SEJARAH KELAM PAJAK

Wah, Pajak Penghasilan Pernah Menjadi Bagian Sejarah Kelam Pajak

Redaksi DDTCNews | Selasa, 14 April 2020 | 22:31 WIB
Wah, Pajak Penghasilan Pernah Menjadi Bagian Sejarah Kelam Pajak

JAKARTA, DDTCNews - Melanjutkan episode sejarah kelam pajak di Inggris sebagaimana yang ditulis oleh Martin Daunton, episode kali ini mengangkat topik sejarah kelam pajak penghasilan yang diterapkan tahun 1799.

Pajak tanah yang diberlakukan di Inggris mengenakan pajak atas dasar jumlah tetap dan tidak bersifat elastis terhadap kenaikan nilai tanah pada abad ke-18. Akibatnya, penerimaan pajak tanah tidak memadai bagi pemerintah. Akhirnya, pengenaan cukai menjadi andalan bagi pemerintah untuk menyokong kebutuhan penerimaan pemerintah. Namun, pengenaan cukai tidak dapat menutupi kekurangan penerimaan (shortfall).

Besarnya kebutuhan biaya perang dengan Prancis menyebabkan pemerintah Inggris memerlukan cara lain untuk memungut pajak dari para pemilik tanah yang makmur. Para pemilik tanah ini mendapat penghasilan yang berlimpah atas hasil bahan mentah dan makanan dari perkebunan mereka.

Baca Juga:
Relevansi Pemajakan atas Upah pada Abad ke-21

Pada tahun 1798, Perdana Menteri William Pitt, mencoba menggali lebih banyak uang pajak melalui ‘triple assessment’. Yaitu, menaikkan assessed taxes sebagai bentuk pajak atas penghasilan dan meminta pemilik tanah yang kurang membayar pajak (undertaxed) untuk memberikan kontribusi sukarela.

Akan tetapi, semua langkah tersebut tidak menghasilkan cukup penerimaan untuk membiayai perang. Pada 1799, Pitt beralih ke jenis pajak yang dicap paling buruk, yaitu pajak penghasilan.

Pajak penghasilan adalah langkah yang diambil di masa perang. Pajak penghasilan tidak berlaku ketika perdamaian ditandatangani pada 1802. Pajak penghasilan diterapkan lagi ketika perang timbul lagi pada 1803.

Baca Juga:
Realisasi Penerimaan PPh Badan Tumbuh 19 Persen, Ini Kata Sri Mulyani

Politisi radikal Francis Burdett dengan tegas menyatakan bahwa “Pajak penghasilan telah menciptakan kekuasaan menyelidik (inquisitorial) yang sifatnya paling ofensif dan kejam ... Pencabutan pajak ini bukan solusi yang memadai untuk keburukannya, prinsipnya harus distigmatisasi dan dicap buruk.”

Pengaruh keluhan Burdett berkurang karena pemungutan pajak dilakukan oleh komisioner yang berasal dari komunitas lokal yang merupakan bagian dari masyarakat pembayar pajak dan bukan birokrat negara.

Namun, pada tahun 1814, Board of Inland Revenue mengambil langkah yang membawa malapetaka, yaitu menskor komisioner di City of London dengan alasan berkolusi melakukan penggelapan pajak. Hal ini merupakan serangan terhadap kebebasan warga negara. Permusuhan itu “seperti jabatan algojo, hanya penolakan masyarakat yang dapat menugaskan” para pemungut pajak.

Baca Juga:
Kontribusi Withholding Tax bagi PPh Orang Pribadi di Berbagai Negara

Selanjutnya, pajak penghasilan tidak dapat dilanjutkan setelah perang dan berakhir pada tahun 1816. Semua catatan administrasi dibakar sehingga pajak penghasilan tidak akan diperkenalkan lagi.

Hilangnya penerimaan pajak penghasilan dan kegagalan menaikkan pajak tanah mengakibatkan pemilik tanah yang kaya tidak membayar pajak dengan adil sesuai dengan kemampuan mereka. Sementara itu, konsumen dan industrialis dikenakan pajak yang lebih besar untuk membayar utang negara.

Akibatnya, timbul kemarahan radikal sehingga pajak penghasilan diterapkan lagi untuk sementara waktu pada tahun 1842 dan terus bertahan sejak itu.

Baca Juga:
Langkah Bersejarah, Negara Ini Hapus Skema Pajak Penghasilan Progresif

Penerimaan dari pajak penghasilan memungkinkan pengenaan bea cukai atas teh, gula, dan tembakau diturunkan. Akibatnya, orang miskin dapat merasakan manfaat dari penurunan bea cukai tersebut. Jadi, alih-alih sebagai sarana untuk penindasan, akhirnya pajak penghasilan diterima sebagai tanda bahwa masyarakat Inggris adil dan inklusif.

Demikian sejarah kelam pajak penghasilan sebagaimana dilansir dalam historyextra.com. Nantikan episode berikutnya.

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Senin, 03 Februari 2025 | 15:30 WIB CORETAX DJP

Baru! DJP Rilis Buku Panduan Pembuatan Bukti Potong PPh Via Coretax

Rabu, 29 Januari 2025 | 15:00 WIB KELAS PPH PASAL 21 (5)

Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sebagai Batas Pengenaan PPh 21

Kamis, 23 Januari 2025 | 15:19 WIB KONSULTASI PAJAK

Usaha Sektor Panas Bumi, Apa Saja Fasilitas PPh yang Bisa Digunakan?

BERITA PILIHAN
Senin, 03 Februari 2025 | 18:30 WIB PMK 7/2025

Kemenkeu Terbitkan Pedoman Pemeriksaan dan Penagihan Pajak Daerah

Senin, 03 Februari 2025 | 17:30 WIB PMK 136/2024

Ada De Minimis Exclusion, Pajak Minimum Global Bisa Jadi Nol

Senin, 03 Februari 2025 | 16:45 WIB KAMUS PAJAK

Apa Itu Surat Keputusan Pembetulan?

Senin, 03 Februari 2025 | 16:21 WIB PEREKONOMIAN INDONESIA

Inflasi Januari Cuma 0,76 Persen, Diskon Listrik Jadi Penyebab

Senin, 03 Februari 2025 | 16:09 WIB KOTA TANJUNGPINANG

Waduh! Pemkot Dituding Bikin Agenda Fiktif Pencetakan Buku Perda Pajak

Senin, 03 Februari 2025 | 15:30 WIB CORETAX DJP

Baru! DJP Rilis Buku Panduan Pembuatan Bukti Potong PPh Via Coretax

Senin, 03 Februari 2025 | 15:21 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Ada Titipan Pesan dari Gibran ke Bahlil Soal Elpiji 3 Kg, Apa Isinya?

Senin, 03 Februari 2025 | 15:09 WIB AGENDA PAJAK

Hadapi 2025, DDTC Gelar Seminar Eksklusif di Cikarang

Senin, 03 Februari 2025 | 14:09 WIB CORETAX SYSTEM

Perlu Waktu, Coretax Belum Nyambung ke Seluruh Bank dan Kementerian

Senin, 03 Februari 2025 | 14:00 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Pemerintah Tata Ulang Lahan Kebun Sawit, Pastikan Kepatuhan Pengusaha