BERITA PAJAK HARI INI

Tak Lagi Dibebaskan, Barang dan Jasa Premium Ini Bakal Kena PPN 12%

Redaksi DDTCNews | Selasa, 17 Desember 2024 | 09:04 WIB
Tak Lagi Dibebaskan, Barang dan Jasa Premium Ini Bakal Kena PPN 12%

JAKARTA, DDTCNews - Barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, dan jasa pendidikan yang tergolong mewah akan dikenakan PPN sebesar 12% pada tahun depan. Topik tersebut menjadi salah satu ulasan utama media nasional pada hari ini, Selasa (17/12/2024).

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan setengah dari fasilitas pembebasan PPN yang diberikan selama ini ternyata dinikmati oleh masyarakat mampu. Oleh karena itu, PPN atas barang dan jasa yang tergolong mewah perlu dikenakan sejalan dengan asas keadilan.

"Kita juga perlu untuk sedikit memperbaiki agar dalam hal ini asas gotong royong dan keadilan tetap terjaga," katanya.

Baca Juga:
Sempat Menolak, PDIP Kini Berbalik Dukung PPN 12 Persen

Selama ini, lanjut Sri Mulyani, fasilitas pembebasan PPN atas penyerahan beberapa barang dan jasa diberikan secara umum. Adapun fasilitas pembebasan PPN atas beberapa kelompok barang dan jasa tersebut diatur berdasarkan UU HPP dan PP 49/2022.

Contoh kelompok barang mewah yang sebelumnya turut dibebaskan PPN antara lain bahan makanan premium, jasa pendidikan premium, dan jasa kesehatan medis premium.

Sri Mulyani menyebut bahan makanan premium tersebut antara lain daging sapi premium seperti wagyu dan kobe yang harganya mencapai 2,5 juta hingga 3 juta per kilogram. Agar sesuai dengan asas keadilan, atas barang kebutuhan pokok tersebut bakal dikenakan PPN 12%.

Baca Juga:
Keputusan yang Dikirim via Coretax Dianggap Sudah Diterima Wajib Pajak

"Sementara daging yang dinikmati masyarakat secara umum berkisar antara Rp150.000 sampai Rp200.000 per kg, dia tidak dikenakan PPN," ujarnya.

Sri Mulyani menambahkan situasi serupa juga terjadi pada jasa kesehatan dan pendidikan mewah. Menurutnya, saat ini terdapat jasa pendidikan premium dengan biaya sekolah yang mencapai ratusan juta rupiah.

Selain pengenaan PPN atas barang-barang mewah atau premium, ada pula ulasan terkait dengan paket stimulus ekonomi. Kemudian, ada juga bahasan mengenai laporan belanja perpajakan, perpanjangan PPh final UMKM, dan lain sebagainya.

Baca Juga:
Hingga November, Kanwil DJP Jakbar Kumpulkan Pajak Rp57,67 Triliun

Berikut ulasan artikel perpajakan selengkapnya.

Berlaku 2025, PPN untuk Pelanggan Listrik 3.500 – 6.600 VA

Selain barang dan jasa premium, pemerintah juga akan mengenakan PPN atas listrik untuk pelanggan rumah tangga 3.500-6.600 VA mulai 2025. Sesuai dengan amanat undang-undang, tarif PPN akan naik dari 11% menjadi 12% mulai 1 Januari 2025.

Dalam ketentuan saat ini, listrik untuk pelanggan rumah tangga 3.500-6.600 VA masih menjadi barang kena pajak (BKP) tertentu bersifat strategis yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN. Hal ini sesuai dengan Pasal 16B UU PPN dan Pasal 6 PP 49/2022.

“Untuk pelanggan listrik 3.500-6.600 VA dikenakan PPN,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers. (DDTCNews/Bisnis Indonesia/Kontan)

Baca Juga:
WP Bisa Akses Aplikasi Coretax Mulai Hari Ini, Fiturnya Masih Terbatas

Paket Stimulus Ekonomi: Ada 15 Jenis Insentif

Pemerintah menyiapkan 15 jenis insentif dalam paket kebijakan stimulus untuk menjaga pertumbuhan ekonomi pada 2025.

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan paket kebijakan stimulus ini akan diberlakukan pada 2025, bersamaan dengan kenaikan tarif PPN menjadi 12%. Secara keseluruhan, pagu untuk paket stimulus ekonomi ini setidaknya mencapai Rp28,01 triliun.

