Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. (foto: Setkab)
JAKARTA, DDTCNews – Pemerintah tengah menyusun rancangan undang-undang (RUU) baru terkait dengan ketentuan dan fasilitas perpajakan untuk penguatan perekonomian. Topik tersebut menjadi bahasan beberapa media nasional pada hari ini, Rabu (4/9/2019).
Isi dari RUU tersebut akan sejalan dengan revisi paket undang-undang pajak yang tengah dilakukan dalam konteks reformasi perpajakan. UU tersebut adalah UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), UU Pajak Penghasilan (PPh), dan UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan RUU itu untuk meningkatkan perekonomian Indonesia, meningkatkan pendanaan investasi, menyesuaikan prinsip penghasilan bagi wajib pajak orang pribadi dengan prinsip teritorial, dan mendorong kepatuhan sukarela wajib pajak (WP), serta menciptakan keadilan dalam iklim berusaha di dalam negeri.
“Dan menempatkan berbagai fasilitas perpajakan di dalam satu perundang-undangan. Presiden dan Wakil Presiden minta segera matangkan RUU ini agar bisa lakukan konsultasi publik dan disampaikan segera ke DPR,” ujarnya.
Selain itu, beberapa media juga menyoroti potential loss dari rencana penurunan tarif PPh badan dari 25% menjadi 20% secara bertahap. Rencana yang direncanakan mulai efektif pada 2021 ini diestimasi berisiko menghilangkah potensi penerimaan puluhan triliun.
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan setidaknya ada 8 poin utama yang akan dimuat dalam RUU baru terkait dengan ketentuan dan fasilitas perpajakan untuk penguatan perekonomian.
Pertama, penurunan tarif PPh badan dari 25% menjadi 20%. Selain itu, tarif perusahaan yang go public juga akan diturunkan sama dengan Singapura yakni 17%. Kedua, penghapusan PPh dividen dari perusahaan dalam dan luar negeri.
Ketiga, perubahan rezim PPh orang pribadi dari worldwide menjadi teritorial. (Baca soal konsep sistem pajak worldwide dan teritorial di sini).Keempat, pemberian keringanan sanksi yang terkait dengan administrasi pajak.
Kelima, pemberian relaksasi hak untuk mengkreditkan pajak masukan. Keenam, penempatan seluruh fasilitas insentif perpajakan dalam satu bagian.Ketujuh, pengaturan pajak pertambahan nilai bagi perusahaan digital. Kedelapan, perubahan definisi bentuk usaha tetap (BUT) tidak lagi berdasarkan kehadiran fisik.
Pemerintah berencana memangkas tarif PPh badan mulai 2021 mendatang. Dari hitungan Ditjen Pajak (DJP), pemangkasan tarif dari 25% menjadi 20% secara langsung akan membuat risiko hilangnya potensi penerimaan pajak senilai Rp87 triliun. Oleh karena itu, pemerintah akan mengambil skema pemangkasan bertahap.
“Kalau bertahap, Rp54 triliun [potential loss pada 2021],” ujar Dirjen Pajak Robert Pakpahan.
Kepala Kepabeanan dan Cukai Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Nasruddin Joko Suryono mengatakan otoritas akan berupaya untuk membuat formula penyesuaian tarif cukai hasil tembakau (CHT) yang tidak memberi dampak negatif pada industri.
“Besaran kenaikan tarif cukai dikenakan secara proporsional di mana industri padat karya mendapat beban [kenaikan cukai] yang lebih rendah dibandingkan industri padat modal,” katanya. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
hmm, kalo indonesia beralih dari worldwide ke teritorial, bukannya menjadi rugi yah untuk indonesia itu sendiri? yang biasanya penghasilan WP dari LN diperhitungkan dalam penghitungan SPT tahunan, dengan beralih ke teritorial,maka penghasilan dr LN tersebut tidak diperhitungkan dengan SPT WP tersebut. sehingga pajak yg terhutang terhadap wp tst menjadi kecil