DEBAT PAJAK DIGITAL

Pilih Perpu atau Omnibus Law, Tulis Komentar dan Raih Handphonenya

Redaksi DDTCNews | Jumat, 15 November 2019 | 19:02 WIB
Pilih Perpu atau Omnibus Law, Tulis Komentar dan Raih Handphonenya

JAKARTA, DDTCNews—Mulai 1 Januari 2020, dua negara di Asia Tenggara, yakni Singapura dan Malaysia, akan memungut pajak layanan digital atau pajak digital. Singapura akan memungut pajak digital dengan tarif 7%, sedangkan Malaysia memungut dengan tarif 6%.

Singapura merupakan negara pertama di Asia Tenggara yang menerapkan pajak digital. Mereka merampungkan revisi undang-undang pajak barang dan jasa (goods and services tax/GST) pada 19 November 2018. Adapun Malaysia menyelesaikan revisi UU Pajak Jasa pada 9 Juli 2019.

Negara ketiga di Asia Tenggara yang akan menerapkan pajak digital adalah Vietnam. Negara ini sudah mengesahkan revisi UU Hukum Administrasi Pajak pada 13 Juni 2019. Vietnam akan memungut pajak digital itu mulai 1 Juli 2020, bersamaan dengan berlakunya UU tersebut. Tarifnya 10%.

Baca Juga:
Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Negara Asia Tenggara berikutnya yang berpotensi menerapkan pajak digital mulai 1 Januari 2020 adalah Thailand. Dasar hukumnya saat ini sedang dibahas di parlemen. Jika berhasil disahkan sebelum 31 Desember 2019, Thailand akan memungut pajak digital mulai 1 Januari 2020. Tarifnya 5%.

Di luar itu, ada Jepang (8% per 1 Oktober 2015), Korea Selatan (10% per 1 Juli 2015), Taiwan (5% per 1 Mei 2017), India (6% per 1 Juni 2016), Norwegia (25% per 1 Juli 2011), Rusia (20% per 1 Januari 2019), Selandia Baru (15% per 1 Oktober 2016), dan Prancis (3% per 1 Januari 2019).

Lalu Inggris (2% per 1 April 2020), Hongaria (7,5% per 1 Juni 2017), Ceko (7% per 1 Januari 2020), dan Turki yang dalam proses amendemen (7,5% per 1 Januari 2020). Total jenderal, lebih dari 35 negara di dunia menerapkan aksi unilateral untuk memungut pajak digital. Lalu bagaimana dengan Indonesia?

Baca Juga:
WP Bisa Akses Aplikasi Coretax Mulai Hari Ini, Fiturnya Masih Terbatas

Hingga kini, Indonesia tak kunjung memulai revisi UU Pajaknya, baik UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), UU Pajak Penghasilan, maupun UU Pajak Pertambahan Nilai. UU KUP sudah dikirim ke DPR pada 2016, tetapi setelah pergantian menteri, pemerintah tidak membahasnya.

Pada September 2019, muncul UU lain yang disiapkan, yaitu omnibus law RUU Kebijakan Perpajakan untuk Memperkuat Perekonomian. Dalam RUU inilah terdapat istilah pajak transaksi digital, dan juga perubahan definisi bentuk usaha tetap (BUT) atau permanent establishment (PE).

Namun, draf RUU tersebut tidak menetapkan tarif pajak digital, dasar pengenaan pajak, sekaligus kriteria subjek pajak luar negerinya. Hal itu akan ditetapkan dengan peraturan pemerintah, sedangkan tata cara pendaftaran, penyetoran, dan pendaftarannya akan ditetapkan peraturan menteri.

Baca Juga:
Bikin Faktur Pajak Fiktif, Dua Bos Perusahaan Diserahkan ke Kejaksaan

Dengan tiga tingkat peraturan tersebut, sekaligus mengingat draf RUU itu belum dimasukkan ke DPR, paling cepat Indonesia bisa memungut pajak digital pada 1 Januari 2021. RUU itu sendiri ditargetkan rampung pada 2021, dan dengan demikian pajak digital Indonesia berlaku mulai 1 Januari 2022.

