Ilustrasi. Warga antre mengikuti vaksinasi Covid-19 massal di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Sabtu (26/6/2021). ANTARA FOTO/Galih Pradipta/wsj.
PERIODE Perang Dunia I, Depresi Besar, dan Perang Dunia II merupakan tahun-tahun yang berat bagi kondisi fiskal Amerika Serikat (AS). Perang dan krisis yang datang silih berganti mau tidak mau mendorong kebutuhan belanja pemerintah. Kala itu, kebijakan fiskal yang ekspansif jadi andalan.
Di sisi lain, pendapatan negara dalam kondisi lemah. Struktur penerimaan pajak pemerintah federal masih didominasi kontribusi pajak properti dan cukai. Pajak penghasilan (PPh) – yang diperkenalkan pada periode Perang Saudara – masih belum matang dan hanya dikenakan pada sebagian kelompok tertentu.
Dalam ‘kebuntuan’ tersebut, diputuskan adanya kenaikan tarif PPh orang pribadi. Sebelum Perang Dunia I, tarif tertinggi hanya 15%. Setelah Perang Dunia II, tarifnya berada di atas 70%.
Pengenaan tarif yang sangat progresif bukan tanpa alasan. Krisis menciptakan ketimpangan. Pengangguran dan kemiskinan meningkat drastis sehingga program bantuan sosial seperti kupon makanan jadi beban pemerintah. Di sisi lain, orang kaya AS cenderung tidak melakukan konsumsi dan memilih untuk menabung atau memarkir modal di sektor yang tidak produktif (Thorndike, 2009).
Pada saat itu, tarif progresif PPh dapat dimaknai sebagai bentuk paksaan solidaritas dari kelompok kaya kepada kelompok nonkaya yang relatif banyak mengorbankan jiwanya ke medan perang. Inilah teori kompensasi (compensatory theory).
Tidak semata-mata soal kesempatan untuk berkontribusi. Teori tersebut juga mencakup argumen untuk menjamin pembangunan ekonomi yang mencerminkan nilai demokrasi, inklusivitas, dan pemerataan.
Komentar Franklin D. Roosevelt pada 1935 dalam menjawab kritik atas pemajakan yang lebih besar bagi orang kaya menggambarkan justifikasi teori kompensasi.
“Bukan untuk menghancurkan kemakmuran, tapi untuk menciptakan peluang yang lebih luas, untuk mengendalikan pertumbuhan atas hal-hal yang tidak bermanfaat luas, mencegah akumulasi, dan meletakkan beban pemerintah di pundak para pihak yang memiliki kemampuan untuk menanggungnya.”
Dalam literatur modern, teori kompensasi memiliki dua elemen. Pertama, teori ini bertujuan untuk mencapai atau merestorasi perlakuan yang setara oleh negara bagi setiap kelompok dalam masyarakat.
Kedua, upaya mencapai kesetaraan tersebut timbul karena negara – secara sengaja atau tidak -- memberikan fasilitas bagi kelompok kaya. Baik dalam hal memperoleh privilege melalui intervensi kebijakan maupun adanya pembebasan dari suatu kewajiban (Alvarado, 2021).
Tugas kesetaraan tersebut tentu dapat diemban instrumen pajak yang notabene memiliki fungsi redistribusi. Dalam ranah pajak, teori kompensasi sesungguhnya berangkat dari justifikasi pajak yang progresif untuk mengkompensasi adanya regressive incidence dari pajak lainnya (Seligman, 1893).
Seiring dengan masa damai, teori compensatory kian kalah pamor dengan teori ability to pay dalam menjamin sistem pajak yang berkeadilan. Tidak adanya urgensi –seperti halnya perang– membuat justifikasi untuk memaksa kontribusi pajak dari kelompok kaya justru kian mengecil (Scheve dan Stasavage, 2016).
Contohnya sederhana. Berbagai krisis dan tekanan fiskal yang dialami AS pada tahun-tahun setelah Perang Dunia II tidak menghasilkan suatu resep progresivitas dan tuntutan kontribusi pajak yang lebih banyak dari kelompok kaya. Resesi pada dekade 1980-an justru menghasilkan solusi yang berbeda, yakni turunnya tarif tertinggi PPh orang pribadi serta perlakuan pajak khusus bagi penghasilan modal.
Reborn
DI tengah ‘perang melawan pandemi covid’, teori kompensasi bisa dianggap mengalami reborn. Alasannya, kebutuhan yang mendesak bagi pendanaan biaya penanganan pandemi. Selain itu, ketimpangan yang sebelum pandemi sudah tinggi, bisa jadi akan makin meningkat.
Semangat teori kompensasi inilah yang mendorong berbagai lembaga internasional menyerukan kontribusi pajak yang lebih banyak dari orang kaya. Instrumennya bisa melalui penyesuaian tarif tertinggi PPh, pajak kekayaan, atau pajak warisan.
Roh dari teori kompensasi juga terlihat dari ide Presiden Biden untuk mengenakan lebih banyak capital gains tax melalui American Families Plan. Beberapa instrumen pajak temporer yang diusung oleh beberapa negara Amerika Latin juga memiliki posisi yang sama, yakni solidaritas dari kalangan berpunya.
Singkatnya, teori kompensasi kian relevan. Kebutuhan mencapai konsolidasi fiskal serta menjamin pemulihan ekonomi yang inklusif adalah dua aspek krusial. Semuanya itu terangkum dalam 4 kata kunci, yakni pandemi, pajak, solidaritas, dan ketimpangan.
Dalam konteks Indonesia, compensatory theory menemukan momentumnya, yakni agenda reformasi pajak yang tertuang dalam revisi UU KUP.
Sistem pajak Indonesia yang belum sepenuhnya mampu menjamin kesetaraan kontribusi pajak antarsektor dan antarkelompok tentu harus jadi perhatian. Jika dibiarkan, beban pajak makin tidak terdistribusi secara merata. Sebagai akibatnya, ketimpangan kian mengancam.
Selain persoalan konsolidasai fiskal, revisi UU KUP sepatutnya turut mengikutsertakan ikhtiar pemulihan ekonomi yang inklusif. Dengan kata lain, turut mengatur secara adil pembagian pihak yang menanggung ongkos ‘perang’ melawan pandemi serta biaya pembangunan pada masa yang akan datang.
Dalam hal ini, kita perlu mengapresiasi berbagai rencana dalam menu revisi UU KUP. Mulai dari penyesuaian tarif dan tax bracket PPh orang pribadi, instrumen pencegahan penghindaran pajak yang kian ketat, penataan ulang pengecualian dan fasilitas PPN agar tepat sasaran, skema PPN multitarif, hingga bantuan penagihan pajak lintas yurisdiksi.
Sayang, gagasan solidaritas melalui sistem pajak belum sepenuhnya terwujud melalui suatu instrumen khusus. Mungkin ini saatnya pemerintah mempertimbangkan pajak solidaritas yang senafas dengan teori kompensasi.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.