Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (KUPDRD) memuat kewajiban pembukuan bagi wajib pajak. Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Kamis (10/11/2022).
Sesuai dengan Pasal 68 RPP KUPDRD, bagi wajib pajak yang melakukan usaha dengan omzet paling sedikit Rp4,8 miliar per tahun wajib menyelenggarakan pembukuan. Jika omzet usaha kurang dari Rp4,8 miliar per tahun, wajib pajak dapat memilih menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan.
“Wajib pajak wajib melakukan pembukuan atau pencatatan secara elektronik dan/atau nonelektronik,” bunyi penggalan Pasal 68 ayat (1) RPP KUPDRD.
Pembukuan atau pencatatan, sesuai dengan Pasal 68 ayat (2), harus diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik. Pembukuan atau pencatatan juga harus mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.
Seperti diketahui, dalam ketentuan saat ini sesuai dengan PP 55/2016, wajib pajak sudah harus menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan bila memiliki omzet minimal Rp300 juta per tahun. Tidak terdapat keharusan pembukuan bagi wajib pajak dengan omzet tertentu.
Sebagai informasi kembali, hingga 22 November 2022, pemerintah masih membuka konsultasi publik atas RPP KUPDRD. Simak ‘Tindak Lanjut UU HKPD, DJPK Mulai Konsultasi Publik RPP Pajak Daerah’.
Selain mengenai ketentuan pembukuan dan pencatatan yang ada dalam RPP KUPDRD, ada pula bahasan terkait dengan peningkatan intensitas panggilan keluar yang dilakukan contact center Ditjen Pajak (DJP), Kring Pajak 1500200, pada 2021.
Berdasarkan pada Pasal 68 RPP KUPDRD, pembukuan dilakukan dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pembukuan. Kemudian, pencatatan paling sedikit memuat data peredaran usaha atau data penjualan beserta bukti pendukungnya agar dapat digunakan untuk menghitung besaran pajak yang terutang.
Adapun buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan wajib disimpan selama 5 tahun di Indonesia di tempat kegiatan atau tempat tinggal wajib pajak orang pribadi, atau di tempat kedudukan wajib pajak badan. (DDTCNews)
Sesuai dengan Pasal 100 ayat (1) RPP KUPDRD, gubernur/bupati/wali kota dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di daerahnya. Insentif fiskal itu berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan atau penghapusan atas pokok pajak, pokok retribusi, dan/atau sanksinya.
Insentif fiskal tersebut dapat diberikan atas permohonan wajib pajak dan/atau wajib retribusi atau diberikan secara jabatan oleh kepala daerah berdasarkan beberapa pertimbangan, antara lain:
Pemberian insentif fiskal merupakan kewenangan kepala daerah sesuai dengan kebijakan daerah dalam pengelolaan keuangan daerah. Pemberian insentif fiskal terkait dengan pertimbangan kemampuan bayar dan kondisi tertentu objek pajak juga dilakukan dengan memperhatikan beberapa faktor sebagai berikut:
Berdasarkan pada data yang disampaikan dalam Laporan Tahunan DJP 2021, outbound call Kring Pajak pada tahun lalu tercatat sebanyak 1,22 juta panggilan keluar. Jumlah ini naik 1.300% dibandingkan dengan outbound call tahun sebelumnya hanya sebanyak 87.265 panggilan keluar.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Neilmaldrin Noor mengatakan jumlah outbound call dapat berubah tiap tahun, baik naik ataupun turun. Menurutnya, outbound call tersebut dijalankan sesuai dengan kebutuhan DJP.
Kring Pajak selalu mendapatkan data wajib pajak yang perlu dihubungi melalui layanan outbound call. Misal, wajib pajak yang belum melaporkan SPT untuk campaign non-filer, dan/atau data wajib pajak yang belum membayar kewajibannya untuk campaign billing and collection support.
Dia menjelaskan data wajib pajak tersebut berasal dari direktorat teknis terkait atau unit vertikal. Data inilah yang kemudian akan dihubungi oleh Kring Pajak untuk tiap-tiap campaign. Simak pula ‘Wah! DJP Bisa Lebih Gencar Telepon Wajib Pajak, Ternyata Ini Alasannya’. (DDTCNews)
Kementerian Keuangan menetapkan peraturan baru terkait dengan mekanisme pembayaran penerimaan negara bukan pajak (PNBP) atas pelayanan keimigrasian berupa visa.
Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) PMK 157/2022, pembayaran PNBP layanan visa di Kemenkumham dapat dilakukan dari luar negeri. Untuk menerima pembayaran dari luar negeri, menteri hukum dan HAM perlu menunjuk mitra instansi pengelola.
"Menteri hukum dan HAM selaku pimpinan instansi pengelola PNBP dapat menunjuk dan menugaskan mitra instansi pengelola," bunyi Pasal 2 ayat (1) PMK 157/2022. (DDTCNews)
Pemerintah telah mengumumkan rencana kenaikan rata-rata tertimbang tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau rokok sebesar 10% pada 2023 dan 2024.
Kepala Subdirektorat Humas dan Penyuluhan DJBC Hatta Wardhana mengatakan pemerintah mengenakan cukai untuk membatasi konsumsi barang-barang yang berdampak buruk. Pemanfaatan penerimaan CHT salah satunya juga dituangkan dalam dana bagi hasil (DBH) yang dibagikan kepada provinsi penghasil cukai dan/atau tembakau.
"Alokasi DBH CHT dibagi menjadi 3 aspek utama masing-masing dengan persentase 50% untuk bidang kesejahteraan, 10% untuk bidang penegakan hukum, dan 40% untuk bidang kesehatan," katanya. (DDTCNews) (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.