Laman muka dokumen PP 50/2022.
JAKARTA, DDTCNews - Presiden Joko Widodo (Jokowi) meneken Peraturan Pemerintah (PP) 50/2022 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Ditjen Pajak (DJP) Neilmaldrin Noor menyampaikan beleid ini menjadi aturan pelaksana dari UU 7/2021 tentang HPP klaster Ketentuan Umum Perpajakan (KUP).
"PP 74/2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan dan perubahannya perlu diganti untuk memberikan kepastian hukum, kemudahan, dan kejelasan bagi masyarakat," ujar Neilmaldrin dalam keterangan pers, dikutip pada Rabu (14/12/2022).
DJP mengungkapkan setidaknya ada 15 pokok perubahan yang termuat dalam beleid yang diundangkan pada 12 Desember 2022 ini. Kelima belas pokok perubahan ini masing-masing termuat dalam setiap bab yang ada pada PP 50/2022.
Pertama, pada Bab I tentang Ketentuan Umum, ditambahkan definisi tentang penyidikan, penyidik, surat keputusan persetujuan bersama, kesepakatan harga transfer, data kependudukan, data balikan, Nomor Induk Kependudukan (NIK), dan pajak karbon.
Kedua, pada bab II ditambahkan pengaturan tentang NIK sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) penduduk dengan mekanisme aktivasi. Kemudian, ditambahkan pula ketentuan soal Surat Keputusan Persetujuan Bersama sebagai dasar pembetulan dan pengembalian kelebihan pajak, serta pengaturan batasan Surat Pemberitahuan (SPT).
Ketiga, pada bab III diatur ketentuan penangguhan pemeriksaan yang ditindaklanjuti dengan pemeriksaan bukti permulaan.
Keempat, pada bab IV ada penghapusan soal ketentuan verifikasi terkait dengan penerbitan surat ketetapan sesuai dengan putusan Mahkamah Agung Nomor 73/P/HUM/2013. Kemudian, ada penambahan syarat laporan keuangan yang diaudit dalam pencabutan kriteria wajib pajak tertentu agar selaras dengan syarat penetapannya.
Kelima, pada bab V ada penurunan sanksi keberatan dan sanksi banding. Selain itu, ada penambahan pengaturan sanksi peninjauan kembali sesuai dengan pengaturan dalam UU HPP.
Kemudian, masih pada bab V, ada penambahan lingkup surat keputusan yang bisa dilakukan pembetulan, yakni Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Surat Tagihan Pajak PBB, Surat Keputusan Pemberian Pengurangan PBB, Surat Keputusan Pengurangan Denda Administrasi PBB, dan Surat Keputusan Persetujuan Bersama.
Keenam, pada bab VI, diatur pemberian kepastian hukum bahwa pelaksanaan imbalan bunga bagi wajib pajak yang mengajukan peninjauan kembali diberikan setelah putusan peninjauan kembali diterima Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Tanggal putusan banding/peninjauan kembali diterbitkan adalah tanggal putusan diterima DJP.
Ketujuh, pada bab VII ditambahkan pengaturan Surat Keputusan Persetujuan Bersama sebagai dasar penagihan pajak, menambahkan klaim pajak sebagai dasar penagihan, dan menambahkan pengaturan bahwa tagihan pajak berdasarkan pasal 14 ayat (4) atas Surat Ketetapan Pajak yang belum inkracht bukan merupakan utang pajak.
Kedelapan, pada bab VIII diatur ulang kriteria kuasa wajib pajak sesuai Pasal 32 UU HPP serta menyesuaikan kerja sama pemberian data dengan pihak lain yang terkait kerahasian jabatan Pasal 34 UU HPP.
Kesembilan, pada bab IX diatur penerapan Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure) sesuai Pasal 27C UU HPP.
Kesepuluh, pada bab X diatur pemulihan kerugian pada pendapatan negara sesuai Pasal 44B UU HPP, mengatur kewenangan menteri keuangan untuk mengusulkan pencegahan dalam rangka penyidikan sesuai Pasal 44 UU HPP, dan mengatur penetapan secara in absentia sesuai Pasal 44D UU HPP.
Kesebelas, pada bab XI diatur bahwa DJP dapat menerbitkan keputusan dalam bentuk elektronik menggunakan tanda tangan elektronik/segel elektronik tersertifikasi.
Kedua belas, pada bab XII diatur kewenangan menteri keuangan untuk menerima dan meminta Data Kependudukan dan Data Balikan dari Kementerian Dalam Negeri sesuai amanah Pasal 2 UU HPP.
Ketiga belas, pada bab XIII diatur tentang hak dan kewajiban pajak karbon.
Keempat belas, pada bab XIV diatur tentang ketentuan peralihan pengenaan sanksi Pasal 13 ayat (3) UU KUP, pasal 14 ayat (1) huruf I, sanksi keberatan, banding, dan peninjauan kembali, dan pengenaan sanksi permohonan penghentian penyidikan pasal 44B.
Terakhir, kelima belas, pada bab XV diatur penerbitan keputusan elektronik harus sudah diterapkan paling lama 5 tahun sejak PP ini berlaku. Bab ini juga mengatur bahwa peraturan pelaksanaan PP 74/2011 tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan, mencabut PP 74/2011, dan mengatur saat mulai berlakunya PP ini, yakni tanggal diundangkan. (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.