Saat itu, sesuai dengan jadwal, konsensus global pajak digital yang dihelat Organisation for Economic Co-operation and Development sudah tercapai. Namun, dari beberapa tahun silam sampai 2022 itu pula, Indonesia bisa dianggap memberi subsidi pajak ke Netflix, Spotify, Google, Youtube, Amazon, Facebook, dan lainnya.

Pemberian subsidi itu merupakan diskriminasi pajak akibat peraturan yang tidak diubah. Karena itu, muncul gagasan membuat peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) KUP, agar pajak digital bisa segera diberlakukan, sehingga negara tidak terlalu lama menyubsidi raksasa digital itu.

Baca Juga:
DJP Sebut Top-up e-Money Juga Bakal Kena PPN 12 Persen Tahun Depan

Tentu, penerbitan perpu tersebut juga ada risikonya. Pertama, tidak mudah merumuskan argumentasi sekaligus legitimasi yang kuat dan bisa diterima publik untuk memenuhi syarat ‘dalam hal-ikhwal kegentingan yang memaksa’ seperti diatur Pasal 22 UUD 1945.

Memang, perpu adalah hak Presiden. Namun, ini jelas berbeda dengan Perpu No.1 Tahun 2017, yang syarat kegentingan memaksanya bersumber dari paksaan internasional agar sebelum 30 Juni 2017 RI membuat UU akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan, kalau tidak dinyatakan gagal.

Kedua, perpu ditolak DPR. Jika DPR menolak mengundangkan perpu pada masa sidang berikutnya, atau dalam 6 bulan, pemerintah harus mengembalikan pembayaran pajak yang sudah masuk ke kas negara kepada wajib pajak. Hal ini tentu akan menggerus kredibilitas kebijakan fiskal.

Baca Juga:
Begini Penjelasan DJP terkait Pembayaran via QRIS dan Aturan PPN-nya

Lantas, di tengah tekanan penerimaan pajak akibat perlambatan ekonomi saat ini, apa yang bisa disimpulkan? Bikin Perpu agar pajak digital bisa cepat dipungut per 1 Januari 2020, atau menunggu sampai konsensus global dan UU Omnibus Law terbentuk 2021? Atau Anda punya pandangan lain?

Tulis komentar Anda di bawah ini, siapa tahu Anda yang terpilih meraih hadiah handphone Samsung!




Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

Pilih Perpu atau Omnibus Law lalu tuliskan komentar Anda
Perpu
Omnibus Law
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

Perpu
5
26.32%
Omnibus Law
14
73.68%

24 Desember 2019 | 08:19 WIB
Omnibus law dipersingat waktunya itu lebih baik

29 November 2019 | 23:40 WIB
Instrumen peraturan yang digunakan dalam pemajakan digital haruslah komprehensif. Penerbitan Perpu dapat menjadi langkah salah karena ketidaksiapan poin-poin dalam aturan sehingga tidak dapat mencakup secara menyeluruh kegiatan ekonomi digital. Penerbitan Omnibus Law yang menyasar isu besar dirasa mampu mencakup seluruh aturan yang terkait dengan kegiatan ekonomi digital yang semakin kompleks. Namun begitu, pemilihan Omnibus Law harus dibarengi dengan konsekuensi bagi pemerintah, seperti (1) Perancangan Omnibus Law tersebut harus dilakukan secara menyeluruh. Artinya mencakup semua peraturan yang saling terkait dan dibutuhkan (2) Dibutuhkan komitmen pemerintah baik dari eksekutif maupun legislatif untuk menyusun omnibus law tersebut agar selesai tepat waktu di tahun 2021 (3) Harus diperhatikan kembali Asas Kepastian Hukum dan Asas Keadilan dalam pemugutan pajak sehingga tidak ada pihak yang dirugikan. #MariBicara

