Jordan Prasetya
,PEMBERANTASAN korupsi bisa jadi merupakan keinginan universal setiap warga negara di seluruh dunia. Sikap dan langkah dari pemerintah terkait dengan penghentian korupsi sekaligus penghukuman koruptor pun tampaknya menjadi aspek yang selalu didambakan oleh setiap masyarakat, termasuk di Indonesia.
Apalagi, berdasarkan pada Indeks Persepsi Korupsi atau Corruption Perception Index (CPI) 2023 yang dirilis Transparency International, poin Indonesia stagnan sejak 2022 dengan skor 34. Skor ini tercatat menurun jika dibandingkan dengan CPI 2019 yang mencapai 40 poin. Selain itu, skor yang didapat Indonesia masih berada di bawah rata-rata global, yakni 43 poin.
Sejatinya, baik pemerintah saat ini maupun para kandidat dalam pemilihan presiden 2024 juga selalu membawa agenda pemberantasan korupsi. Sayangnya, langkah konkret seperti pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset yang diharapkan sebagai game changer dalam pemberantasan korupsi, masih sulit terwujud.
Brinkerhoff (2000) menyatakan dalam sebuah gerakan perlawanan terhadap korupsi, kemauan politik (political will) berperan penting. Salah satu wujud political will adalah pengembangan sanksi yang efektif. Dalam konteks ini, pajak bisa berperan karena memiliki fungsi regulerend. Menyasar koruptor untuk pengenaan pajak sepertinya terdengar rasional.
KORUPSI merupakan salah satu musuh utama pajak dan pengemban amanah pemungutannya. Di satu sisi, uang dari pemungutan pajak rawan dikorupsi. Di sisi lain, adanya korupsi juga memberi dampak negatif pada kinerja pengumpulan penerimaan pajak. Bagaimanapun, masyarakat pembayar pajak akan melihat penggunaan uang yang dipungut dari mereka.
Buat apa bayar pajak kalau masih dikorupsi? Pertanyaan tersebut sering muncul. Seruan boikot pajak dan kicauan senada sering kali mewarnai media masa dan media sosial, terlebih saat kasus korupsi baru saja terungkap. Resistensi masyarakat terhadap pajak pada akhirnya akan mempersulit optimalisasi pengamanan penerimaan yang menjadi dana pembangunan.
Dalam Fiscal Monitor edisi April 2019, International Monetary Fund (IMF) menyampaikan bahwa penghindaran pajak menjadi mungkin terjadi ketika wajib pajak percaya bahwa suatu negara korup. Kondisi ini pada gilirannya turut berdampak pada hilangnya potensi penerimaan pajak yang bisa dihimpun.
Berdasarkan pada data IMF masih dalam laporan tersebut, jika membandingkan negara dengan level pendapatan yang sama, pemerintah yang paling tidak korup mengumpulkan penerimaan pajak tambahan 4% terhadap produk domestik bruto (PDB) lebih banyak dibandingkan negara dengan tingkat korupsi yang tinggi.
Hal tersebut menunjukkan bahwa perbaikan tata kelola pemerintahan dan pemberantasan korupsi dapat berdampak besar pada kenaikan penerimaan pajak. Terlebih, presiden dan wakil presiden terpilih, Prabowo-Gibran, juga berkomitmen untuk meningkatkan rasio pendapatan negara sebesar 23% terhadap PDB.
Untuk meningkatkan rasio pendapatan negara terhadap PDB, pemerintah perlu mengerek tax ratio. Mengapa? Karena penerimaan perpajakan mendominasi struktur pendapatan negara. Faktanya, tax ratio Indonesia masih cenderung rendah. Pada 2023, tax ratio Indonesia masih berada pada level 10,31% dan hanya bergerak pada kisaran 9%-12% selama 10 tahun terakhir.
Sifat memaksa serta fungsi regulerend (mengatur) yang dimiliki memungkinkan pajak dijadikan alat atau instrumen untuk memerangi korupsi. Perilaku hidup konsumtif saja diatur dengan pungutan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM). Jadi, wajar jika perilaku koruptif juga mendapat konsekuensi perpajakan tambahan.
Menurut Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) (2013), setidaknya sudah ada dua peran administrasi pajak dalam melawan korupsi.
