BALIKPAPAN, DDTCNews - Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2017 Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) terjun bebas. Dari kesepakatan pemprov dan Banggar DPRD Kaltim pekan lalu, rancangan APBD tahun depan sebesar Rp8,098 triliun. Nominal tersebut terendah dalam tujuh tahun terakhir.
Pada 2011, APBD Kaltim menyentuh angka Rp11,47 triliun. Kemudian meningkat pada 2012 menjadi Rp14,74 triliun. Puncaknya, terjadi di APBD 2013 sebesar Rp15,13 triliun. Namun sejak saat itu, anomali APBD mulai terjadi. Angkanya terus menurun. Jika pada tahun lalu APBD 2016 Rp10, 2 triliun, maka tahun depan diperkirakan hanya Rp8,098 triliun.
Menurut pengamat ekonomi Universitas Mulawarman (Unmul) Aji Sofyan Effendi, melorotnya APBD Kaltim dalam lima tahun terakhir tidak terlepas dari campur tangan pusat. Dia menuturkan, konfigurasi pendapatan APBD Kaltim terdiri dari transfer APBN dalam bentuk dana bagi hasil (DBH) sumber daya alam (SDA). “Itu yang paling besar jumlahnya,” ujarnya, Senin (19/12).
Kemudian, di urutan kedua ada pendapatan dari DBH pajak. Di posisi ketiga ada penerimaan dari pendapatan asli daerah (PAD). Pada saat ini, tutur Sofyan, kontribusi PAD dalam APBD adalah 48%. Sementara dana perimbangan 52%. “Masih besar dana perimbangan dalam membentuk APBD Kaltim. Nah, dalam 52% itu, dana perimbangan yang terbesar adalah DBH SDA terutama migas (minyak dan gas),” ungkapnya.
Sofyan mengatakan, khusus DBH migas, Kaltim pernah menerima transfer dari pusat sebesar Rp5 triliun–Rp 6 triliun. “Tapi, sekarang drop,” imbuhnya. Turunnya DBH migas yang menjadi tulang punggung APBD tidak terlepas dari turunnya harga minyak mentah dunia atau International Crude Price (ICP). Hal itu diikuti oleh produksi migas di Kaltim yang lagi menurun dalam beberapa tahun terakhir.
“Itu faktor utama penyebab DBH turun. Nah, dalam situasi seperti ini, pemerintah pusat juga tidak fair,” katanya.
Pasalnya, sambung dia, pada saat harga migas tinggi dan kuota produksi berlebih, Kaltim justru tidak mendapat apa-apa. Kelebihan kuota ekspor dan harga tetap masuk ke negara. Sementara Kaltim masuk pada kuota tertentu yang diperhitungkan melalui dana perimbangan. Terdiri dari 15,5% minyak dan 30,5% gas yang diatur dalam UU 23/2004.
Yang disesalkan Sofyan, ketika negara mendapat pemasukan dari kelebihan itu, pemerintah justru tidak mau tahu. “Tapi, ketika harga minyak rendah, Kaltim terkena dampak langsung seperti saat ini. Mestinya, ada formula perhitungan baru,” ujarnya.
Dia pun menawarkan skema perhitungan baru yang disebut alokasi dasar migas. Pada saat alokasi DBH migas turun seperti saat ini, maka alokasi penerimaan Kaltim sebagai penghasil migas justru tetap.
Dia mencontohkan, ketika produksi migas berlebih dan harganya tinggi, Kaltim mendapat DBH sebesar Rp1.000. Namun, saat harga migas turun seperti kondisi saat ini, Kaltim mendapat DBH sebesar Rp 500. “Tapi ketika lebih, Kaltim hanya mendapat Rp 1.000. Bukan Rp 1.500. Mestinya ada alokasi dasar. Ketika harga migas turun, Kaltim tetap mendapat Rp 1.000,” ungkapnya.
Akibatnya, terang Sofyan, struktur APBD Kaltim ikut goyah. Pembiayaan pembangunan tidak berjalan semestinya. Padahal, APBD berfungsi dalam rangka menjaga kesinambungan pembangunan. “Jadi, dengan APBD yang terus turun, itu mengancam pembangunan kita dalam jangka panjang,” jelasnya.
Bantuan Keuangan Terancam Nol
Sofyang menambahkan pemerintah daerah melakukan penyesuaian akibat APBD defisit yang terjadi. Penyesuaian itu dilakukan dalam bentuk berhentinya berbagai macam proyek.Hingga berujung tidak adanya rencana pembangunan di luar proyek yang dibiayai dalam kontrak tahun jamak atau multi-years contract (MYC).
Dampak lainnya ketika APBD terus melorot, ucap Sofyan, adalah terancamnya bantuan keuangan (bankeu) provinsi kepada kabupaten/kota. “Bahkan bankeu bisa hilang ke-10 daerah di Kaltim,” imbuhnya.
Padahal, jumlahnya bankeu relatif besar. Bahkan satu daerah bisa mendapat jatah hingga Rp400 miliar. “Namun, sekarang akan dipotong hingga hanya berapa puluh miliar rupiah. Masih bersyukur kalau ada bankeu. Karena bisa saja pada tahun depan bankeu bisa nol,” katanya.
Dikarenakan tidak ada kewajiban, pemprov membantu apabila kondisi APBD tidak memungkinkan. “Namanya juga bantuan. Kalau ada, bisa bantu, kalau tidak ada, maka tidak bisa. Dampaknya luar biasa,” terangnya.
Terlebih bagi daerah yang APBD-nya hanya Rp2 triliun–Rp 3 triliun. “Bahkan Bontang, hanya sekitar Rp800 miliar. Tidak sampai Rp 1 triliun. Bayangkan, semua pembangunan akan terganggu. Untuk itulah, mestinya negara hadir,” kritiknya seperti dikutip dari Kaltim.prokal.co.
Ia mengatakan agar pembiayaan tidak terganggu, opsi meminjam uang kepada pihak ketiga pun dilirik beberapa daerah di Kaltim. Salah satunya Pemkab Kutai Kartanegara.
Terhadap hal ini, Sofyan menyarankan agar kepala daerah berpikir cermat. Meskipun dasar hukumnya dibolehkan, jangan sampai membebani pemerintah periode selanjutnya. “Boleh saja kalau mau meminjam uang. Tidak masalah, asal usia pinjaman tidak melebihi usia jabatan kepala daerah bersangkutan,” tandasnya. (Amu)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.