Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Penerimaan perpajakan memegang peranan vital dalam mengoptimalkan pendapatan negara. Hal ini lantaran penerimaan perpajakan konsisten menjadi penyumbang terbesar terhadap total pendapatan negara.
Berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU APBN, penerimaan perpajakan adalah semua penerimaan negara yang terdiri atas pendapatan pajak dalam negeri dan pendapatan pajak perdagangan internasional.
Pendapatan pajak dalam negeri berarti semua penerimaan negara yang berasal dari pendapatan PPh, pendapatan PPN barang dan jasa serta pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM), pendapatan pajak bumi dan bangunan (PBB), pendapatan cukai, dan pendapatan pajak lainnya.
Sementara itu, pendapatan pajak perdagangan internasional adalah semua penerimaan negara yang berasal dari pendapatan bea masuk dan pendapatan bea keluar. Selain pemerintah pusat, pajak juga menjadi salah satu sumber pendapatan bagi pemerintah daerah.
Adapun penerimaan pajak tersebut berasal dari beragam jenis pajak yang dipungut pemerintah. Pemerintah dalam memungut pajak harus berdasarkan pada undang-undang.
Nah, berbicara soal undang-undang, saat ini terdapat 10 undang-undang yang berkaitan dengan perpajakan. Berikut perinciannya.
Sesuai dengan namanya, UU KUP memiliki kedudukan sebagai 'ketentuan umum' bagi peraturan perundang-undangan perpajakan yang lain. UU KUP di antaranya mengatur mengenai subjek pajak, pendaftaran NPWP, pengukuhan pengusaha kena pajak (PKP), serta penetapan dan ketetapan pajak.
Selain itu, UU KUP juga mengatur perihal tata cara pemungutan beragam jenis pajak, keberatan dan banding, pembukuan dan pemeriksaan, ketentuan pidana, hingga penyidikan. UU KUP yang kini berlaku mengacu pada UU 6/1983 yang berlaku mulai 1 Januari 1984.
Dalam perkembangannya, UU KUP telah mengalami 6 kali perubahan. Perubahan itu dilakukan melalui: (i) UU 9/1994; (ii) UU 16/2000; (iii) UU 28/2007; (iv) UU 16/2009 (v) UU 11/2020; (vi) UU 7/2021.
UU PPh mengatur materi seputar pengenaan PPh. Materi itu pada dasarnya menyangkut subjek pajak (siapa yang dikenakan PPh), objek pajak (penghasilan apa saja yang dikenakan PPh), tarif PPh, cara menghitung jumlah PPh terutang, hingga ketentuan pelunasan PPh.
Ringkasnya, UU PPh mengatur seluruh ketentuan yang berkenaan dengan pengenaan pajak atas penghasilan yang diperoleh orang pribadi dan badan. Sementara itu, tata cara pemungutan PPh tetap mengacu pada UU KUP. Misal, ketentuan terkait dengan pemeriksaan dan sanksi akan mengacu pada UU KUP.
UU PPh yang saat ini berlaku mengacu pada UU 7/1983 yang berlaku mulai 1 Januari 1984. Dalam perkembangannya, UU PPh telah mengalami 6 kali perubahan. Perubahan tersebut dilakukan melalui: (i) UU 7/1991; (ii) UU 10/1994; (iii) UU 17/2000; (iv) UU 36/2008; (v) UU 11/2020; (vi) UU 7/2021.
UU PPN mengatur pengenaan PPN dan PPnBM sebagai pajak atas konsumsi di dalam negeri. Pengaturan itu mencakup pihak yang harus memungut, menyetor, dan melaporkan pemungutan PPN dan PPnBM; objek PPN dan PPnBM; tarif dan cara menghitung PPN dan PPnBM; hingga ketentuan khusus yang berlaku.
UU PPN juga berkaitan dan tidak bisa dipisahkan dengan UU KUP. Alasannya, UU KUP memuat ketentuan tata cara pelaksanaan pemungutan PPN dan PPnBM serta sanksi terkait dengan PPN dan PPnBM sebagai pelengkap ketentuan material yang diatur dalam UU PPN.
UU PPN yang kini berlaku mengacu pada UU 8/1983 yang berlaku mulai 1 Juli 1984. Dalam perkembangannya, UU PPN telah mengalami 5 kali perubahan. Perubahan tersebut dilakukan melalui: (i) UU 11/1994; (ii) UU 18 Tahun 2000; (iii) UU 42/2009; (iv) UU 11/2020; (v) UU 7/2021.
UU PPSP mengatur ketentuan tentang tata cara tindakan penagihan pajak yang berupa penagihan seketika dan sekaligus, pelaksanaan surat paksa, penyitaan, pencegahan, dan atau penyanderaan, serta pelelangan.
UU PPSP berlaku terhadap berbagai jenis pajak, baik yang menjadi wewenang pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. UU PPSP juga mengatur perlindungan hukum, baik kepada penanggung pajak maupun pihak ketiga berupa hak untuk mengajukan gugatan.