"Paket [stimulus] ini dirancang untuk melindungi masyarakat, mendukung pelaku usaha, utamanya UMKM dan padat karya, menjaga stabilitas harga dan pasokan bahan pokok, dan ujungnya untuk kesejahteran masyarakat," tuturnya. (DDTCNews/Bisnis Indonesia/Kontan)

Baca Juga:
Jelang Tutup Tahun, Realisasi Pajak Kanwil Khusus Capai 95% Target

Tarif Umum PPN Naik Jadi 12 Persen

Pemerintah menyatakan tarif PPN tetap naik menjadi 12% pada tahun depan. Keputusan ini berbeda dengan wacana pengenaan PPN 12% yang dikhususkan atas barang mewah, seperti yang disampaikan parlemen beberapa waktu lalu.

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan kenaikan tarif PPN telah diatur dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Menurutnya, pemerintah akan melaksanakan ketentuan dalam UU HPP untuk menerapkan tarif PPN sebesar 12% mulai 1 Januari 2025.

"Sesuai dengan amanah UU tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, ini sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan, tarif PPN tahun depan akan naik 12% per 1 Januari," katanya. (DDTCNews)

Baca Juga:
Ini Aturan Terbaru Pengkreditan Pajak Masukan Sebelum Pengukuhan PKP

Perpanjangan PPh Final 0,5% untuk UMKM yang Sudah Manfaatkan 7 Tahun

Pemerintah memperpanjang periode pemanfaatan PPh final dengan tarif 0,5% bagi UMKM selama 1 tahun. Namun, perpanjangan ini hanya berlaku bagi UMKM orang pribadi yang sudah memanfaatkan fasilitas ini selama 7 tahun terakhir.

Sesuai dengan PP 55/2022, orang pribadi UMKM mendapatkan jatah pemanfaatan PPh final 0,5% selama 7 tahun. Apabila orang pribadi telah terdaftar sejak 2018 atau sebelum berlakunya PP 23/2018, PPh final 0,5% hanya bisa dimanfaatkan hingga 2024 ini.

"Perpanjangan waktu 1 tahun ini bagi pelaku UMKM yang sudah menjalani insentif PPh [final 0,5%] selama 7 tahun berdasarkan PP 55/2022," ujar Menteri UMKM Maman Abdurrahman dalam konferensi pers paket kebijakan ekonomi. (DDTCNews)

Baca Juga:
Realisasi Pajak Rokok di Sumsel Tak Capai Target, Ini Penyebabnya

Belanja Perpajakan 2025 Diproyeksikan Tembus Rp445 Triliun, Naik 11%

Pemerintah memperkirakan nilai belanja perpajakan pada 2025 mencapai Rp445,5 triliun, naik 11,4% dibandingkan dengan estimasi belanja perpajakan pada tahun ini senilai Rp399,9 triliun.

Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan proyeksi belanja perpajakan senilai Rp445,5 triliun tersebut setara dengan 1,83% dari PDB. Dia menambahkan proyeksi tersebut bisa dilakukan lantaran pemerintah sudah memiliki data selama 9 tahun terakhir.

"[Tahun depan] diproyeksikan Rp445,5 triliun. Kalau saat ini tax ratio kita sebesar 10,4% dari PDB, sebenarnya menurut aturan yang ada pemerintah itu bisa mengumpulkan 12,2% dari PDB," katanya. (DDTCNews)

Baca Juga:
Nanti Ada Coretax, Masih Perlu Ajukan Sertifikat Elektronik?

World Bank: 1 dari 4 Perusahaan di Indonesia Lakukan Tax Evasion

Sekitar 1 dari 4 perusahaan di Indonesia melakukan tindakan penghindaran pajak alias tax evasion, menurut hasil studi World Bank yang diluncurkan baru-baru ini.

Lemahnya kepatuhan pembayaran pajak di Indonesia menjadi salah satu faktor utama mengapa penerimaan pajak di Indonesia rendah.

Penghindaran pajak lebih sering terjadi pada perusahaan non-eksportir, juga kalangan usaha yang menganggap administrasi pajak sebagai beban besar dan menghadapi persaingan informal yang kuat.

