PAJAK PENGHASILAN BADAN (14)

Contoh Penghitungan Kompensasi Kerugian Fiskal

Redaksi DDTCNews | Senin, 30 September 2019 | 17:15 WIB
Contoh Penghitungan Kompensasi Kerugian Fiskal

BAGI wajib pajak badan maupun orang pribadi yang menyelenggarakan pembukuan atas kegiatan usahannya dan kemudian mengalami kerugian dalam suatu tahun pajak, maka kerugian tersebut dapat digunakan untuk menutupi keuntungan pada tahun-tahun berikutnya. Dengan demikian, pada tahun-tahun berikutnya pajak penghasilan (PPh) yang terutang akan menjadi lebih kecil atau tidak terutang sama sekali.

Ketentuan pajak ini disebut dengan kompensasi kerugian (carrying loss) yang diatur dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang (UU) PPh yang berbunyi: “Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didapat kerugian, kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun”.

Terdapat beberapa catatan penting mengenai penggunaan fasilitas kompensasi kerugian ini. Pertama, istilah kerugian merujuk kepada kerugian fiskal, bukan kerugian komersial. Kerugian atau keuntungan fiskal adalah selisih antara penghasilan bruto dan biaya-biaya yang telah memperhitungkan ketentuan PPh (biaya yang boleh dibebankan secara fiskal).

Umumnya, suatu perusahaan memiliki dua jenis akuntansi keuangan, yakni akuntansi komersial dan akuntansi fiskal. Akuntansi komersial merupakan aktivitas untuk menyediakan informasi keuangan yang diperoleh melalui suatu proses akuntansi secara umum. Sedangkan akuntansi fiskal merupakan bagian dari akuntansi keuangan yang menekankan pada penyusunan laporan perpajakan (surat pemberitahuan/SPT) dan pertimbangan konsekuensi perpajakan terhadap transaksi atau kegiatan perusahaan.

Karenanya, penghitungan fiskal bertujuan untuk menyediakan informasi keuangan perusahaan yang ditujukan secara khusus kepada otoritas pajak sebagai salah satu pemenuhan kepatuhan pajak (tax compliance). Dari hasil penghitungan fiskal ini, nantinya akan diketahui apakah wajib pajak tersebut mengalami kerugian fiskal atau tidak. Kedua, kompensasi kerugian hanya diperkenankan selama 5 tahun ke depan secara berturut-turut. Apabila pada akhir tahun kelima ternyata masih ada kerugian yang tersisa maka sisa kerugian tersebut tidak dapat lagi dikompensasikan.

Ketiga, kompensasi kerugian hanya untuk wajib pajak badan dan orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha (wajib pembukuan). Perlu dicatat bahwa kompensasi kerugian tersebut tidak berlaku bagi wajib pajak yang keseluruhan penghasilannya bersifat final, menggunakan norma penghitungan, dan/atau bukan merupakan objek pajak. Keempat, kerugian usaha di luar negeri tidak bisa dikompensasikan dengan penghasilan dari dalam negeri.

Dengan kata lain, kompensasi kerugian merupakan suatu skema ganti rugi yang bisa diterapkan oleh wajib pajak badan ataupun orang pribadi yang telah melakukan pembukuan apabila berdasarkan SPT tahunan PPh (self assessment) atau berdasarkan ketetapan pajak atau putusan hukum dinyatakan mengalami kerugian fiskal.

