BEA METERAI

Simak, Penjelasan DJP Soal UU Bea Meterai yang Baru

Redaksi DDTCNews | Senin, 05 Oktober 2020 | 11:16 WIB
Simak, Penjelasan DJP Soal UU Bea Meterai yang Baru

Ilustrasi. Gedung DJP. 

JAKARTA, DDTCNews – DPR telah mengesahkan RUU Bea Meterai menjadi UU Bea Meterai dalam rapat paripurna pada pekan lalu, tepatnya pada Selasa (29/9/2020). Apa saja pokok-pokok dalam UU pengganti UU No. 13 Tahun 1985 tersebut?

Dalam laman resminya, Ditjen Pajak (DJP) menyuguhkan tajuk pajak berjudul UU Bea Meterai, Refleksi Keberpihakan kepada UMKM. DJP mengatakan UU Bea Meterai yang baru akan menggantikan UU yang berlaku sejak 1 Januari 1986 dan belum pernah berubah selama 35 tahun.

“Tentunya selama lebih dari tiga dekade terakhir itu, situasi dan kondisi yang ada dan terjadi di masyarakat telah banyak mengalami perubahan, baik di bidang ekonomi, hukum, sosial, dan teknologi informasi,” tulis DJP, dikutip pada Senin (5/10/2020).

Baca Juga:
Pakai Faktur Pajak Fiktif, Dirut Perusahaan Akhirnya Ditahan Kejari

Sebagian besar pengaturan bea meterai yang ada, sambung DJP, sudah tidak dapat menjawab tantangan kebutuhan peningkatan penerimaan negara. Oleh karena itu, penggantian UU Bea Meterai perlu dilakukan dengan tetap berpegang pada asas kesederhanaan, efisiensi, keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan.

Selain itu, tujuan penerapan UU Bea Meterai yang baru antara lain pertama, mengoptimalkan penerimaan negara guna membiayai pembangunan nasional secara mandiri menuju masyarakat Indonesia yang sejahtera.

Kedua, memberikan kepastian hukum dalam pemungutan bea meterai. Ketiga, menerapkan pengenaan bea meterai secara lebih adil. Keempat, menyelaraskan ketentuan bea meterai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Baca Juga:
Urus Pemeriksaan Bukper: Coretax Bakal Hadirkan 4 Fitur Baru

UU Bea Meterai yang baru ini, lanjut DJP, terdiri dari 12 Bab dan 32 Pasal. Secara garis besar UU Bea Meterai yang baru ini memuat pengaturan sebagai berikut:

Perluasan Objek Bea Meterai
Perluasan objek bea meterai terletak pada perluasan definisi dokumen yang menjadi objek bea meterai. Objek bea meterai tidak hanya mencakup dokumen dalam bentuk kertas, tetapi juga termasuk dokumen dalam bentuk elektronik.

DJP mengatakan perubahan ini dimaksudkan untuk memberikan kesetaraan fungsi (level playing field) antara dokumen elektronik dan dokumen kertas sehingga asas keadilan dalam pengenaan bea meterai dapat ditegakkan secara proporsional.

Baca Juga:
Hapus NPWP yang Meninggal Dunia, Hanya Bisa Disampaikan Tertulis

Penyesuaian Tarif
Perubahan mendasar mengenai tarif, menyangkut penyesuaian besaran tarif bea meterai menjadi satu lapis tarif tetap yaitu senilai Rp10.000. Sebelumnya, ada dua lapis tarif bea meterai yakni Rp3.000 dan Rp6.000.

Penyesuaian tarif tersebut, sambung DJP, dilakukan dengan tetap mempertimbangkan pendapatan per kapita, daya beli masyarakat, dan kebutuhan penerimaan negara. Pasalnya, peningkatan kapasitas untuk mengumpulkan pajak semestinya berbanding lurus dengan pendapatan per kapita (kapasitas untuk membayar pajak).

“Oleh karena itu, penyesuaian besaran tarif dimaksud masih dalam rentang yang wajar dalam kerangka peningkatan penerimaan bea meterai tanpa memberatkan dan membebani masyarakat,” imbuh DJP.

Baca Juga:
Usai Setor PPh Final PHTB, WP Jangan Lupa Ajukan Penelitian Formal

Dalam UU Bea Meterai yang juga dimungkinkan adanya pengaturan mengenai pengenaan tarif tetap yang berbeda dari Rp10.000 khusus dokumen yang dibuat atau digunakan untuk melaksanakan program pemerintah dan mendukung pelaksanaan kebijakan moneter dan/atau sektor keuangan.

Batas Nilai Nominal Dokumen yang Dikenai Bea Meterai
Batas nilai nominal dokumen yang memuat jumlah uang yang dikenai bea meterai dilakukan penyesuaian dari yang semula Rp250.000 menjadi Rp5 juta. Dengan demikian, terdapat dokumen yang semula dikenai bea meterai – yang memuat jumlah uang dengan nilai di atas Rp250.000—Rp5 juta menjadi tidak dikenai bea meterai.

