Ilustrasi. Pekerja menata minuman kemasan yang dijual di minimarket di Sukabumi, Jawa Barat, Selasa (27/8/2024). Direktorat Jenderal Bea Cukai akan menetapkan cukai pada minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) pada 2025. ANTARA FOTO/Henry Purba/agr/Spt.
JAKARTA, DDTCNews - Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI) khawatir rencana pengenaan cukai terhadap pangan olahan tertentu yang mengandung gula, garam, dan lemak akan menekan kegiatan industri dan ekonomi.
Ketua Umum GAPMMI Adhi S. Lukman mengatakan penyakit tidak menular lebih banyak disebabkan oleh faktor risiko seperti gaya hidup masyarakat ketimbang hanya konsumsi pangan olahan. Menurutnya, pengenaan cukai mengandung gula, garam, dan lemak tidak dapat menyelesaikan masalah penyakit tidak menular karena persoalannya bukan akibat konsumsi pangan olahan.
"Pembatasan [pangan olahan], pengenaan cukai, dan sebagainya kami khawatirkan tidak akan efektif kalau itu tidak kita lakukan secara komprehensif," katanya dalam audiensi dengan Komisi IX DPR, Rabu (18/9/2024).
PP 28/2024 tentang Kesehatan menyatakan pemerintah pusat akan menentukan batas maksimal kandungan gula, garam, dan lemak dalam pangan olahan, termasuk pangan olahan cepat saji. Hal ini bertujuan mengendalikan konsumsi gula, garam, dan lemak oleh masyarakat.
Selain itu, terbuka ruang juga untuk mengenakan cukai atas produk olahan dengan kandungan tinggi gula, garam, dan lemak.
Adhi mengatakan PP Kesehatan terkesan membebankan sepenuhnya tanggung jawab penyakit tidak menular kepada produsen pangan olahan. Padahal, faktor risiko penyakit tidak menular juga mencakup gaya hidup masyarakat yang kurang beraktivitas fisik, merokok dan mengonsumsi alkohol, paparan polutan, dan stres.
Kemudian, produk pangan olahan ternyata hanya mengumbang 30% dari pengeluaran penduduk per kapita untuk pangan, sedangkan 70% lainnya berasal dari pangan nonolahan. Dengan demikian, pembatasan gula, garam, dan lemak pada produk pangan olahan tidak efektif mengatasi penyakit tidak menular.
Dia menilai pembatasan pangan olahan dan pengenaan cukai berpotensi menekan industri makanan dan minuman sebagai penopang ekonomi. Dengan kebijakan tersebut, lanjutnya, industri makanan dan minuman akan sulit tumbuh, berkembang, dan bersaing secara global.
"Kami sangat khawatir hanya akan menjadi beban ekonomi, sementara penanganan penyakit tidak menular akan tidak efektif," ujarnya.
Adhi menambahkan pengenaan cukai tidak selalu berhasil untuk mengendalikan konsumsi produk yang memiliki eksternalitas negatif. Misal di Meksiko, pengenaan cukai memang efektif menurunkan penjualan produk minuman mengandung gula.
Namun, statistik juga mencatat prevalensi tidak menular pada masyarakat terus mengalami kenaikan.
Dia pun menyarankan pemerintah menyusun kebijakan yang lebih komprehensif untuk mengatasi penyakit tidak menular. Misal, mengombinasikan kebijakan seperti pengaturan produk sesuai standar kualitas pangan dengan edukasi gaya hidup seimbang.
Sebelumnya, Kementerian Keuangan menyatakan perlu kajian dan pembahasan yang mendalam di antara kementerian/lembaga untuk menambahkan barang kena cukai (BKC). Adapun di antara pangan olahan tertentu yang mengandung gula, garam, dan lemak, cukai memang paling dekat diterapkan pada minuman bergula dalam kemasan (MBDK).
Hal ini karena pemerintah telah melakukan kajian mengenai cukai MBDK dan memasukkan target penerimaannya dalam APBN.
Pemerintah sejak awal 2020 telah merencanakan pengenaan cukai MBDK dan menyampaikannya kepada DPR. Pemerintah dan DPR kemudian mematok target penerimaan cukai MBDK untuk pertama kalinya pada APBN 2022 senilai Rp1,5 triliun.
Pada 2024, target penerimaan cukai MBDK dalam APBN ditetapkan senilai Rp4,38 triliun. Adapun pada RAPBN 2025, pemerintah juga kembali merencanakan pengenaan cukai terhadap BMDK. (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.