27 November 2019 | 18:40 WIB
Sy berpendapat 2 opsi ini baik & dpt direalisasikan. Omnimbus Law (OL) dpt dipergunakan untuk kepentingan jangka panjang & Perppu untuk jangka pendek hingga terbitnya OL. Ikhwal kegentingan yg memaksa sbg syarat terbitnya Perppu menurut sy telah terpenuhi dg pertimbangan: 1) Untuk mengurangi/menghapus shortfall yg 10th tak pernah tuntas, mengurangi beban utang negara, sekaligus merealisasikan program pemerintah dibutuhkan pendanaan yg cukup, terutama dr sumber pajak; 2) Diskriminasi yg telah lama terjadi kepada WP yg menjalankan bisnis dg model digital harus dihapuskan karena tidak sesuai dg sila, peri, & asas keadilan yg berlaku di Indonesia krn dpt menimbulkan kecemburuan sosial; 3) Peta politik parlemen yg didominasi oleh partai pendukung pemerintah menurut sy dpt memudahkan diterimanya Perppu ini & tidak akan menjadi bumerang bg pemerintah yg menetapkan. Sedangkan OL jg diperlukan untuk dpt merevisi beberapa UU secara sekaligus yg sebelumnya tertunda untuk dilakukan #MariBicara

26 November 2019 | 18:42 WIB
Pemerintah perlu membuat aturan yang komperhensif mengenai pemajakan digital ini, mengingat objek pajak digital tidak ada bentuk fisiknya, sehingga saya lebih setuju dengan omnibus law ketimbang perpu sebagai instrumennya, mengingat dalam omnibus law telah dipaparkan 8 poin penting yang menjadi highlight perubahan, namun usul pembuatan omnibus law tersebut jika memungkinkan bisa dipercepat koordinasi dengan berbagai kementerian beserta DPR agar bisa diundangkan lebih cepat dari jadwal tahun 2022 tersebut, mengingat potensi perpajakan dunia digital sangat tinggi dengan maraknya penggunaan netflix, spotify, google, youtube dikalangan milenial. apabila pemerintah mengeluarkan perpu akan banyak menerima kritikan dari publik maupun politikus seperti tergesa-gesa, belum matang, serta belum termasuk kategori kegentingan dan ada potensi tidak dapat diundangkan jika tidak disetujui DPR, sehingga terkesan lebih banyak resiko yang diambil dari realisasi pajak yang dapat dihasilkan #MariBicara

24 November 2019 | 13:48 WIB
Memformulasikan kebijakan fiskal terbaik melalui Omnibus Law sembari menanti tercapainya konsensus global pajak digital, saya kira merupakan langkah paling realistis yang dapat dilakukan otoritas saat ini. Selain risiko timbulnya ketidakpastian hukum akibat ditolaknya Perpu oleh DPR, syarat adanya kondisi "ihwal kegentingan yang memaksa" menurut saya belum bisa dianggap terpenuhi mengingat dalam jangka pendek terdapat cara lain untuk mengejar potensi pajak para raksasa digital ini, yakni menggunakan Pajak Pertambahan Nilai yang sudah ada. Pemerintah tinggal membuat aturan spesifik mengenai mekanisme pengenaan pajak digital tersebut yang prosesnya tentu akan lebih sederhana dibanding membuat Perpu yang dimungkinkan akan menimbulkan kontroversi. Sebagai catatan penting, Asas Kepastian Hukum dan Asas Keadilan pengenaan pajak antara pelaku ekonomi digital dan konvensional harus menjadi "pertimbangan utama" dalam pembahasan aturan spesifik tersebut. #MariBicara