Baca Juga:
Ketentuan Pelaporan PPh Atas Penjualan Saham Berubah, Jadi Lebih Cepat

Sekitar setengah dari perusahaan di Indonesia melaporkan bahwa mudah bagi mereka menghindari pembayaran PPh Badan atau PPN. (Bloombergtechnoz)

Kenaikan PPN Jadi Jalan Tengah Tingkatkan Penerimaan Negara

Kebijakan pemerintah untuk tetap meningkatkan tarif PPN dari 11% menjadi 12% dipandang sebagai jalan tengah yang perlu diambil dalam rangka meningkatkan penerimaan negara.

Founder DDTC Darussalam mengatakan pemerintah bisa memilih menurunkan threshold pengusaha kena pajak (PKP) ataupun mengurangi fasilitas pembebasan PPN. Namun, langkah tersebut tidak diambil demi melindungi UMKM dan masyarakat rentan.

Baca Juga:
Utang Pajak Rp632 Juta Tak Dilunasi, Mobil WP Akhirnya Disita KPP

"Ketika kita bicara kebijakan PPN, kita harus lihat 3 hal [tarif, threshold PKP, dan fasilitas]. Banyak negara yang tarif PPN-nya di bawah kita, tapi batasan untuk memungut PPN di bawah Rp4,8 miliar," katanya. (DDTCNews)

Threshold Terlalu Tinggi Gerus Partisipasi Publik pada Sistem Pajak

Tingginya beragam threshold yang berlaku menjadi salah satu sebab rendahnya penerimaan pajak dan minimnya partisipasi publik terhadap sistem pajak Indonesia.

Director of Fiscal Research & Advisory DDTC Bawono Kristiaji mengatakan rendahnya partisipasi publik terhadap sistem pajak disebabkan oleh banyaknya tenaga kerja yang tidak terdaftar sebagai wajib pajak akibat tingginya penghasilan tidak kena pajak (PTKP) yang berlaku.

"PTKP senilai Rp54 juta per orang per tahun mudah diadministrasikan. Namun, banyak orang yang tak terdaftar dalam sistem pajak akibat PTKP tersebut," katanya Bawono dalam peluncuran Indonesia Economic Prospects (IEP) 2024 oleh World Bank. (DDTCNews)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Selasa, 24 Desember 2024 | 19:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Sempat Menolak, PDIP Kini Berbalik Dukung PPN 12 Persen

Selasa, 24 Desember 2024 | 18:00 WIB KANWIL DJP JAKARTA BARAT

Hingga November, Kanwil DJP Jakbar Kumpulkan Pajak Rp57,67 Triliun

Selasa, 24 Desember 2024 | 17:27 WIB CORETAX SYSTEM

WP Bisa Akses Aplikasi Coretax Mulai Hari Ini, Fiturnya Masih Terbatas

BERITA PILIHAN
Selasa, 24 Desember 2024 | 21:30 WIB CORETAX SYSTEM

Simak! Keterangan Resmi DJP Soal Tahapan Praimplementasi Coretax

Selasa, 24 Desember 2024 | 19:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Sempat Menolak, PDIP Kini Berbalik Dukung PPN 12 Persen

Selasa, 24 Desember 2024 | 18:00 WIB KANWIL DJP JAKARTA BARAT

Hingga November, Kanwil DJP Jakbar Kumpulkan Pajak Rp57,67 Triliun

Selasa, 24 Desember 2024 | 17:27 WIB CORETAX SYSTEM

WP Bisa Akses Aplikasi Coretax Mulai Hari Ini, Fiturnya Masih Terbatas

Selasa, 24 Desember 2024 | 17:00 WIB PMK 81/2024

Ini Aturan Terbaru Pengkreditan Pajak Masukan Sebelum Pengukuhan PKP

Selasa, 24 Desember 2024 | 16:30 WIB PROVINSI SUMATERA SELATAN

Realisasi Pajak Rokok di Sumsel Tak Capai Target, Ini Penyebabnya

Selasa, 24 Desember 2024 | 16:00 WIB CORETAX SYSTEM

Nanti Ada Coretax, Masih Perlu Ajukan Sertifikat Elektronik?

Selasa, 24 Desember 2024 | 15:00 WIB KPP PRATAMA KOSAMBI

Utang Pajak Rp632 Juta Tak Dilunasi, Mobil WP Akhirnya Disita KPP