Ilustrasi. Gedung DJP.
JAKARTA, DDTCNews – Hingga saat ini, pengenaan sanksi administrasi pajak masih belum menggunakan skema baru dengan patokan suku bunga acuan. Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Jumat (13/11/2020).
Implementasi skema baru sanksi administrasi pajak yang diatur dalam UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) sebagaimana diubah dengan UU Cipta Kerja akan menunggu aturan turunannya, baik peraturan pemerintah (PP) maupun peraturan menteri keuangan (PMK).
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak (DJP) Hestu Yoga Saksama mengatakan tidak hanya sanksi administrasi, implementasi perubahan seluruh ketentuan pada klaster perpajakan UU Cipta Kerja masih akan menunggu terbitnya aturan turunan.
"[Untuk implementasi] kami menunggu PP-nya," katanya Hestu.
Selain implementasi pengenaan sanksi administrasi, ada pula bahasan mengenai temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas pembayaran angsuran PPh Pasal 25 lebih awal. Angsuran untuk 2020 dihitung sebagai bagian dari penerimaan 2019. Kemudian, ada bahasan tentang pemanfaatan insentif.
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Hestu Yoga Saksama mengatakan perubahan skema sanksi administrasi pajak tidak serta merta langsung diimplementasikan saat UU 11/2020 diundangkan. Pemerintah, sambungnya, akan tetap mengeluarkan panduan masa transisi.
“Nanti akan diatur untuk masa transisinya," ungkapnya.
Sebagai informasi, pemerintah mengubah skema pengenaan sanksi administrasi pajak melalui UU Cipta Kerja. Skema sanksi administrasi dalam perubahan UU KUP pada UU Cipta Kerja menggunakan acuan suku bunga yang berlaku ditambah dengan persentase tertentu.
Terkait dengan detail perubahan UU KUP, UU Pajak Penghasilan (PPh), dan UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang masuk dalam klaster perpajakan UU Cipta Kerja dapat dilihat pada artikel ‘UU Cipta Kerja Terbit, Download Perubahan 3 UU Pajak di Sini’. (DDTCNews)
Pada 20 Kanwil DJP yang diperiksa oleh BPK, pembayaran PPh Pasal 25 tercatat naik dari Rp4,61 triliun pada November 2019 menjadi Rp14,01 triliun pada Desember 2019. Peningkatan nilai pada Desember 2019, sesuai dengan hasil pemeriksaan, disebabkan adanya pembayaran angsuran PPh Pasal 25 lebih dari sekali.
Pengujian atas pembayaran PPh Pasal 25 Januari dan Februari 2020 berdasarkan data Modul Penerimaan Negara (MPN) menunjukkan wajib pajak yang sudah membayar 2 kali pada Desember 2019 tidak tidak lagi membayar angsuran PPh Pasal 25 pada Januari 2020.
"Hal tersebut mengindikasikan adanya percepatan pembayaran PPh Pasal 25 yang berdampak pada total penerimaan pajak tahun 2019," tulis BPK dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Sistem Pengendalian Intern (SPI) Kementerian Keuangan Tahun 2019.
Ketika dikonfirmasi oleh BPK, DJP menjelaskan pembayaran angsuran PPh Pasal 25 masa pajak Desember 2019 yang dibayarkan pada bulan tersebut terdiri pembayaran PPh Pasal 25 di awal senilai Rp2,22 triliun dan pembayaran karena dinamisasi dan kesukarelaan wajib pajak senilai Rp6,18 triliun.
BPK menilai secara administrasi, pembayaran angsuran PPh Pasal 25 lebih awal dari jatuh tempo tidak melanggar ketentuan. Hanya saja, DJP seharusnya memberikan perlakuan yang berbeda antara penerimaan pajak tahun pajak 2019 dan penerimaan pajak tahun pajak 2020. Simak artikel ‘Pembayaran Angsuran PPh Pasal 25 Lebih Awal Jadi Temuan BPK’. (DDTCNews)
Realisasi pemanfaatan insentif pajak hingga awal November 2020 senilai Rp38,13 triliun atau 31,6% dari pagu senilai Rp120,6 triliun. Insentif pajak dimanfaatkan sebanyak 211.476 wajib pajak di luar dari wajib pajak UMKM. Simak pula artikel ‘Lihat Risiko Shortfall Pajak, Sri Mulyani Otak-Atik Lagi Pagu Insentif’.
Ada 4 sektor yang mendominasi pemanfaatan insentif pajak. Pada sektor perdagangan ada 99.007 perusahaan atau 46,82%. Kemudian, pada industri pengolahan atau manufaktur sebanyak 40.905 perusahaan atau 19,34%. Selanjutnya, usaha konstruksi dan real estat sebanyak 14.653 perusahaan atau 6,93% dan asa perusahaan sebanyak 13.454 perusahaan atau 6,34%. (DDTCNews/Kontan/Bisnis Indonesia)
Pemerintah menetapkan dua jenis penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang dikenakan terhadap akuntan profesional asing melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 62/2020.
Dalam PP 62/2020 disebutkan, Menteri Keuangan memiliki tugas untuk merumuskan kebijakan sektor keuangan sebagai regulator profesi keuangan. Untuk itu, perlu dilakukan perubahan pada jenis dan tarif atas jenis PNBP yang berlaku pada Kementerian Keuangan.
Pada lampiran PP 62/2020 disebutkan, biaya perizinan untuk register akuntan profesional asing senilai Rp9 juta per orang. Izin tersebut berlaku selama 3 tahun. Selanjutnya, biaya perpanjangan atas register akuntan profesional asing senilai Rp8,5 juta per orang. Perpanjangan register tersebut juga berlaku selama 3 tahun. (DDTCNews)
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pemerintah pusat dan daerah akan mengejar realisasi belanja pada APBN dan APBD hingga akhir tahun. Menurutnya, penyerapan anggaran yang maksimal juga akan mempercepat pemulihan ekonomi nasional dari tekanan Covid-19.
"APBN dan APBD pada kuartal IV ini ada lebih dari Rp1.200 triliun sendiri. Tergantung penyerapan dan penggunaannya karena dengan dana tersebut pemulihan bisa terjaga," katanya. (DDTCNews/Bisnis Indonesia) (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.