UU PPSP yang kini berlaku mengacu pada UU 19/1997 yang berlaku mulai 23 Mei 1997. Adapun UU 19/1997 tersebut baru mengalami perubahan sekali, yaitu melalui UU 19/2000 yang berlaku mulai 1 Januari 2001.
Pelaksanaan pemungutan pajak yang tidak sesuai dengan UU Perpajakan akan menimbulkan ketidakadilan bagi wajib pajak, sehingga dapat mengakibatkan timbulnya sengketa pajak antara wajib pajak dan pejabat yang berwenang. Penyelesaian sengketa tersebut dilakukan melalui pengadilan pajak.
UU Pengadilan Pajak mengatur ketentuan seputar penyelenggaraan persidangan sengketa pajak. Berdasarkan UU Pengadilan Pajak, putusan pengadilan pajak merupakan putusan akhir yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
Meskipun demikian, wajib pajak masih dimungkinkan untuk mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. UU Pengadilan Pajak pun telah mengatur batasan waktu waktu penyelesaian sengketa pajak, baik di tingkat pengadilan pajak maupun di tingkat Mahkamah Agung. Adapun UU Pengadilan Pajak yang kini berlaku mengacu pada UU 14/2002.
UU Bea Meterai mengatur ketentuan seputar pengenaan pajak atas dokumen. Pengaturan itu di antaranya terkait dengan dokumen yang menjadi objek bea meterai, saat terutang dan pihak yang terutang untuk setiap objek bea meterai, serta pemungut bea meterai untuk dokumen tertentu.
Ada pula ketentuan terkait dengan tarif bea meterai, cara pelunasan atau pembayaran atas bea meterai yang terutang, jenis-jeis meterai, sanksi yang terkait dengan pelanggaran bea meterai, hingga pembebasan bea meterai. Adapun UU Bea Meterai yang kini berlaku adalah UU 10/2020.
UU PBB mengatur ketentuan pengenaan pajak sehubungan dengan hak, perolehan manfaat, dan/atau penguasaan atas bumi dan bangunan. UU PBB yang kini berlaku mengacu pada UU 12/1985 sebagaimana telah diubah dengan UU 12/1994.
UU PBB menjadi dasar pemungutan PBB yang diadministrasikan pemerintah pusat, yaitu PBB atas sektor perkebunan, perhutanan, pertambangan dan sektor lainnya. Sementara itu, PBB sektor perdesaan dan perkotaan (PBB-P2) yang menjadi wewenang pemerintah daerah lebih mengacu pada UU HKPD.
UU Kepabeanan mengatur ketentuan yang berkaitan dengan pengawasan atas lalu lintas barang yang masuk atau keluar daerah pabean. UU Kepabeanan juga mengatur ketentuan seputar pemungutan bea masuk serta bea keluar.
Ada pula ketentuan soal barang yang dilarang atau dibatasi untuk diekspor atau diimpor, audit. keberatan, banding, hingga ketentuan pidana. Adapun UU Kepabeanan yang kini berlaku mengacu pada UU 10/1995 sebagaimana telah diubah dengan UU 17/2006.
UU Cukai mengatur ketentuan seputar pungutan atas barang yang dikenakan cukai (BKC). Pengaturan tersebut mencakup jenis BKC, tarif cukai maksimal yang bisa diterapkan, tata cara pelunasan cukai, fasilitas yang bisa diberikan, dan BKC yang tidak dikenakan cukai.
Ada pula ketentuan mengenai cara penagihan cukai, perizinan bagi pelaku usaha yang terkait dengan BKC, pencatatan dan pencacahan BKC, pemasukan BKC, pengeluaran BKC, pengangkutan BKC, perdagangan BKC, keberatan dan banding, hingga ketentuan pidana. Adapun UU Cukai yang kini berlaku mengacu pada UU 11/1995 sebagaimana telah diubah dengan UU 39/2007.
UU 1/2022 tentang HKPD (UU HKPD) pada dasarnya mengatur soal pelaksanaan hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah. Hubungan tersebut di antaranya terkait dengan pemberian wewenang kepada daerah untuk memungut pajak dan retribusi daerah.
Oleh karenanya, UU HKPD di antaranya mengatur ketentuan terkait dengan pajak daerah. Ketentuan tersebut seperti objek pajak, nonobjek pajak, tarif maksimal yang bisa diterapkan pemerintah daerah. Adapun HKPD mencabut dan menggantikan sejumlah undang-undang, termasuk UU Pajak dan Retribusi Daerah.
Berdasarkan penjelasan yang diuraikan terdapat beragam undang-undang yang terkait dengan perpajakan. Sejumlah dari undang-undang tersebut juga telah mengalami beberapa kali perubahan. Untuk mempermudah membaca atau mempelajari undang-undang tersebut, Anda dapat mengakses UU Perpajakan Konsolidasi yang disediakan Perpajakan DDTC. (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.