KEBIJAKAN PAJAK

Tiga Jenis Pajak Ini Paling Populer Direlaksasi di Banyak Negara

Redaksi DDTCNews | Rabu, 21 Oktober 2020 | 17:00 WIB
Tiga Jenis Pajak Ini Paling Populer Direlaksasi di Banyak Negara

Rick Krever, professor dari School of Law University of Western Australia, saat memberikan paparan dalam acara Tax Intercollegiate Forum: 2021- The Future of Taxation Policy in The Pandemic Recovery Era, Rabu (21/10/2020). (foto: hasil tangkapan layar dari medsos)

JAKARTA, DDTCNews – Banyak negara memakai instrumen kebijakan pajak dalam mendukung pelaku usaha untuk bertahan selama masa pandemi dengan gelontoran insentif pajak yang wajib dikelola secara seimbang.

Rick Krever, professor dari School of Law University of Western Australia, mengatakan keseimbangan kebijakan pajak pada masa pandemi tidak lepas dari tiga isu yang dihadapi otoritas pajak pada situasi krisis seperti saat ini.

Pertama, tingginya kebutuhan untuk mendapatkan penerimaan. Kedua, munculnya kebutuhan untuk mempertahankan tingkat konsumsi masyarakat. Ketiga, kebutuhan untuk memastikan likuiditas perusahaan tetap aman.

Baca Juga:
Pencantuman NITKU Bakal Bersifat Mandatory saat Pembuatan Bukti Potong

"Menjadi penting bagaimana pemerintah di berbagai negara untuk memberikan keseimbangan dari tiga aspek tersebut," katanya dalam acara Tax Intercollegiate Forum: 2021- The Future of Taxation Policy in The Pandemic Recovery Era, Rabu (21/10/2020).

Krever menjelaskan tiga jenis pajak paling populer untuk diberikan relaksasi antara lain PPN, PPh Orang Pribadi dan PPh. Menurutnya, dari tiga kebijakan pajak tersebut lahir berbagai variasi insentif yang berlaku di banyak negara.

Insentif PPN misalnya, banyak negara menerapkan tarif PPN khusus atau membebaskan pungutan PPN untuk barang yang dibutuhkan dalam penanganan pandemi seperti masker, alat kesehatan dan lainnya.

Baca Juga:
Rezim Baru, WP Perlu Memitigasi Efek Politik terhadap Kebijakan Pajak

“Ada juga variasi dari insentif PPN seperti kebijakan relaksasi untuk restitusi PPN dan penundaan pembayaran PPN untuk menjaga likuiditas pelaku usaha,” sebut Krever.

Untuk insentif PPh orang pribadi, implementasinya jauh berbeda dengan PPN. Krever menjelaskan insentif PPh orang pribadi berupa penundaan pembayaran pajak atau pemangkasan tarif justru tidak ideal untuk menjaga cash flow individu terdampak pandemi.

Kebijakan penundaan pembayaran PPh orang pribadi juga menuai banyak kritik karena minim untuk meningkatkan cash flow. Begitu juga dengan pemangkasan tarif PPh orang pribadi yang dinilai tidak tepat sasaran dan makin memperlebar ketimpangan.

Baca Juga:
Dibagikan Gratis, 2 Buku DDTC ITM 2024 Dwibahasa Telah Diluncurkan

"Pemangkasan tarif PPh badan juga banyak dikritik karena tidak berdampak terhadap peningkatan cash flow perusahaan yang merugi tahun ini," ujar Krever.

Dalam memberikan likuiditas dalam waktu cepat, banyak negara memperluas insentif kompensasi kerugian, baik yang dapat dibawa pada masa pajak tahun depan (carry forward) maupun kompensasi kerugian yang dapat dibawa kembali pada masa pajak sebelumnya (carry back).

Insentif kompensasi kerugian paling banyak dilakukan negara di dunia dengan memperkenalkan insentif tersebut atau melakukan perluasan mulai dari hak melakukan kredit pajak dibawa kembali antara 1 tahun pajak sampai dengan 3 tahun pajak.

"Carry back atas kerugian paling banyak diberikan untuk perusahaan yang membutuhkan cash flow dengan cepat. Indonesia tidak menerapkan kebijakan ini, tetapi Singapura, Selandia Baru, Australia dan banyak negara lain memberlakukan insentif tersebut,” tutur Krever. (rig)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Jumat, 18 Oktober 2024 | 09:14 WIB BERITA PAJAK HARI INI

Pencantuman NITKU Bakal Bersifat Mandatory saat Pembuatan Bukti Potong

Kamis, 17 Oktober 2024 | 13:35 WIB DDTC EXCLUSIVE GATHERING 2024

Rezim Baru, WP Perlu Memitigasi Efek Politik terhadap Kebijakan Pajak

Kamis, 17 Oktober 2024 | 10:30 WIB DDTC EXCLUSIVE GATHERING 2024

Dibagikan Gratis, 2 Buku DDTC ITM 2024 Dwibahasa Telah Diluncurkan

Rabu, 16 Oktober 2024 | 12:00 WIB KILAS BALIK PERPAJAKAN 2014-2024

Satu Dekade Kebijakan Perpajakan Jokowi

BERITA PILIHAN
Selasa, 22 Oktober 2024 | 21:45 WIB LEMBAGA LEGISLATIF

Sah! Misbakhun Terpilih Jadi Ketua Komisi XI DPR 2024-2029

Selasa, 22 Oktober 2024 | 21:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

PPN Mestinya Naik Tahun Depan, Gerindra akan Bahas Bareng Kemenkeu

Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:30 WIB KPP PRATAMA JAMBI TELANAIPURA

WP Gagal Daftar LPSE karena KSWP Tidak Valid, Gara-Gara Tak Lapor SPT

Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:06 WIB LEMBAGA LEGISLATIF

DPR Tetapkan Daftar Mitra Kerja untuk Komisi XII dan Komisi XIII

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:41 WIB IHPS I/2024

BPK Selamatkan Keuangan Negara Rp13,66 Triliun pada Semester I/2024

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:30 WIB KANWIL DJP JAWA TIMUR II

Pakai Faktur Pajak Fiktif, Dirut Perusahaan Akhirnya Ditahan Kejari

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:00 WIB TIPS PAJAK DAERAH

Cara Daftarkan Objek Pajak Alat Berat di DKI Jakarta secara Online

Selasa, 22 Oktober 2024 | 15:30 WIB AUSTRALIA

Bikin Orang Enggan Beli Rumah, Australia Bakal Hapus BPHTB

Selasa, 22 Oktober 2024 | 14:00 WIB KP2KP SIDRAP

Ubah Kata Sandi Akun Coretax, Fiskus: Tak Perlu Cantumkan EFIN