. PMK 173/2021 tentang Tata Cara Pembayaran, Pelunasan, dan Pengadministrasian Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dari dan/atau ke Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas;
e. PMK 62/2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Liquefied Petroleum Gas Tertentu;
f. PMK 63/2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Hasil Tembakau;
g. PMK 66/2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian;
h. PMK 79/2024 tentang Perlakuan Perpajakan dalam Kerja Sama Operasi.
Adapun PMK terkait PPN besaran tertentu yang direvisi melalui PMK 11/2025 antara lain:
a. PMK 62/2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Liquefied Petroleum Gas Tertentu;
b. PMK 64/2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Barang Hasil Pertanian Tertentu;
c. PMK 65/2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Kendaraan Bermotor Bekas;
d. PMK 71/2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu;
e. PMK 41/2023 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Agunan yang Diambil Alih oleh Kreditur kepada Pembeli Agunan;
f. PMK 48/2023 tentang Pajak Penghasilan dan/atau Pajak Pertambahan Nilai atas Penjualan/Penyerahan Emas Perhiasan, Emas Batangan, Perhiasan yang Bahan Seluruhnya Bukan dari Emas, Batu Permata dan/atau Batu Lainnya yang Sejenis, serta Jasa yang terkait dengan Emas Perhiasan, Emas Batangan, Perhiasan yang Bahan Seluruhnya Bukan dari Emas, dan/atau Batu Permata dan/atau Batu Lainnya yang Sejenis, yang Dilakukan oleh Pabrikan Emas Perhiasan, Pedagang Emas Perhiasan, dan/atau Pengusaha Emas Batangan;
g. PMK 81/2024 tentang Ketentuan Perpajakan dalam Rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan.
Selain bahasan mengenai revisi ketentuan mengenai DPP nilai lain dan PPN besaran tertentu, ada pula informasi lain yang juga menarik untuk diulas kembali. Di antaranya, daftar lengkap role akses Coretax DJP terbaru, pengumuman terkini DJP mengenai Bupot PPh dan Surat Teguran di Coretax, hingga kinerja tax ratio RI pada 2024 lalu.
PMK 11/2025 turut merevisi ketentuan penghitungan PPN menggunakan DPP nilai lain atas pemakaian sendiri dan pemberian cuma-cuma.
Merujuk pada Pasal 4 PMK 11/2025 yang merevisi Pasal 2 PMK 121/2015, ditegaskan bahwa DPP nilai lain untuk pemakaian sendiri ialah sebesar 11/12 dari harga jual atau penggantian setelah dikurangi laba kotor.
DPP nilai atas pemberian cuma-cuma BKP/JKP juga ditetapkan sebesar 11/12 dari harga jual atau penggantian setelah dikurangi laba kotor. (DDTCNews)
Daftar role akses yang dapat didelegasikan kepada wakil (pihak terkait) atau kuasa bertambah.
Sebelumnya, daftar role akses yang bisa didelegasikan oleh penanggung jawab (person in charge/PIC) kepada pihak terkait atau kuasa masih terbatas sebagai signer atau drafter terkait dengan SPT, bukti potong, serta faktur pajak.
Kini, daftar role akses yang bisa didelegasikan tersebut mencakup juga akses terkait dengan pembayaran pajak, pendaftaran, serta permohonan layanan tertentu. Ada pula role akses untuk mengubah, mencabut, hingga menghapus data atau posisi tertentu. Daftar lengkapnya, klik tautan pada judul di atas. (DDTCNews)
DJP menyampaikan pembaruan informasi menyangkut implementasi coretax administration system. Informasi yang dimaksud terkait dengan bukti potong PPh, faktur pajak, dan surat teguran.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Dwi Astuti menjelaskan DJP akan terus memastikan proses penerbitan faktur pajak, bukti potong PPh, dan surat teguran pada Coretax DJP bisa berjalan sesuai ketentuan.
“Kami juga menyampaikan apresiasi atas kerja sama dan kesabaran wajib pajak dalam mendukung penguatan sistem informasi perpajakan yang lebih efisien,” katanya dalam Keterangan Tertulis KT-05/2025. Detailnya, klik tautan pada judul di atas. (DDTCNews)
Pajak penghasilan (PPh) final atas penghasilan dari pengalihan hak tanah dan/atau bangunan (PHTB) atau perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) yang telah disetor sendiri atau telah dipungut kini wajib dilaporkan melalui SPT Masa PPh Unifikasi.
Pelaporan SPT Masa PPh unifikasi tersebut perlu dilakukan oleh orang pribadi atau badan yang menyetor sendiri PPh terutang. Kewajiban tersebut juga berlaku bagi instansi pemerintah yang melakukan pemotongan PPh atas PHTB. Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 199 PMK 81/2024.
“… PPh Pasal 4 ayat (2) yang telah disetor sendiri, dan/atau PPh Pasal 4 ayat (2) yang telah dipungut atas PHTB dan PPJB atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya wajib dilaporkan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan menyampaikan SPT Masa PPh Unifikasi…,” bunyi Pasal 199 ayat (1) PMK 81/2024. (DDTCNews)
Rasio perpajakan (tax ratio) Indonesia pada 2024 tercatat hanya sebesar 10,08%. Angka itu menurun bila dibandingkan dengan tax ratio 2023 yang mencapai 10,31%.
Secara sederhana, tax ratio merupakan perbandingan antara penerimaan perpajakan yang dikumpulkan pada suatu masa dengan produk domestik bruto (PDB) pada masa yang sama. Karenanya, dengan penerimaan perpajakan senilai Rp2.232,7 triliun dan PDB nominal senilai Rp22.139 triliun pada 2024, diperoleh nilai tax ratio sebesar 10,08%.
"Perekonomian Indonesia 2024 yang diukur berdasarkan PDB atas dasar harga berlaku mencapai Rp22.139,0 triliun dan PDB per kapita mencapai Rp78,6 juta atau US$4.960,3," tulis BPS. (DDTCNews) (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.