Tampilan dokumen PMK 196/2021 tentang PPS.
JAKARTA, DDTCNews - Kementerian Keuangan resmi memerinci ketentuan mengenai kebijakan I program pengungkapan sukarela (PPS) yang lebih dulu diatur dalam UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 196/2021, Kementerian Keuangan memerinci ketentuan mengenai nilai harta yang menggunakan satuan mata uang selain rupiah.
Atas aset yang diungkapkan melalui kebijakan I PPS, nilai harta berdenominasi asing harus dikonversikan ke dalam mata uang rupiah dengan menggunakan kurs yang ditetapkan oleh menteri keuangan sesuai dengan tanggal pada akhir tahun pajak berakhir.
"Ketentuan penggunaan kurs yang ditetapkan oleh menteri untuk keperluan penghitungan pajak sesuai dengan tanggal pada akhir tahun pajak terakhir ... berlaku juga untuk menghitung nilai utang dalam hal nilai utang ... menggunakan satuan mata uang selain rupiah," bunyi Pasal 3 ayat (7) PMK 196/2021, dikutip Senin (27/12/2021).
Untuk wajib pajak dengan akhir tahun pajak pada tanggal 31 Desember 2015, kurs menteri keuangan yang digunakan adalah kurs yang terdapat pada Keputusan Menteri Nomor 61/KM.10/2015.
Untuk wajib pajak dengan akhir tahun pajak pada 1 Januari 2015 hingga 30 Desember 2015, kurs yang digunakan adalah kurs yang ditetapkan oleh menteri keuangan sesuai dengan akhir tahun buku wajib pajak yang bersangkutan.
Untuk harta berupa kas atau setara kas, nilai harta yang menjadi pedoman untuk menghitung harta bersih adalah nilai nominal. Bila aset yang dimaksud berupa tanah, nilai yang dijadikan pedoman adalah NJOP. Bila aset yang diungkapkan berupa kendaraan bermotor, maka nilai yang dijadikan pedoman adalah NJKB.
Selanjutnya, nilai yang dijadikan pedoman atas harta berupa emas dan perak adalah nilai yang dipublikasikan oleh Antam. Untuk aset berupa saham dan waran yang diperjualbelikan di bursa efek, maka nilai yang dijadikan pedoman adalah nilai yang dipublikasikan oleh BEI.
Untuk aset berupa SBN dan efek bersifat utang yang diterbitkan oleh perusahaan, nilai yang dijadikan pedoman untuk menghitung jumlah harta bersih adalah nilai dipublikasikan oleh PHEI.
Nilai harta yang dijadikan pedoman untuk menghitung harta bersih harus sesuai dengan kondisi harta pada akhir tahun pajak terakhir. Tahun pajak terakhir adalah tahun pajak yang berakhir pada jangka waktu 1 Januari 2015 hingga 31 Desember 2015.
Sebagaimana diatur pada UU HPP, wajib pajak dapat mengungkapkan harta bersih yang belum diungkapkan dalam surat pernyataan ketika tax amnesty sepanjang Ditjen Pajak (DJP) belum menemukan data dan informasi atas harta yang dimaksud.
"Harta bersih ... merupakan nilai harta dikurangi nilai utang sebagaimana dimaksud dalam UU Pengampunan Pajak," bunyi Pasal 2 ayat (3) PMK 196/2021.
Atas harta bersih yang berada di Indonesia atau harta yang berada di luar negeri yang direpatriasi dan diinvestasikan pada SBN, sektor hilirisasi SDA, dan energi terbarukan, PPh final yang dikenakan atas harta bersih adalah sebesar 6%.
Tarif PPh final sebesar 8% dikenakan atas harta bersih yang berada di Indonesia atau harta dari luar negeri yang direpatriasi tapi tidak diinvestasikan pada instrumen-instrumen di atas. Adapun tarif PPh final sebesar 11% dikenakan atas harta bersih yang berada di luar negeri dan tidak direpatriasi ke Indonesia.
"Dasar pengenaan pajak ... yakni sebesar jumlah harta bersih yang belum atau kurang diungkapkan dalam surat pernyataan," bunyi Pasal 3 ayat (3) PMK 196/2021. (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.