PEREKONOMIAN GLOBAL

Soal Kebijakan Lintas Batas, Bos IMF Soroti Perdagangan & Pajak

Redaksi DDTCNews | Senin, 08 April 2019 | 16:24 WIB
Soal Kebijakan Lintas Batas, Bos IMF Soroti Perdagangan & Pajak

Managing Director IMF Christine Lagarde saat berbicara di hadapan Kamar Dagang Amerika Serikat, Selasa (2/4/2019).

JAKARTA, DDTCNews – Kebijakan lintas batas menjadi satu dari tiga bidang tindakan yang harus dikoordinasikan untuk menghadapi makin tidak menentunya cuaca perekonomian global. Perbaikan sistem pajak perusahaan internasional menjadi salah satu bagian di dalamnya.

Kebijakan lintas batas (cross-border) ditujukan untuk menciptakan keseteraan (level playing field). Dalam konteks ini, Managing Director International Monetary Fund (IMF) Christine Lagarde menyoroti dua aspek yakni perdagangan dan perpajakan.

Dari sisi perdagangan, dia menjelaskan dalam beberapa dekade terakhir, integrasi perdagangan telah membantu meningkatkan kesejahteraan, mengurangi kemiskinan, menyebarkan teknologi baru, dan meningkatkan produktivitas. Ini telah mengurangi biaya hidup dan menciptakan jutaan pekerjaan baru dengan upah lebih tinggi.

Baca Juga:
Tumbuhkan Ekonomi 8 Persen, RI Butuh Investasi Rp13.000 Triliun

“Pada saat yang sama, kita tahu bahwa tidak semua orang mendapat manfaat. Ada distorsi dalam sistem perdagangan dan itu perlu direformasi,” ujarnya saat berbicara di depan Kamar Dagang Amerika Serikat pekan lalu, seperti dikutip dari laman resmi IMF, Senin (8/4/2019).

Dia menegaskan hambatan perdagangan (trade barriers) bukanlah jawaban. Banyak penelitian baru IMF yang akan dirilis dalam waktu dekat menunjukkan pentingnya untuk menghindari salah langkah kebijakan dalam bidang tersebut.

Berbekal dengan analisis pengalaman dari 180 negara selama enam dekade terakhir, sambung Lagarde, IMF telah menemukan integrasi perdagangan berimplikasi pada peningkatan investasi. Namun, sebaliknya, hambatan perdagangan akan merusak investasi dan lapangan kerja.

Baca Juga:
Prabowo Akui Ekonomi Indonesia Belum Tumbuh Secara Merata

Menurutnya, temuan ini sangat relevan dengan kondisi yang terjadi saat ini, perang dagang akan semakin merusak investasi yang memang sudah melemah. Dengan demikian, Lagarde meminta seluruh pemangku kepentingan lebih berhati-hati dalam situasi perekonomian global yang sulit.

IMF, sambungnya, melihat kenaikan 25 poin persentase tarif semua barang yang diperdagangkan antara Amerika Serikat (AS) dan China akan mengurangi produk domestik bruto (PDB) hingga 0,6% bagi AS dan 1,5% bagi China. Ini merupakan potensi luka yang harus dihindari.

Distorsi perdagangan yang dikaitkan dengan konsep defisit atau surplus perdagangan bilateral serta tarif tidaklah tepat. Secara historis, lanjut dia, neraca perdagangan bilateral sebagian besar didorong oleh faktor ekonomi makro, bukan tarif bilateral. Dengan demikian, cara paling efektif menekan defisit adalah menghindari tarif karena dengan tarif hanya akan mengalihkan aliran perdagangan ke negara lain.

Baca Juga:
Tingkatkan Peran KEK, Airlangga: RI Perlu Contoh China dan Vietnam

“Tidak ada yang memenangkan perang dagang. … Itulah sebabnya kita perlu bekerja sama untuk mengurangi hambatan perdagangan dan memodernisasi sistem perdagangan global sehingga kita semua menang,” jelas Lagarde.

Pengurangan hambatan dan modernisasi sistem sama artinya dengan mengatasi masalah seperti subsidi negara, kekayaan intelektual, dan privasi data. Dengan demikian, perlu ada kesepakatan baru untuk membuka potensi penuh dari layanan yang diperdagangan dan perdagangan digital. Langkah ini harus didukung dengan kerangka kerja berbasis aturan untuk memastikan level playing field.

