Assistant Manager of DDTC Fiscal Research Awwaliatul Mukarromah dan Dosen Kolej Universiti Islam Antarbangsa Selangor (KUIS), Malaysia, Noor Suhaila. (tangkapan layar)
SUBANG, DDTCNews - Secara konsep, praktik penghindaran pajak (tax avoidance) merupakan hal yang legal karena tidak melanggar ketentuan perpajakan. Kendati begitu, praktik tax avoidance berpotensi menggerus penerimaan pajak.
Assistant Manager of DDTC Fiscal Research Awwaliatul Mukarromah mengatakan tax avoidance merupakan skema penghindaran pajak demi meminimalkan beban pajak. Cara yang dilakukan adalah memanfaatkan celah (loophole) ketentuan perpajakan suatu negara.
"Meski tax avoidance tidak melanggar ketentuan hukum tetapi sebenarnya praktik ini mencederai spirit dari hukum tersebut. Mangkanya untuk saat ini sebenarnya objektif dari pemerintah lebih untuk meng-counter aggressive tax avoidance scheme," ujar Awwaliatul, Selasa (7/9/2021).
Ada 3 poin, sambung Awwaliatul, yang mendorong munculnya kesempatan tax avoidance. Pertama, adanya jurisdiction to tax & tax treaty yang mengarah pada praktik treaty shopping. Kedua, separate accounting approach yang memperlakukan perusahaan dari grup yang sama menjadi entitas terpisah.
Ketiga, deductibility of interest yang mengarah pada praktik hybrid financial instrument. Pemerintah pada berbagai negara juga memberikan insentif yang mendorong adanya profit shifting. Misal, adanya kompetisi untuk memberikan tarif terendah guna menarik investasi serta koneksi dengan tax haven.
Awwaliatul menambahkan praktik treaty shopping dan hybrid financial instrument merupakan bentuk tax avoidance. Menurutnya, ekonomi digital semakin mendorong munculnya praktik tax avoidance. Dia mencontohkan isu tax avoidance dari model bisnis Amazon, TaskRabbit, dan para selebgram.
Lebih lanjut, Awwaliatul menguraikan perkembangan kebijakan terkini untuk mengatasi berbagai implikasi akibat pesatnya perkembangan ekonomi digital. Kebijakan itu ada yang terjalin secara multilateral seperti Pilar 1 dan 2 OECD, bilateral seperti Artikel 12B UN Model, dan unilateral seperti significant economic presence (SEP) serta digital service tax (DST).
Selain itu, Awwaliatul juga menjabarkan 2 jenis ketentuan yang disusun untuk menangkal praktik tax avoidance. Pertama, specific anti avoidance rules (SAAR), seperti transfer pricing, thin capitalization, controlled foreign companies (CFC). Kedua, general anti avoidance rules (GAAR).
Dalam webinar bertajuk Tax Avoidance: Concept, Case and Research Opportunities hari ini, Awwaliatul juga menguraikan implikasi dari praktik tax avoidance, OECD/G20 BEPS Project, alternative minimum tax (AMT), institutional framework, dan upaya mengatasi tax avoidance dalam RUU KUP.
"Dalam RUU KUP sudah ada usulan untuk menerapkan GAAR dan AMT. dua senjata ini bisa menjadi instrumen dalam mengatasi tax avoidance yang cukup efektif,” ujarnya
Dosen Kolej Universiti Islam Antarbangsa Selangor (KUIS), Malaysia, Noor Suhaila mengatakan praktik tax avoidance justru muncul setelah diterapkannya self assessment system (SAS). Pasalnya, sistem itu memunculkan kesempatan untuk wajib pajak tidak melaporkan diri atau menyembunyikan penghasilannya.
"So banyak tax avoidance berlaku semasa SAS ini, tax avoidance is legal as long as not against the law,” ujar Noor.
Noor menjelaskan praktik penghindaran pajak juga memicu fenomena shadow economy. Menurutnya, nilai shadow economy di Malaysia pada Januari 2020 mencapai RM300 miliar. Selain itu, Noor menyebut bisnis online semakin meningkatkan praktik tax avoidance.
Pasalnya, pelaku bisnis online bisa saja tidak mendaftarkan bisnisnya dan otoritas pajak sulit untuk melacak transaksi tersebut. Selain itu, bisnis online juga membuat warga negara asing dapat bertransaksi dengan warga lokal tanpa kehadiran fisik sehingga tidak bisa dikenakan pajak.
Noor juga sepakat bahwa praktik tax avoidance ini menggerus potensi penerimaan pajak. Dia mencontohkan potensi penerimaan pajak dari individu pemilik bisnis di Malaysia mencapai RM15.904 juta. Namun, pajak dari sektor ini yang berhasil dihimpun hanya mencapai RM5.000 juta.
Dalam webinar yang digelar Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Sutaatmadja (STIESA) ini, Noor menyebut ada 3 faktor yang memicu ketidakpatuhan pajak. Ketiga faktor itu meliputi sikap tidak patuh, kesempatan besar untuk menghindar atau mengelak dari membayar pajak, serta pengetahuan dan kesadaran pajak. (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
Walaupun tidak melanggar hukum, tax avoidance dapat mengurangi potensi penerimaan negara. Oleh karena itulah diperlukan suatu instrumen yang dapat mencegah terjadinya praktik tax avoidance, salah satu diantaranya yaitu dengan menggunakan Alternative Minimum Tax (AMT)