23 November 2019 | 15:16 WIB
Pajak digital ialah tentang konsensus global. Bukankah tantangan terbesar pemajakan digital ialah base erosion? Apapun bentuk law enforcement yang ada, selama basis pajak masih bisa lari ke negara lain, bukankah tindakan kita akan inefektif? Saya bukan pesimis. Tapi jika harus menunggu antara menerbitkan PERPPU sekarang, dengan resiko tolakan legislatif serta peraturan kosong yang sulit implementasinya, saya lebih memilih Omnibus Law di 2022 nanti. Mungkin kita memang memberi subsidi sampai 2022, tapi bukan berarti tidak bisa berbuat apa-apa. Ada sekitar 2 tahun yang dapat digunakan pemerintah untuk memperkuat sistem perpajakannya, mulai dari pengembangan kompetensi instansi beserta sdmnya, perbaikan sistem informasi, sampai pendeketan baik informal maupun formal ke entitas digital serta negara mitra untuk memastikan basis pajak tetap di negeri ini. Dalam periode ini pula pemerintah bisa trial-and-error peraturan teknis terefektif dan terefisien untuk 2022 nanti. #MariBicara

23 November 2019 | 00:41 WIB
Kepastian hukum memang sangat penting dalam proses pemungutan pajak. Namun, menurut saya dalam kasus ini perpu belum sepenuhnya tepat digunakan sebagai alat pemungutan pajak. Memang potensi pajak digital begitu besar mengingat pengguna platform digital di Indonesia begitu banyak. Namun sifat " hal ikhwal kegentingan yang memaksa" belum kuat dikaitkan dengan kasus ini. Untuk itu, pemerintah sebaiknya segera cepat untuk menyelesaikan UU Omnibus Law supaya potensi pajak kita tidak terbuang sia-sia. #MariBicara

23 November 2019 | 00:07 WIB
Saat ini transaksi digital telah menggeser keberadaan transaksi konvensional di Indonesia. Sebagian masyarakat kita telah beralih menggunakan transaksi digital karena kemudahan dalam bertransaksi, salah satunya adalah transaksi e-commerce. Menurut riset Google dan Temasek dalam laporannya e-Conomy SEA 2018, di tahun 2018 saja transaksi e-commerce di Indonesia mencapai US$ 12,2 miliar. Berdasarkan data tersebut, apakah klausul kegentingan yang memaksa masih belum pas untuk kondisi ini? Pemerintah sebaiknya segera membuat PERPU terkait pemajakan atas transaksi digital, mengingat kondisi penerimaan negara yang saat ini masih terbilang jauh dari kata memuaskan. Jika kita memilih untuk menunggu disahkannya omnibus law yang kemungkinan paling cepat berlaku pada 2022, tentu upaya pemerintah saat ini dalam merealisasikan strategi pembangunan yang tercantum dalam RPJMN 2020-2024 akan berjalan kurang optimal dikarenakan sumber pendanaan yang terbatas. #MariBicara

22 November 2019 | 22:20 WIB
Menurut saya, memang perlu perubahan peraturan untuk mengatasi ketidakadilan pajak saat ini. Lalu, apakah perlu penerbitan perpu? Mari kita pertimbangkan dampak dari risiko penerbitan perpu. Pertama, apabila presiden tidak memiliki alasan yang kuat terkait 'kegentingan yang memaksa' dalam masalah pajak digital ini, maka dikhawatirkan akan menimbulkan masalah hukum yg serius di kemudian hari. Kedua, apabila benar-benar terjadi penolakan DPR, maka berdampak pada tingkat kepercayaan dan kepatuhan wajib pajak yg menurun. Hal tersebut sekaligus membuat penerbitan perpu menjadi tidak efektif, karena di satu sisi meningkatkan penerimaan, tetapi di sisi lain menurunkan kepatuhan wajib pajak. Menurut saya, hal yang perlu dilakukan pemerintah saat ini adalah fokus menyusun UU omnibus law yg dapat mengantisipasi gejolak ekonomi saat ini maupun yg akan datang serta memastikan UU tersebut disahkan tepat waktu. #MariBicara