Pengaturan ini merefleksikan adanya keberpihakan pemerintah kepada masyarakat, khususnya sektor usaha mikro, kecil, dan menengah,” kata DJP.

Baca Juga:
Coretax DJP Bakal Batasi Pelaporan SPT Tahunan Berbentuk Kertas

Berdasarkan pertimbangan kondisi perekonomian nasional dan tingkat pendapatan masyarakat, lanjut DJP, UU Bea Meterai juga memberi ruang untuk menaikkan atau menurunkan besarnya batas nilai nominal dokumen yang memuat jumlah uang yang dikenai bea meterai dan besarnya tarif tetap bea meterai.

Penggunaan Meterai Elektronik dan Meterai Bentuk Lain Selain Meterai Tempel
DJP mengatakan pengembangan teknologi pembayaran bea meterai merupakan langkah konkret yang harus dilakukan sebagai tindak lanjut dari pengenaan bea meterai atas dokumen elektronik. Dengan demikian, pembayaran bea meterai dapat dilakukan secara lebih sederhana dan efektif.

Pemberian Fasilitas
Pemberian fasilitas dapat diberikan berupa pembebasan dari pengenaan bea meterai atas dokumen tertentu yang diperlukan untuk kegiatan penanganan bencana alam, kegiatan yang bersifat keagamaan dan sosial, serta program pemerintah dan pelaksanaan perjanjian internasional.

Baca Juga:
Langganan Platform Streaming Musik, Kena PPN atau Pajak Hiburan?

Pengaturan Mengenai Sanksi
Untuk penegakan hukum, lanjut DJP, UU Bea Meterai yang baru telah memasukkan norma dan sanksi baik sanksi administratif maupun sanksi pidana. Ini bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan terhadap pemenuhan kewajiban pembayaran bea meterai.

“Dan meminimalkan serta mencegah terjadinya tindak pidana pembuatan, pengedaran, penjualan, dan pemakaian meterai palsu atau meterai bekas pakai,” tegas DJP.

UU Bea Meterai yang baru berlaku mulai 1 Januari 2021. Dengan demikian, lanjut DJP, terdapat cukup waktu untuk menyosialisasikan dan mengedukasi masyarakat serta mempersiapkan sarana dan prasarana pendukung yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan tersebut.

Dalam aturan peralihan UU Bea Meterai ini juga terdapat ketentuan meterai tempel desain tahun 2014 masih dapat digunakan sampai dengan 31 Desember 2021. Simak artikel ‘Ada Masa Transisi, Meterai Lama Masih Bisa Digunakan dengan Syarat Ini’. (kaw)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:30 WIB KANWIL DJP JAWA TIMUR II

Pakai Faktur Pajak Fiktif, Dirut Perusahaan Akhirnya Ditahan Kejari

Senin, 21 Oktober 2024 | 14:32 WIB CORETAX SYSTEM

Urus Pemeriksaan Bukper: Coretax Bakal Hadirkan 4 Fitur Baru

Minggu, 20 Oktober 2024 | 10:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Hapus NPWP yang Meninggal Dunia, Hanya Bisa Disampaikan Tertulis

Minggu, 20 Oktober 2024 | 08:00 WIB CORETAX SYSTEM

Gencar Edukasi, DJP Harap Pegawai Pajak dan WP Terbiasa dengan Coretax

BERITA PILIHAN
Selasa, 22 Oktober 2024 | 21:45 WIB LEMBAGA LEGISLATIF

Sah! Misbakhun Terpilih Jadi Ketua Komisi XI DPR 2024-2029

Selasa, 22 Oktober 2024 | 21:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

PPN Mestinya Naik Tahun Depan, Gerindra akan Bahas Bareng Kemenkeu

Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:30 WIB KPP PRATAMA JAMBI TELANAIPURA

WP Gagal Daftar LPSE karena KSWP Tidak Valid, Gara-Gara Tak Lapor SPT

Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:06 WIB LEMBAGA LEGISLATIF

DPR Tetapkan Daftar Mitra Kerja untuk Komisi XII dan Komisi XIII

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:41 WIB IHPS I/2024

BPK Selamatkan Keuangan Negara Rp13,66 Triliun pada Semester I/2024

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:30 WIB KANWIL DJP JAWA TIMUR II

Pakai Faktur Pajak Fiktif, Dirut Perusahaan Akhirnya Ditahan Kejari

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:00 WIB TIPS PAJAK DAERAH

Cara Daftarkan Objek Pajak Alat Berat di DKI Jakarta secara Online

Selasa, 22 Oktober 2024 | 15:30 WIB AUSTRALIA

Bikin Orang Enggan Beli Rumah, Australia Bakal Hapus BPHTB

Selasa, 22 Oktober 2024 | 14:00 WIB KP2KP SIDRAP

Ubah Kata Sandi Akun Coretax, Fiskus: Tak Perlu Cantumkan EFIN