Ketua Apeksi Airin Rachmi Diany saat menyampaikan usulan dalam Dialog Kebijakan UU Cipta Kerja, Jumat (11/12/2020). (tangkapan layar Youtube)
JAKARTA, DDTCNews – Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) meminta keringanan ancaman sanksi bagi pemerintah daerah yang melanggar besaran tarif pajak daerah dan retribusi daerah yang ditetapkan pemerintah pusat.
Ketua Apeksi Airin Rachmi Diany mengatakan ketentuan itu tertuang dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam rangka Mendukung Kemudahan Berusaha dan Layanan Daerah. RPP ini menjadi rancangan salah satu aturan turunan UU Cipta Kerja.
Menurutnya, ancaman sanksi penundaan atau pemotongan dana alokasi umum (DAU) dan/atau dana bagi hasil (DBH) pajak penghasilan (PPh) sebesar 15% dari jumlah DAU terlalu memberatkan pemerintah daerah.
"Agar pemotongan DAU maksimal 5% dari total DAU yang diterima," katanya dalam Dialog Kebijakan UU Cipta Kerja, Jumat (11/12/2020).
Airin mengatakan masukan tersebut merupakan aspirasi dari para wali kota di Indonesia. Menurutnya, Apeksi telah membentuk tim dari 19 kota di seluruh Indonesia, yang kemudian dibagi ke dalam 11 klaster, untuk mengkaji UU Cipta Kerja beserta rancangan aturan turunannya.
Airin menjelaskan semua pemkot sedang mengalami tekanan berat dalam mengumpulkan pendapatan asli daerah (PAD) akibat pandemi Covid-19. Oleh karena itu, ketergantungan APBD terhadap dana perimbangan saat ini juga menjadi lebih besar. Salah satunya dari DAU.
Selain soal besaran penundaan dan atau pemotongan DAU, Airin juga meminta durasi sanksi yang diatur dalam RPP tidak terlalu lama. Dia beralasan, penundaan yang terlalu lama bisa mengganggu pemerintah daerah merealisasikan program-programnya.
"Dengan pertimbangan tidak mengganggu kapasitas fiskal daerah dan usulan penundaan DAU dilakukan dalam tahun anggaran berjalan maksimal 1 bulan," ujarnya.
Pasal 20 RPP tersebut mengatur sanksi penundaan dan pemotongan DAU jika pemerintah daerah tidak mengikuti besaran tarif pajak daerah dan retribusi daerah pemerintah. Besaran tarif itu akan diatur kemudian dalam bentuk peraturan presiden (Perpres).
Dalam prosesnya, menteri keuangan dan menteri dalam negeri akan lebih dulu mengevaluasi peraturan daerah atau rancangan peraturan daerah PDRD. Nantinya, kedua menteri itu akan memberikan rekomendasi agar pemerintah daerah melakukan perbaikan. Jika tidak mengindahkan, sanksi akan dijatuhkan. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.