BERITA PAJAK HARI INI

Soal Tax Ratio Indonesia Terendah di Asia Pasifik, Ini Respons DJP

Redaksi DDTCNews | Jumat, 26 Juli 2019 | 08:01 WIB
Soal Tax Ratio Indonesia Terendah di Asia Pasifik, Ini Respons DJP

Ilustrasi.

JAKARTA, DDTCNews – Tax ratio Indonesia tercatat paling rendah di Kawasan Asia & Pasifik. Hasil laporan terbaru Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) tersebut menjadi bahasan beberapa media nasional pada hari ini, Jumat (26/7/2019).

Laporan edisi keenam Revenue Statistics in Asian and Pacific Economies memaparkan survei terhadap 17 negara. Dari survei tersebut, rasio pajak terhadap PDB (tax ratio) Indonesia tercatat paling rendah, yaitu sebesar 11,5%. Tax ratio tertinggi dipegang Selandia Baru, yaitu sebesar 32,0%.

Secara umum, tax ratio lebih tinggi di ekonomi Pasifik daripada di Asia. Namun demikian, tax ratio di Kawasan ini masih lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata negara-negara OECD yang tercatat sebesar 34,2%.

Baca Juga:
World Bank Kritik Pajak RI, Luhut: Kita Disamakan dengan Nigeria

OECD menilai beberapa penyebab rendahnya tax ratio di Indonesia antara lain besarnya porsi tenaga kerja informal yang mencapai 57,6% dari total tenaga kerja, masih banyaknya penghindaran pajak, dan masih sempitnya basis pajak.

Selain itu, beberapa media juga menyoroti rencana pemerintah meluncurkan dua regulasi terkait industri mobil listrik. Regulasi yang juga memuat berbagai insentif pajak ini diyakini akan mengakselerasi pertumbuhan industri.

Berikut ulasan berita selengkapnya.

Baca Juga:
Efek Pajak hingga Utang, Cadangan Devisa Naik Jadi US$155,7 Miliar
  • Akui Belum Optimal

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak (DJP) mengatakan perhitungan tax ratio di Indonesia belum termasuk pajak-pajak daerah dan jaminan sosial. Namun, dia mengakui tax ratio Indonesia belum optimal mendukung pembangunan berkelanjutan (SDGs) yang mensyaratkan tax ratio 16%.

“Pilar utamanya adalah pembangunan sistem IT dan basis data yang didukung proses bisnis yang efisien untuk meningkatkan kepatuhan pajak masyarakat,” ujarnya menjelaskan langkah pemerintah untuk meningkatkan tax ratio.

  • Penyebab Rendahnya Tax Ratio

Partner DDTC Fiscal Research B. Bawono Kristiaji mengatakan rendahnya tax ratio di Indonesia pada dasarnya bisa diakibatkan oleh beberapa hal.Pertama, upaya untuk meningkatkan penerimaan pajak dan pembenahan sistem kerap tidak optimal karena selalu adanya godaan penerimaan dari sumber daya alam yang notabene sangat fluktuatif dan tidak pasti.

Baca Juga:
Kanwil DJP Jakarta Pusat Realisasikan Target Penerimaan Pajak 2024

Kedua, tingginya angka shadow economy di Indonesia. Pasalnya, shadow economy di Indonesia mencapai 26,6% terhadap PDB. Ketiga, adanya perubahan situasi ekonomi yang belum mampu sepenuhnya diikuti oleh UU.

“Sebagai contoh, adanya model binis digital, sumber aliran penghasilan yang semakin bervariasi, skema penghindaran pajak yang semakin kompleks, dan sebagainya. Ini tentu memerlukan revisi UU,” jelasnya.

  • Data dan Informasi

Terkait dengan shadow economy, Bawono menilai kunci penting untuk meningkatkan kemampuan pemerintah dalam mengumpulkan dan mengolah informasi. Dalam konteks ini, perbaikan administrasi dibutuhkan. Menurutnya, Indonesia cukup tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lain dalam menguji kepatuhan wajib pajak melalui data pihak ketiga.

Baca Juga:
Jangan Bingung, Faktur Pajak Masih Boleh Pakai PPN 11% Hingga 31 Maret

“Kita juga harus menyadari bahwa baru selama 2 tahun belakangan ini otoritas pajak kita memiliki akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan maupun pertukaran informasi,” jelasnya.

  • Dukungan Pemerintah

Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan pemerintah memberikan dukungan yang besar dalam perkembangan industri otomotif lantaran bisa menyerap banyak tenaga kerja. Hal itu mengakibatkan tingginya daya beli masyarakat.

“Pemerintah mendukung bagaimana upaya ini berkembang. Baik dari segi regulasi, industri pendukung baja dan sebagainya, pelat baja sudah diproduksi dalam negeri,” katanya. (kaw)


Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Kamis, 09 Januari 2025 | 18:30 WIB LAPORAN WORLD BANK

World Bank Kritik Pajak RI, Luhut: Kita Disamakan dengan Nigeria

Kamis, 09 Januari 2025 | 15:00 WIB KINERJA MONETER

Efek Pajak hingga Utang, Cadangan Devisa Naik Jadi US$155,7 Miliar

Kamis, 09 Januari 2025 | 10:00 WIB KANWIL DJP JAKARTA PUSAT

Kanwil DJP Jakarta Pusat Realisasikan Target Penerimaan Pajak 2024

Kamis, 09 Januari 2025 | 08:30 WIB BERITA PAJAK HARI INI

Jangan Bingung, Faktur Pajak Masih Boleh Pakai PPN 11% Hingga 31 Maret

BERITA PILIHAN
Kamis, 09 Januari 2025 | 19:30 WIB PROVINSI JAWA BARAT

Ada Opsen, Pemprov Jawa Barat Beri Keringanan Pajak Kendaraan

Kamis, 09 Januari 2025 | 19:05 WIB PMK 124/2024

PMK Baru, Susunan Organisasi Ditjen Pajak (DJP) Berubah Jadi Begini

Kamis, 09 Januari 2025 | 19:00 WIB CORETAX SYSTEM

PIC Coretax Tak Bisa Impersonate ke Akun WP Badan? Coba Langkah Ini

Kamis, 09 Januari 2025 | 18:45 WIB LAYANAN KEPABEANAN DAN CUKAI

Bea Cukai Ungkap 3 Cara Agar Terhindar dari Penipuan Berkedok Petugas

Kamis, 09 Januari 2025 | 18:30 WIB LAPORAN WORLD BANK

World Bank Kritik Pajak RI, Luhut: Kita Disamakan dengan Nigeria

Kamis, 09 Januari 2025 | 18:15 WIB TIPS PAJAK

Cara Ajukan Kode Otorisasi DJP Via Coretax

Kamis, 09 Januari 2025 | 18:00 WIB BEA CUKAI TELUK BAYUR

Sisir Pasar-Pasar, Bea Cukai Sita 35.000 Rokok Ilegal Tanpa Pita Cukai

Kamis, 09 Januari 2025 | 17:04 WIB PMK 124/2024

Peraturan Baru, Competent Authority di Bidang Perpajakan Berubah

Kamis, 09 Januari 2025 | 17:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Upaya Perluasan Basis Pajak Terhambat oleh Keterbatasan Data