Contoh Kasus

PT A dalam tahun 2015 menderita kerugian fiskal sebesar Rp1,2 miliar. Dalam lima tahun berikutnya laba rugi fiskal PT A adalah sebagai berikut:

2016: laba fiskal Rp200 juta

2017: rugi fiskal (Rp300 juta)

2018: laba fiskal Rp Nihil

2019: laba fiskal Rp100 juta

2020: laba fiskal Rp800 juta

Kompensasi kerugian dilakukan sebagai berikut (dalam juta rupiah):

Rugi fiskal tahun 2015 sebesar Rp100 juta yang masih tersisa pada akhir tahun 2020 tidak boleh dikompensasikan lagi dengan laba fiskal tahun 2021, sedangkan rugi fiskal tahun 2017 sebesar Rp300 juta hanya boleh dikompensasikan dengan laba fiskal tahun 2021 dan tahun 2022, karena jangka waktu lima tahun yang dimulai sejak tahun 2017 berakhir pada akhir tahun 2022.

Kompensasi Kerugian Jika Terdapat Produk/Putusan Hukum

Apabila suatu perusahaan ternyata diketahui pernah dilakukan pemeriksaan dan menempuh upaya hukum tertentu sehingga terbit suatu produk atau putusan hukum, hal tersebut dapat berpengaruh terhadap nilai kerugian fiskal dalam tahun pajak bersangkutan.

Dalam Pasal 6 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 74 tahun 2011 (PP 74/2011) disebutkan bahwa wajib pajak dapat membetulkan SPT tahunan yang telah disampaikan, dalam hal wajib pajak menerima putusan hukum tertentu atas tahun pajak sebelumnya atau beberapa tahun pajak sebelumnya, yang menyatakan rugi fiskal yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam SPT tahunan, dengan menyampaikan pernyataan tertulis.

Putusan hukum tertentu tersebut adalah surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, dan Putusan Peninjauan Kembali.

Contoh Kasus

Dengan mengambil kasus yang sama dengan di atas, PT A diketahui pernah dilakukan pemeriksaan pajak dan telah terbit produk ketetapannya, serta PT A pada satu tahun pajak pernah mengajukan keberatan dan juga telah keluar putusannya. Berikut informasi tambahannya:

2016: laba fiskal Rp200 juta, setelah diperiksa menjadi laba Rp400 juta

2017: rugi fiskal (Rp300 juta), setelah diperiksa menjadi rugi Rp270 Juta

2018: laba fiskal Rp Nihil, sesuai Putusan Keberatan menjadi laba Rp50 juta

2019: laba fiskal Rp100 juta

2020: laba fiskal Rp800 juta, setelah diperiksa menjadi laba Rp900 juta

Menurut PP 74/2011, dalam jangka waktu 3 bulan setelah putusan maka wajib pajak harus melakukan pembetulan SPT tahunan dan penghitungan kompensasi kerugian akan menjadi sebagai berikut:

  • Tahun 2016: kompensasi kerugian menjadi Rp400 juta akibat adanya produk pemeriksaan sehingga sisa rugi tahun 2015 tinggal Rp800 juta (Rp1,2 miliar-Rp400 juta). Penghasilan kena pajak menjadi nihil dan PPh terutang juga nihil.
  • Tahun 2017: tidak ada kompensasi kerugian dari tahun 2015 karena tahun 2017 juga mengalami kerugian. Penghasilan kena pajak menjadi nihil dan PPh terutang juga nihil.
  • Tahun 2018: kompensasi kerugian Rp50 juta akibat adanya Putusan Keberatan sehingga sisa rugi tahun 2015 menjadi Rp750 juta (Rp800 juta-Rp50 juta). Penghasilan kena pajak menjadi nihil dan PPh terutang juga nihil.
  • Tahun 2019: kompensasi kerugian Rp100 juta sehingga sisa rugi tahun 2015 menjadi Rp650 juta (Rp750 juta-Rp100 juta). Penghasilan kena pajak menjadi nihil dan PPh terutang juga nihil.
  • Tahun 2020: kompensasi kerugian Rp900 juta sehingga tidak terdapat sisa rugi tahun 2015. Laba tahun 2020 (setelah dikurangi sisa kompensasi tahun 2015) menjadi Rp250 juta (Rp900 juta-Rp650 juta). PTA dapat menggunakan kompensasi kerugian tahun 2017 (Rp270 juta) sehingga penghasilan kena pajak menjadi nihil dan PPh terutang juga nihil. Dalam kasus ini untuk kerugian tahun 2017 yang tersisa Rp20 juta (Rp270 juta-Rp250 juta) hanya bisa dikompensasikan tahun 2020, 2021, dan 2022 jika masih ada.

