Direktur PT KTG Plastic Manufacturer Eliana Widijansih (kanan) mengecek kualitas plastik di pabrik KTG Plastic Manufaktur, Malang, Jawa Timur, Senin (30/3/2020). Asosiasi Industri Olefin, Aromatik dan Plastik Indonesia, Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia, dan sejumlah asosiasi usaha lainnya menolak rencana pemerintah untuk memperluas objek cukai pada kantong plastik dan minuman berpemanis. (Foto: Antara)
SEKJEN Asosiasi Industri Olefin, Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas) Fajar Budiono menghela napas panjang. Ketika itu, ia diundang berdiskusi di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Selasa beberapa waktu lalu. Diskusi yang dihadiri oleh banyak wartawan.
“Cukai plastik ini ibarat orang sakit flu dikasih obat sakit kepala. Itu belum pas. Masalah sebenarnya sampah plastik bukan plastik itu sendiri. Namun pada manajemen pengelolaan sampahnya. Problem di kita itu. Kalau pemilahan itu beres, didaur ulang dengan baik, industri plastik bagus kok,” katanya.
Fajar menekankan saat ini industri plastik sudah terseok-seok akibat berbagai beban fiskal yang dikenakan pemerintah. Cukai plastik akan kian membuat industri semakin terbebani. Utilitas industri plastik saat ini di bawah 60%, apalagi dalam kondisi pandemi Covid-19 saat ini.
Ia juga mengkritisi apa landasan pemerintah ingin mengenakan cukai terhadap plastik. Sebab, apabila untuk penerimaan, tentu akan menghambat pertumbuhan industri plastik pada masa pandemi sekaligus menghambat pertumbuhan daya beli.
Kalau dari sisi penerimaan, seharusnya pemerintah mengenakan tarif besar pada impor barang jadi plastik yang saat ini mencapai 1 juta ton, bukan mengenakan cukai plastik. “Dari sisi konsumsi kita juga masih rendah, baru 23 kg per kapita,” katanya.
Apa yang dikeluhkan Fajar bisa jadi benar. Menurut Wakil Ketua Umum Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesi (Adupi) Justin Wiganda, akan ada dampak efek domino jika cukai plastik diberlakukan. Untuk industri, sudah pasti turunnya permintaan dan kompetisi bisnis industri plastik yang padat karya.
Dampaknya juga akan terasa pada industri ritel tradisional seperti tukang sayur, daging, ikan, dan seterusnya. “Efek terparah cukai plastik terhadap masyarakat ini karena kantong plastik itu dijualnya business to business. Jarang sekali masyarakat sengaja membeli kantong plastik,” katanya.
Karena itu, untuk pengendalian sampah plastik, sambung Justin, seharusnya tidak perlu dengan pengenaan cukai. Pemilahan sampah plastik dari sumbernya bisa jadi pilihan yang tepat, karena sampah plastik memiliki nilai ekonomi tinggi jika dikelola dengan benar.
Agak berbeda dengan Justin, Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Tutum Rahanta melihatnya dari perspektif lain. Ia menilai pemerintah perlu melakukan kebijakan secara komprehensif untuk menyelesaikan isu konsumsi plastik yang dianggap menjadi permasalahan.
Tutum menekankan pemerintah harus mengedukasi masyarakat mengenai sampah kantong plastik. Sebab, masyarakat turut memiliki kontribusi terhadap konsumsi kantong plastik yang berdampak pada pencemaran sampah plastik di darat ataupun laut.
Pengawasan juga harus dilakukan di berbagai sisi, tidak hanya produsen dan pelaku ritel. Kebijakan komprehensif ini akan lebih efektif mengubah perilaku masyarakat dari sekadar membuang sampah plastik menjadi mengelola. “Jadi, jangan hanya dari cukai. Satu sisi saja yang dibenahi,” ujarnya.
Tutum mengatakan cukai plastik secara tidak langsung akan menekan pelaku usaha ritel. Jika cukai itu diterapkan, industri pengguna plastik pasti akan terdorong menaikkan harga jual barang. Kondisi ini tentu kontraproduktif dengan upaya pemerintah untuk mendorong daya beli
“Cukai seharusnya hanya dikenakan pada barang yang sifatnya merugikan kesehatan dan masyarakat. Plastik tidak termasuk kategori tersebut. Cukai itu harusnya ke produk yang misalnya membahayakan kesehatan, bukan plastik. Itu pemikiran yang salah,” katanya.
Untuk membatasi konsumsi plastik, kata Tutum, seharusnya pemerintah menggunakan teknologi tepat guna untuk membuat plastik yang ramah lingkungan dan bukan menjadikan plastik sebagai celah untuk menggenjot penerimaan negara.
Belum Ada Data
ARGUMENTASI kontra cukai minuman berpemanis lain lagi. Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi Lukman mengatakan hingga kini belum ada data yang menunjukkan kalau pengenaan cukai bisa menurunkan penyakit tidak menular dan obesitas.
“Kalau memang tujuannya ingin menurunkan obesitas, upayanya bisa berbagai macam bahkan dari segi kesehatan itu sendiri, tidak serta merta mengenakan cukai. Produk pangan olahan memiliki kontribusi 30% dari total konsumsi pangan olahan keseluruhan,” katanya.
Wakil Ketua Umum Gapmmi Rachmat Hidayat menambahkan kini bukan saat yang tepat untuk mengenakan cukai minuman berpemanis. Sebab, produk minuman yang dikonsumsi di luar rumah sudah terpukul akibat pandemi, mengingat porsi orang beraktivitas di luar rumah hanya 25%.
Dari sisi kinerja industri, Ketua Asosiasi Industri Minuman Ringan (Asrim) Triyono Prijosoesilo mengatakan pengenaan cukai bisa menyebabkan kinerja industri minuman ringan kembali tumbuh negatif, seperti pada 2017 di mana pertumbuhan penjualan minus 1%.
“Tahun ini sebenarnya kami confidence tumbuh 3-4%. Tapi kalau cukai itu diterapkan tahun ini, kami khawatir bisa negatif lagi di tengah tekanan ekonomi saat ini. Sekarang bukan momen yang tepat, karena industri minuman ringan saat ini masih dalam tahap pemulihan,” katanya.
Di sisi lain, ia juga membantah tudingan minuman manis sebagai penyebab utama obesitas dan diabetes melitus. Menurut penelitian SEAMEO-RECFON, minuman manis hanya menyumbang 6,5% dari total konsumsi kalori harian masyarakat.
Dari berbagai argumentasi ini, apakah pemerintah akan tetap berkukuh memperluas objek cukai untuk plastik dan minuman berpemanis? Apakah segenap kerugian industri terkait itu bisa ditutup melalui penerimaan negara dan efek positifnya? Itu yang perlu dijawab. (Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
Ekstensifikasi objek cukai memang menjadi salah satu jalan untuk meningkatkan penerimaan terlebih di tengah kondisi pandemi seperti ini, namun perlu ditegaskan lagi apa tujuan dari pengenaan cukai itu sendiri yakni untuk mengurangi eksternalitas negatif, bukan semata-mata hanya untuk menambah penerimaan negara saja.