CRYPTOCURRENCY terus berkembang di tengah masih sangat terbatasnya regulasi yang mengaturnya. Pada saat bersamaan, aspek perpajakan cryptocurrency masih menjadi topik perdebatan karena belum ada definisi pasti sebagai mata uang atau peristiwa kena pajak.
Anshu Khanna dalam publikasinya berjudul Taxing Cryptocurrency: A Review and a Call for Consensus mengulas pentingnya semua yurisdiksi membuat regulasi yang efektif mengenai mata uang virtual tersebut. Pengaturan yang dibutuhkan itu tidak terkecuali dari sisi pemajakannya.
Dunia mengenal cryptocurrency sebagai uang digital yang menggunakan teknik enkripsi untuk menghasilkan unit mata uang dan memverifikasi transfer dananya. Cryptocurrency juga tidak membutuhkan bantuan bank sentral dalam transaksi seperti lazimnya mata uang fiat.
Cryptocurrency kerap dianggap sebagai sebagai 'sarang' spekulasi keuangan lantaran nilainya yang sangat fluktuatif. Pada Januari 2021, valuasinya sangat tinggi, yakni senilai US$32.000 atau sekitar Rp464 juta. Padahal, pada Mei 2011, valuasinya hanya US$1 atau Rp14.500.
Bitcoin menjadi cryptocurrency yang pertama. Namun, kini ada sekitar 5.000 mata uang virtual di dunia, termasuk Litecoin, Ethereum, dan Ripple. Para ahli mengestimasi penggunaan cryptocurrency akan terus tumbuh sehingga regulasi, termasuk implikasi pajaknya, harus dipikirkan.
Ada persamaan dan perbedaan cara yurisdiksi di seluruh dunia memperlakukan cryptocurrency. Argentina, Australia, dan Thailand menganggap cryptocurrency sebagai mata uang digital, sedangkan Kanada, China, dan Taiwan menyebutnya sebagai komoditas virtual.
Sementara itu, Jerman menyebut cryptocurrency sebagai token kripto, sedangkan Swiss sebagai token pembayaran. Lain halnya dengan Italia dan Lebanon yang menganggap cryptocurrency sebagai mata uang virtual, Honduras dan Meksiko memperlakukannya sebagai aset virtual
Hingga saat ini, beberapa negara telah membuat regulasi tentang perlakuan pajak terhadap cryptocurrency. Otoritas pajak Amerika Serikat telah menerbitkan pemberitahuan yang mengharuskan wajib pajak mengakui keuntungan atau kerugian atas pertukaran cryptocurrency dengan uang tunai atau properti lainnya.
Keuntungan dan kerugian diakui setiap kali cryptocurrency dijual atau digunakan untuk membeli barang atau jasa. Besarnya keuntungan atau kerugian tersebut tergantung pada jenis transaksi yang dilakukan dan lamanya posisi dipegang (kepemilikan).
Di Jepang, bisnis pertukaran cryptocurrency diatur di bawah UU Layanan Pembayaran. Penjualannya semula dikenakan pajak konsumsi. Namun, ketentuan itu berubah sejak 2017.
Semua pendapatan cryptocurrency akan dikategorikan sebagai pendapatan lain-lain untuk tujuan pajak dan dapat dikenakan pajak hingga 55%. Pada wajib pajak luar negeri, akan dikenakan tarif pajak final 20% atas penghasilan yang harus dibayarkan saat meninggalkan Jepang.
Sementara di China, pemerintah tidak mengakui cryptocurrency sebagai alat pembayaran yang sah. Negara ini belum mengesahkan undang-undang apapun yang mengatur uang virtual tersebut.
Meski demikian, otoritas menyatakan pendapatan yang diperoleh wajib pajak orang pribadi dengan membeli mata uang virtual dan menjualnya kepada orang lain dengan mark-up akan dikenakan pajak penghasilan (PPh). Adapun PPh akan dihitung dan dibayarkan sesuai dengan aturan untuk pendapatan transfer properti.
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) merilis laporan tentang perpajakan cryptocurrency pada Oktober 2020. Laporan itu memberikan analisis komprehensif tentang pendekatan dan kesenjangan kebijakan yang melibatkan jenis utama pajak meliputi pendapatan, konsumsi, dan pajak properti.
Regulator selama ini merasa kesulitan mengembangkan kebijakan pajak yang kuat untuk cryptocurrency karena kurangnya kontrol terpusat, anonimitas semu, kesulitan penilaian, karakteristik hibrida, dan evolusi teknologi yang cepat. Tantangan itu dihadapi negara maju dan berkembang, termasuk Indonesia.
OECD juga menilai perlu ada pembahasan tentang mata uang virtual tersebut mengingat berbagai negara memperlakukan transaksinya dengan cara yang berbeda sehingga tingkat kepatuhan pajak menjadi rendah.
Secara umum, OECD mengklasifikasi cryptocurrency ke dalam tiga kategori utama berdasarkan pada fungsi ekonominya. Ketiganya adalah token pembayaran, token untuk mengakses layanan atau sistem infrastruktur tertentu, dan token keamanan yang dapat diperdagangkan. Laporan OECD kemudian berfokus pada cryptocurrency sebagai mata uang virtual atau token pembayaran.
Menurut OECD, terdapat tiga perlakuan pajak yang dapat dilakukan terhadap cryptocurrency yakni PPh, pajak properti, dan pajak pertambahan nilai (PPN). Regulator harus memastikan mereka menawarkan panduan spesifik dan jelas mencakup semua peristiwa siklus cryptocurrency, pembuatan, pertukaran, penyimpanan, pembuangan, kehilangan atau pencurian, serta layanan terkait seperti alat tukar.
Secara bersamaan, regulator juga harus mempertimbangkan masalah yang muncul seperti hard fork, mata uang digital bank sentral, dan token berbunga. Panduan ini harus menunjukkan bagaimana bentuk lain dari cryptocurrency karena diperlakukan untuk tujuan pajak.
Di sisi lain, OECD mendukung pengenalan aturan de minimis untuk menjaga transaksi cryptocurrency yang kecil tidak dikenakan pajak.
Hadirnya regulasi yang efektif dan terkoordinasi terasa makin mendesak seiring dengan terus berkembangnya cryptocurrency. Regulasi itu setidaknya harus memuat standar yang jelas untuk pajak dan pelaporan uang virtual tersebut.
Laporan OECD menjadi langkah awal yang memberikan kejelasan dan panduan untuk mengembangkan kebijakan yang lebih besar di tingkat regional atau global. Oleh karena itu, pembuat kebijakan di beberapa negara anggota kerangka inklusif perlu menindaklanjuti setiap saran dan rekomendasi pada laporan tersebut.
Secara internasional, panduan, aturan, dan regulasi tambahan juga dibutuhkan untuk mengatasi keberadaan mata uang virtual yang berubah dengan cepat. Sementara di dalam negeri, laporan OECD merupakan suatu sinyal penting tentang perlunya mengembangkan aturan dan sistem perpajakan cryptocurrency.
*Artikel ini merupakan artikel yang diikutsertakan dalam Lomba Resensi Jurnal untuk memeriahkan HUT ke-14 DDTC. Simak artikel lainnya di sini.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.