Selain itu, perlu dicatat pula, Pasal 6 ayat 6 PP 74/2011 juga mengatur apabila wajib pajak tidak membetulkan SPT tahunan dalam jangka waktu 3 bulan setelah menerima produk/putusan hukum di atas, Direktur Jenderal Pajak akan menghitung kembali kompensasi kerugian dalam SPT tahunan secara jabatan berdasarkan rugi fiskal sesuai dengan produk/putusan hukum yang diterbitkan.*

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

sahala 03 April 2023 | 13:35 WIB

Apakah bisa rugi fiskal tidak dipergunakan semuanya (disesuaikan dengan tax planning WP)? Contoh: PT. A Tahun 2020 Rugi Fiskal 50M, Tahun 2021 Laba Fiskal 20 M dan dikompensasikan rugi fiskal sebesar 20 M, dan Tahun 2022 Laba Fiskal 40 M, WP hanya mengkompensasi kerugian fiskal sebesar Rp 20 M. Apakah bisa seperti itu? Mohon penjelasannya. Terimakasih

ARTIKEL TERKAIT
Rabu, 25 Desember 2024 | 11:30 WIB PMK 94/2023

Pemerikaan Pajak oleh DJP terhadap Kontraktor Migas, Apa Saja?

Jumat, 20 Desember 2024 | 17:00 WIB PENERIMAAN PAJAK

Tingkatkan Penerimaan Pajak, Indonesia Perlu Perdalam Sektor Keuangan

Jumat, 13 Desember 2024 | 12:00 WIB PENERIMAAN PAJAK

Setoran PPh Badan Diproyeksi Masih Akan Kontraksi, Ini Kata Menkeu

BERITA PILIHAN
Kamis, 26 Desember 2024 | 14:30 WIB KPP PRATAMA BENGKULU SATU

Mobil Rp200 Juta Disita KPP, Bakal Dilelang Kalau Utang Tak Dilunasi

Kamis, 26 Desember 2024 | 14:00 WIB KILAS BALIK 2024

Februari 2024: Wajib Pajak Bereaksi karena Potongan PPh 21 Lebih Besar

Kamis, 26 Desember 2024 | 13:30 WIB CORETAX SYSTEM

Jelang Coretax Diterapkan, PKP Bakal Perlu Bikin Sertel Baru

Kamis, 26 Desember 2024 | 13:00 WIB PROVINSI JAWA TIMUR

Opsen Berlaku 2025, Pemprov Turunkan Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan

Kamis, 26 Desember 2024 | 12:30 WIB ADMINISTRASI PAJAK

PKP Risiko Rendah Diterbitkan SKPKB, Kena Sanksi Kenaikan atau Bunga?

Kamis, 26 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK DAERAH

9 Jenis Pajak Daerah Terbaru yang Ditetapkan Pemkot Sibolga

Kamis, 26 Desember 2024 | 10:30 WIB KILAS BALIK 2024

Januari 2024: Ketentuan Tarif Efektif PPh Pasal 21 Mulai Berlaku

Kamis, 26 Desember 2024 | 10:00 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Kredit Investasi Padat Karya Diluncurkan, Plafonnya Capai Rp10 Miliar

Kamis, 26 Desember 2024 | 09:30 WIB PENGAWASAN BEA CUKAI

Libur Natal dan Tahun Baru, Bea Cukai Perketat Pengawasan di Perairan

Kamis, 26 Desember 2024 | 09:00 WIB CORETAX SYSTEM

Fitur Coretax yang Tersedia selama Praimplementasi Terbatas, Apa Saja?