JIKA terjadi sengketa pajak, termasuk sengketa terkait pajak bumi dan bangunan (PBB), wajib pajak memiliki hak untuk mengajukan keberatan. Dalam praktiknya, sering kali terdapat perbedaan pendapat antara otoritas pajak dan wajib pajak atas sengketa yang terjadi. Dengan demikian, wajib pajak diberikan hak tersebut untuk menjamin keadilan.
Lantas seperti apa tata cara dan prosedur pengajuan keberatan dalam sengketa PBB? Berikut ulasannya.
Pengajuan Keberatan
TERKAIT dengan pengajuan keberatan PBB (yang dipungut oleh pemerintah pusat), wajib pajak dapat mengajukan keberatan kepada dirjen pajak. Keberatan itu baik atas Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) maupun Surat Ketetapan Pajak (SKP).
Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 15 sampai Pasal 17 Undang-Undang No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 1994 (UU PBB)
Sesuai dengan ketentuan Pasal 15 ayat (2) dan (3) UU PBB, keberatan yang diajukan harus ditulis dalam bahasa indonesia serta harus diajukan dalam jangka waktu tiga bulan sejak tanggal diterimanya SPPT atau SKP.
Namun, apabila wajib pajak tidak dapat memenuhi jangka waktu tersebut karena keadaan yang di luar kekuasaannya maka perlu menunjukkan bukti dia memang tidak dapat memenuhi jangka waktu sebagaimana yang dtentukan.
Adapun ketentuan teknis pengajuan keberatan PBB ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 249/PMK.03/2016 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan No. 253/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan Pajak Bumi dan Bangunan (PMK 249/2016).
Sesuai Pasal 4 ayat (2) PMK 249/2016, untuk setiap surat keberatan yang diajukan, berlaku untuk satu SPPT atau SKP PBB yang ditujukan kepada dirjen pajak dengan disampaikan melalui Kantor Pelayanan Pajak (KPP).
Selain itu, surat keberatan tersebut harus dilampiri dengan fotokopi SPPT atau SKP PBB serta memuat jumlah PBB yang terutang menurut penghitungan wajib pajak dan disertai dengan alasan pengajuan keberatan;
Surat keberatan tersebut harus ditandatangani oleh wajib pajak yang bersangkutan. Apabila surat keberatan tidak ditandatangani wajib pajak sendiri maka berdasarkan Pasal 4 ayat (2) huruf g PMK 249/2016, surat keberatan tersebut harus dilampiri dengan surat kuasa khusus.
Adapun yang menjadi tanda bukti penerimaan surat keberatan tersebut berdasarkan Pasal 15 ayat (3) UU PBB adalah tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan oleh pejabat Ditjen Pajak yang dan/atau tanda pengiriman surat keberatan melalui pos.
Selain itu, berdasarkan Pasal 15 ayat (4) UU PBB, dirjen pajak harus memberikan hal-hal yang menjadi dasar pengenaan pajak secara tertulis jika diminta oleh wajib pajak untuk keperluan pengajuan keberatan. Perlu dicatat, berdasarkan Pasal 15 ayat (6) UU PBB, pengajuan keberatan ini tidak akan menunda kewajiban wajib pajak untuk membayar utang pajaknya.
Selanjutnya, sesuai dengan ketentuan Pasal 16 ayat (1) UU PBB, dirjen pajak harus memberikan keputusan atas keberatan yang diajukan selambat-lambatnya 12 bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima.
Sampai diterbitkannya surat keputusan, wajib pajak dapat menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan tertulis. Keputusan dirjen pajak tersebut dapat berupa menerima seluruhnya atau menerima sebagian, menolak, atau menambah besarnya jumlah pajak terutang.
Apabila wajib pajak mengajukan keberatan atas SKP, wajib pajak yang bersangkutan harus dapat membuktikan adanya ketidakbenaran dalam SKP tersebut. Apabila dirjen pajak masih belum juga memberikan keputusan sampai melewati jangka waktu yang ditentukan maka keberatan yang diajukan akan dianggap diterima.
Selanjutnya, pengajuan keberatan terhadap PBB Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) atau PBB yang dipungut oleh pemerintah daerah diatur dalam Pasal 103 sampai Pasal 106 Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD).
Berdasarkan Pasal 103 ayat (1) UU PDRD, wajib pajak dapat mengajukan keberatan kepada kepala daerah atau pejabat yang ditunjuk atas suatu SPPT, Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD), Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar (SKPDKB), Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan (SKPDKBT), Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar (SKPDLB), Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil (SKPDN), dan pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
Tak jauh berbeda dengan ketentuan dalam UU PBB, syarat pengajuan keberatan yang diatur dalam Pasal 103 ayat (2) UU PDRD di antaranya adalah keberatan harus diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan-alasan yang jelas.
Permohonan keberatan tersebut harus diajukan dalam jangka waktu paling lama tiga bulan sejak tanggal surat, tanggal pemotongan, atau pemungutan. Namun, Pasal 103 ayat (3) UU PDRD masih memberikan keringanan bagi wajib pajak untuk mengajukan keberatan meskipun telah melewati jangka waktu yang ditentukan apabila ia dapat menunjukkan dirinya memang tidak dapat memenuhi jangka waktu tersebut karena keadaan yang di luar kekuasaannya.
Selain itu, untuk mengajukan keberatan terhadap PBB-P2, berdasarkan pada Pasal 103 ayat (4) UU PDRD, wajib pajak harus terlebih dahulu membayar paling sedikit sesuai dengan jumlah yang telah disetujui sebelumnya oleh wajib pajak.
Sementara yang digunakan sebagai tanda bukti penerimaan surat keberatan adalah tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan oleh kepala daerah atau pejabat yang ditunjuk atau tanda pengiriman surat keberatan melalui surat pos.
Selanjutnya, atas keberatan yang diajukan, kepala daerah harus memberi keputusan selambat-lambatnya dalam waktu 12 bulan sejak tanggal diterimanya surat keberatan sesuai dengan ketentuan Pasal 104 ayat (1) UU PDRD. Adapun keputusan yang dimaksud dapat berupa menerima seluruhnya, menerima sebagian, menolak, atau menambah besarnya jumlah pajak yang terutang.
Apabila kepala daerah masih belum juga mengeluarkan keputusan setelah melewati jangka waktu yang ditentukan maka berdasarkan Pasal 104 ayat (3) UU PDRD, keberatan yang diajukan akan dianggap dikabulkan. Perlu dipahami, ketentuan teknis lebih lanjut diatur dalam peraturan daerah (Perda) di masing-masing kabupaten/kota. (faiz)*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.