Ketika bergerak maju, sambung Lagarde, setiap negara perlu tindakan kolektif untuk memodernisasi fungsi-fungsi utama World Trade Organization (WTO) dari negosiasi ke transparansi, hingga penyelesaian sengketa. Hal ini dinilai akan menciptakan sistem yang lebih kuat dan lebih fleksibel.

Baca Juga:
OECD Perkirakan Ekonomi Indonesia hingga 2026 Hanya Tumbuh 5 Persen

Hal ini berkaitan dengan perpajakan lintas batas. Seperti yang diungkapkan sebelumnya, sistem pajak perusahaan internasional yang ada saat ini pada dasarnya ketinggalan zaman. Langkah-langkah unilateral dari setiap negara juga dinilai kontraproduktif. Dunia, lanjut dia, membutuhkan upaya lintas batas.

“Mereformasi perpajakan perusahaan internasional merupakan tantangan bagi semua negara. Namun, negara-negara berkembang bergantung terutama pada pendapatan pajak perusahaan untuk mendanai investasi penting pada orang dan infrastruktur,” jelas Lagarde.

Dari analisis IMF, negara-negara non-OECD kehilangan sekitar US$200 miliar per tahun karena perusahaan dapat mengalihkan keuntungan ke yurisdiksi dengan pajak yang lebih rendah. Pendapatan yang hilang ini mempersulit negara untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja.

Sejatinya, upaya untuk memodernisasi sistem pajak perusahaan internasional sedang berlangsung. Namun, tegas dia, ada banyak lagi yang harus dilakukan. IMF telah mengemukakan beberapa opsi tentang bagaimana bekerja bersama untuk membuat sistem lebih adil dan cocok untuk masa depan. (kaw)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Sabtu, 21 Desember 2024 | 13:00 WIB KEBIJAKAN INVESTASI

Tumbuhkan Ekonomi 8 Persen, RI Butuh Investasi Rp13.000 Triliun

Kamis, 19 Desember 2024 | 13:47 WIB PEREKONOMIAN INDONESIA

Prabowo Akui Ekonomi Indonesia Belum Tumbuh Secara Merata

Selasa, 10 Desember 2024 | 16:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Tingkatkan Peran KEK, Airlangga: RI Perlu Contoh China dan Vietnam

Rabu, 04 Desember 2024 | 18:00 WIB KEBIJAKAN EKONOMI

OECD Perkirakan Ekonomi Indonesia hingga 2026 Hanya Tumbuh 5 Persen

BERITA PILIHAN
Kamis, 26 Desember 2024 | 14:30 WIB KPP PRATAMA BENGKULU SATU

Mobil Rp200 Juta Disita KPP, Bakal Dilelang Kalau Utang Tak Dilunasi

Kamis, 26 Desember 2024 | 14:00 WIB KILAS BALIK 2024

Februari 2024: Wajib Pajak Bereaksi karena Potongan PPh 21 Lebih Besar

Kamis, 26 Desember 2024 | 13:30 WIB CORETAX SYSTEM

Jelang Coretax Diterapkan, PKP Bakal Perlu Bikin Sertel Baru

Kamis, 26 Desember 2024 | 13:00 WIB PROVINSI JAWA TIMUR

Opsen Berlaku 2025, Pemprov Turunkan Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan

Kamis, 26 Desember 2024 | 12:30 WIB ADMINISTRASI PAJAK

PKP Risiko Rendah Diterbitkan SKPKB, Kena Sanksi Kenaikan atau Bunga?

Kamis, 26 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK DAERAH

9 Jenis Pajak Daerah Terbaru yang Ditetapkan Pemkot Sibolga

Kamis, 26 Desember 2024 | 10:30 WIB KILAS BALIK 2024

Januari 2024: Ketentuan Tarif Efektif PPh Pasal 21 Mulai Berlaku

Kamis, 26 Desember 2024 | 10:00 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Kredit Investasi Padat Karya Diluncurkan, Plafonnya Capai Rp10 Miliar

Kamis, 26 Desember 2024 | 09:30 WIB PENGAWASAN BEA CUKAI

Libur Natal dan Tahun Baru, Bea Cukai Perketat Pengawasan di Perairan

Kamis, 26 Desember 2024 | 09:00 WIB CORETAX SYSTEM

Fitur Coretax yang Tersedia selama Praimplementasi Terbatas, Apa Saja?