Pertama, kepatuhan terhadap hukum pajak. Otoritas bertanggung jawab memastikan bahwa wajib pajak mematuhi peraturan perpajakan yang berlaku. Hal ini termasuk memastikan bahwa pengeluaran yang berhubungan dengan korupsi tidak dapat dikurangkan sebagai biaya pajak.
Kedua, pertukaran informasi dengan penegak hukum. Otoritas pengampu administrasi pajak dapat memainkan peran penting dalam memberikan informasi kepada penegak hukum mengenai indikasi tindak pidana korupsi yang ditemukan selama proses pengawasan pajak.
Menurut penulis, pemberlakuan pemungutan pajak sebagai bentuk hukuman tambahan untuk koruptor dapat memberikan tambahan ruang bagi instrumen pajak dalam pemberantasan korupsi. Hal ini sekaligus menjadi political statement yang baik bagi pemerintah ke depannya.
SAAT ini, mantan terpidana korupsi bahkan seperti masih mendapat ‘karpet merah’ untuk maju sebagai calon legislatif. Hal ini tentu tidak diinginkan masyarakat. Francois (2024) menyatakan bahwa korupsi akan terus merajalela hingga sistem peradilan dapat menghukum pelanggaran dan mengawasi pemerintah dengan ketat.
Menyikapi hal tersebut, setidaknya ada dua opsi yang mungkin dapat dilakukan dengan instrumen pajak. Pertama, penerapan kenaikan tarif untuk seluruh terpidana korupsi. Skema yang ditempuh dapat serupa dengan ketentuan pemotongan pajak penghasilan (PPh) dengan tarif lebih tinggi bagi wajib pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Seperti diketahui, ada tarif pemotongan lebih tinggi terhadap wajib pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), yaitu sebesar 20% untuk PPh Pasal 21 dan 100% untuk PPh Pasal 22 dan 23. Dapat dikatakan wajib pajak yang tidak ber-NPWP ‘dihukum langsung’ oleh pajak karena merugikan dan tidak menaati aturan yang ada.
Skema tersebut dapat diadopsi, misal kenaikan tarif sebesar 100%. Bukan hanya sebagai tambahan hukuman, skema ini juga bisa mendukung penerimaan pajak melalui kontribusi lebih yang dibebankan kepada para koruptor dan seluruh mantan terpidana korupsi. Namun, perlu dilengkapi aturan tambahan agar pembayaran itu tidak bisa dikreditkan atau diajukan restitusi.
Kedua, pemberian sanksi pajak melalui penerbitan produk hukum. Ada beberapa jenis sanksi dalam aturan pajak di Indonesia, yaitu sanksi denda, bunga, dan kenaikan. Pengenaan sanksi tersebut dilengkapi dengan tarif dan ketentuan yang berbeda-beda melalui penerbitan Surat Tagihan Pajak (STP) ataupun Surat Ketetapan Pajak (SKP).
Sebagaimana sanksi denda 2% dari dasar pengenaan pajak (DPP) yang dikenakan kepada pengusaha kena pajak (PKP) atas kelalaiannya dalam membuat dan melaporkan faktur pajak, usulan penerbitan STP sanksi 2% dari penghasilan dapat dikenakan atas kelalaian koruptor dalam bersikap bijak.
Alternatif lainnya adalah sanksi kenaikan yang dihitung 75% dari pajak terutang koruptor melalui penerbitan SKP. Saat ini sanksi tersebut berlaku untuk pajak pertambahan nilai (PPN) yang kurang dibayar atau PPh yang dipotong tapi tidak disetor yang ditemui berdasarkan hasil pemeriksaan.
Memajaki koruptor dan mantan terpidana korupsi seperti ini dapat menjadi sebuah terobosan dan langkah tegas pemerintah dalam pemberantasan korupsi sekaligus meningkatkan tax ratio. Pajak baru bagi semua yang berlabel ‘koruptor’ diharapkan juga bisa mengatasi masalah yang selama ini menjadi penghambat Indonesia untuk menjadi negara maju.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2024, sebagai bagian dari perayaan HUT ke-17 DDTC. Selain berhak memperebutkan total hadiah Rp52 juta, artikel ini juga akan menjadi bagian dari buku yang diterbitkan DDTC pada Oktober 2024.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.