22 November 2019 | 18:49 WIB
Policy gap memang menjadi masalah bagi birokrasi kita. Perkembangan pada era revolusi industri 4.0 menimbulkan permasalahan pada regulasi perpajakan yg tidak mampu menjaring bisnis yang terus berkembang. Dalam menghadapi tantangan di era digital perlu kebijakan pajak yang adaptif dan responsif yang berorientasi jangka panjang. UU Omnibus Law yang kini sedang serius di bahas oleh pemerintah diharapkan mampu memenuhi harapan ini. Namun, masalah kepastian dan keadilan pemungutan pajak saat ini juga tidak dapat dikesampingkan. Pemerintah sebagai pihak yang diberikan kewengan dalam UUD 1945 pasal 23A untuk memungut pajak harus bertindak responsif. Merumuskan peraturan kebijakan untuk memberikan kepastian dan keadilan dapat menjadi solusi jangka pendek saat ini. Peraturan seperti PMK 210/PMK10/2018 tentang perpajakan e-commerce yang sudah dicabut serta PMK 35/PMK.03/2019 tentang Penentuan BUT sebeneranya diharapkan dapat menjadi solusi jangka pendek sebelum terbit UU Omnibus Law. #MariBicara
ARTIKEL TERKAIT
Rabu, 25 Desember 2024 | 13:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Selasa, 24 Desember 2024 | 17:27 WIB CORETAX SYSTEM

WP Bisa Akses Aplikasi Coretax Mulai Hari Ini, Fiturnya Masih Terbatas

Selasa, 24 Desember 2024 | 14:30 WIB APARATUR SIPIL NEGARA

Jelang Natal, Pegawai DJP Diminta Tidak Terima Gratifikasi

Selasa, 24 Desember 2024 | 13:00 WIB KANWIL DJP JAKARTA TIMUR

Bikin Faktur Pajak Fiktif, Dua Bos Perusahaan Diserahkan ke Kejaksaan

BERITA PILIHAN
Kamis, 26 Desember 2024 | 14:30 WIB KPP PRATAMA BENGKULU SATU

Mobil Rp200 Juta Disita KPP, Bakal Dilelang Kalau Utang Tak Dilunasi

Kamis, 26 Desember 2024 | 14:00 WIB KILAS BALIK 2024

Februari 2024: Wajib Pajak Bereaksi karena Potongan PPh 21 Lebih Besar

Kamis, 26 Desember 2024 | 13:30 WIB CORETAX SYSTEM

Jelang Coretax Diterapkan, PKP Bakal Perlu Bikin Sertel Baru

Kamis, 26 Desember 2024 | 13:00 WIB PROVINSI JAWA TIMUR

Opsen Berlaku 2025, Pemprov Turunkan Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan

Kamis, 26 Desember 2024 | 12:30 WIB ADMINISTRASI PAJAK

PKP Risiko Rendah Diterbitkan SKPKB, Kena Sanksi Kenaikan atau Bunga?

Kamis, 26 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK DAERAH

9 Jenis Pajak Daerah Terbaru yang Ditetapkan Pemkot Sibolga

Kamis, 26 Desember 2024 | 10:30 WIB KILAS BALIK 2024

Januari 2024: Ketentuan Tarif Efektif PPh Pasal 21 Mulai Berlaku

Kamis, 26 Desember 2024 | 10:00 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Kredit Investasi Padat Karya Diluncurkan, Plafonnya Capai Rp10 Miliar

Kamis, 26 Desember 2024 | 09:30 WIB PENGAWASAN BEA CUKAI

Libur Natal dan Tahun Baru, Bea Cukai Perketat Pengawasan di Perairan

Kamis, 26 Desember 2024 | 09:00 WIB CORETAX SYSTEM

Fitur Coretax yang Tersedia selama Praimplementasi Terbatas, Apa Saja?