LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2020

Yang Terlupakan dalam Reformasi Pajak

Redaksi DDTCNews | Senin, 09 November 2020 | 14:01 WIB
Yang Terlupakan dalam Reformasi Pajak

Bambang Subianto, Banyuwangi, Jawa Timur

PANDEMI Covid-19 menjadi batu ujian dalam proses reformasi pajak di banyak negara. Semua target penerimaan pajak tahun ini meleset. Pertumbuhan ekonomi terkontraksi dan masuk resesi. Namun, ada kesempatan besar otoritas pajak untuk memperbaiki sistem perpajakannya.

Pada 2019, Bank Dunia menerbitkan makalah tentang kerangka konseptual dari bukti empiris reformasi dan kepatuhan pajak. Ada tiga kata kunci reformasi pajak, yaitu penegakan kepatuhan (enforcement), fasilitasi (facilitation), dan kepercayaan (trust).

Pendekatan tradisional reformasi pajak hanya berfokus pada aspek enforcement dan facilitation, tetapi melupakan trust. Aspek trust inilah yang menjadi titik awal pendekatan inovatif dalam melakuan reformasi pajak.

Reformer, sebutan bagi otoritas pajak yang melakukan reformasi pajak, bukan hanya menguatkan kepatuhan yang dipaksakan (enforced compliance), tetapi juga menjunjung kepatuhan sukarela (quasi-voluntary compliance) dan menciptakan kondisi untuk memperkuat kontrak fiskal

Ketiga aspek tersebut menarik dielaborasi karena relevan dengan reformasi pajak jilid III yang memiliki lima pilar utama, yaitu organisasi, sumber daya manusia, teknologi informasi, basis data, proses bisnis dan peraturan perundang-undangan.

Pertama, enforcement. Penegakan kepatuhan pajak umumnya menggunakan regulasi perpajakan. Sistem self-assessment yang dikenalkan saat reformasi pajak 1983 melahirkan beberapa sejumlah undang-undang pajak. Pada tahun inilah milestone reformasi pajak ditancapkan.

Enforcement pada pendekatan inovatif pajak tidak cukup dengan regulasi. Namun, perlu trust wajib pajak kepada petugas pajak atas enforcement yang berkelanjutan. Kondisi ini selaras dengan paradigma baru pengawasan yang dibangun Ditjen Pajak (DJP), yaitu pengawasan berbasis risiko.

DJP dengan mudah mengetahui wajib pajak mana yang patuh karena memiliki trust tinggi kepada petugas pajak, dan wajib pajak mana yang cenderung menghindar dari pengawasan (tax avoidance) atau bahkan melakukan penggelapan pajak (tax evasion).

Kedua, fasilitasi pajak. Fasilitasi ini penting untuk mengukur biaya kepatuhan. Wajib pajak menghendaki fasilitasi yang efisien, sederhana, transparan dan memudahkan pembayaran pajak. Hal ini bisa tercapai dengan reformasi digital pada semua jenis layanan pajak.

Dalam pilar reformasi pajak jilid III, fasilitasi disebut dalam poin teknologi informasi dan basis data. DJP sedang membangun core tax system dengan anggaran Rp2,04 triliun. Bagian paling inti core tax system ini adalah integrator atau sistem inti perpajakan yang ditarget beroperasi pada 2024.

Selain core tax administration system, perlu dipertimbangkan penerapan Single Identity Number (SIN) yang mampu meningkatkan tax ratio Indonesia. SIN ini sekaligus pembanding sistem self-assessment yang memverifikasi kebenaran data yang di-entry dan dihitung sendiri oleh wajib pajak.

Terlebih pada era reformasi pajak jilid III, inilah saat yang tepat bagi DJP menjadi leading sector untuk menyukseskan penerapan SIN. Tentu dengan tenggat waktu yang terukur, mengingat SIN sudah dicetuskan sejak 2001, tapi hingga kini belum terealisasi.

Ketiga, trust. Kepercayaan wajib pajak kepada otoritas pajak akan memperkuat moral pajak sekaligus mendukung kepatuhan pajak (Wilson et. all, 2020). Aspek trust inilah yang dimaksud Bank Dunia sebagai aspek yang sering dilupakan para reformer pajak.

Belajar dari Estonia
PEMBANGUNAN trust dalam pajak dapat berkaca pada Estonia, negara yang mendapatkan peringkat pertama dalam International Tax Competitiveness dari 2014 ke 2019. Estonia menerapkan aplikasi e-Tax sejak 2000. Sekitar 95% wajib pajak memiliki aplikasi itu karena trust tadi.

Estonia mengembangkan portal resmi www.eesti.ee. Menu dalam portal itu dibuat interaktif, di antaranya kesehatan (I have fallen ill), akta kelahiran (birh of child) surat izin mengemudi (I am a vehicle owner), perizinan dan seterusnya (I would like to establish a company)

Portal tersebut dibangun dengan engineering psychology, sehingga sangat user friendly. Pendekatan pemerintah sangat personel ke setiap warga negaranya. Psychology engineering inilah yang harus terinternalisasi dalam fasilitasi reformasi pajak Indonesia.

Memang, DJP menjadi salah satu organisasi pemerintah yang paling gesit karena terus memberikan banyak insentif untuk menjaga keberlangsungan basis pajak jangka panjang. Pada saat yang sama, DJP juga menambah basis pajak dengan pemberlakuan pajak pertambahan nilai digital.

Karena itu, wajib pajak jangan menyalahartikan relaksasi pajak DJP. Kepercayaan lagi-lagi harus dibangun agar konsolidasi fiskal dapat berlanjut. Wajib pajak harus menyadari itikad baik insentif dan merespons balik dengan kepatuhan. Meminjam istilah Darussalam (2019), relaksasi-partisipasi.

Apapun sistem pajak yang akan diterapkan Indonesia, apakah itu worldwide atau territorial, atau apapun fasilitas pajak yang akan dikembangkan baik core tax system maupun SIN, jangan dilupakan aspek kepercayaan dari wajib pajak kepada reformer pajak.

(Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

09 November 2020 | 21:38 WIB

Terima kasih untuk tambahan ilmunya pak☺☺☺☺☺☺☺ semoga ekonomi segera stabil dan bisa meningkat karena pandemi covid ini semua menjadi tidak stabil....

ARTIKEL TERKAIT

Kamis, 17 Oktober 2024 | 15:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Transisi Pemerintahan Berjalan, DJP Fokus Amankan Penerimaan Pajak

Sabtu, 12 Oktober 2024 | 16:45 WIB CORETAX SYSTEM

Ada Coretax Nanti, WP Tak Perlu ke KPP untuk Ubah Data Perpajakan

Minggu, 29 September 2024 | 11:01 WIB OPINI PAJAK

Reformasi Pajak dalam Transisi Suksesi Pimpinan Nasional

BERITA PILIHAN