RESENSI JURNAL

Seruan Konsensus Pemajakan Cryptocurrency

Dian Kurniati | Rabu, 21 Juli 2021 | 13:40 WIB
Seruan Konsensus Pemajakan Cryptocurrency

CRYPTOCURRENCY terus berkembang di tengah masih sangat terbatasnya regulasi yang mengaturnya. Pada saat bersamaan, aspek perpajakan cryptocurrency masih menjadi topik perdebatan karena belum ada definisi pasti sebagai mata uang atau peristiwa kena pajak.

Anshu Khanna dalam publikasinya berjudul Taxing Cryptocurrency: A Review and a Call for Consensus mengulas pentingnya semua yurisdiksi membuat regulasi yang efektif mengenai mata uang virtual tersebut. Pengaturan yang dibutuhkan itu tidak terkecuali dari sisi pemajakannya.

Dunia mengenal cryptocurrency sebagai uang digital yang menggunakan teknik enkripsi untuk menghasilkan unit mata uang dan memverifikasi transfer dananya. Cryptocurrency juga tidak membutuhkan bantuan bank sentral dalam transaksi seperti lazimnya mata uang fiat.

Baca Juga:
Bappebti Ungkap 75 Persen Pelanggan Aset Kripto Berusia 18-35 Tahun

Cryptocurrency kerap dianggap sebagai sebagai 'sarang' spekulasi keuangan lantaran nilainya yang sangat fluktuatif. Pada Januari 2021, valuasinya sangat tinggi, yakni senilai US$32.000 atau sekitar Rp464 juta. Padahal, pada Mei 2011, valuasinya hanya US$1 atau Rp14.500.

Bitcoin menjadi cryptocurrency yang pertama. Namun, kini ada sekitar 5.000 mata uang virtual di dunia, termasuk Litecoin, Ethereum, dan Ripple. Para ahli mengestimasi penggunaan cryptocurrency akan terus tumbuh sehingga regulasi, termasuk implikasi pajaknya, harus dipikirkan.

Ada persamaan dan perbedaan cara yurisdiksi di seluruh dunia memperlakukan cryptocurrency. Argentina, Australia, dan Thailand menganggap cryptocurrency sebagai mata uang digital, sedangkan Kanada, China, dan Taiwan menyebutnya sebagai komoditas virtual.

Baca Juga:
Susun Pengaturan Kuasa dan Konsultan Pajak, Buku Ini Bisa Jadi Acuan

Sementara itu, Jerman menyebut cryptocurrency sebagai token kripto, sedangkan Swiss sebagai token pembayaran. Lain halnya dengan Italia dan Lebanon yang menganggap cryptocurrency sebagai mata uang virtual, Honduras dan Meksiko memperlakukannya sebagai aset virtual

Hingga saat ini, beberapa negara telah membuat regulasi tentang perlakuan pajak terhadap cryptocurrency. Otoritas pajak Amerika Serikat telah menerbitkan pemberitahuan yang mengharuskan wajib pajak mengakui keuntungan atau kerugian atas pertukaran cryptocurrency dengan uang tunai atau properti lainnya.

Keuntungan dan kerugian diakui setiap kali cryptocurrency dijual atau digunakan untuk membeli barang atau jasa. Besarnya keuntungan atau kerugian tersebut tergantung pada jenis transaksi yang dilakukan dan lamanya posisi dipegang (kepemilikan).

Baca Juga:
Benarkah Pajak Minimum Global Mendukung Kesetaraan Antarnegara?

Di Jepang, bisnis pertukaran cryptocurrency diatur di bawah UU Layanan Pembayaran. Penjualannya semula dikenakan pajak konsumsi. Namun, ketentuan itu berubah sejak 2017.

Semua pendapatan cryptocurrency akan dikategorikan sebagai pendapatan lain-lain untuk tujuan pajak dan dapat dikenakan pajak hingga 55%. Pada wajib pajak luar negeri, akan dikenakan tarif pajak final 20% atas penghasilan yang harus dibayarkan saat meninggalkan Jepang.

Sementara di China, pemerintah tidak mengakui cryptocurrency sebagai alat pembayaran yang sah. Negara ini belum mengesahkan undang-undang apapun yang mengatur uang virtual tersebut.

Baca Juga:
Volume Transaksi Terus Naik, Pajak dari Kripto Tembus Rp942,88 Miliar

Meski demikian, otoritas menyatakan pendapatan yang diperoleh wajib pajak orang pribadi dengan membeli mata uang virtual dan menjualnya kepada orang lain dengan mark-up akan dikenakan pajak penghasilan (PPh). Adapun PPh akan dihitung dan dibayarkan sesuai dengan aturan untuk pendapatan transfer properti.

Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) merilis laporan tentang perpajakan cryptocurrency pada Oktober 2020. Laporan itu memberikan analisis komprehensif tentang pendekatan dan kesenjangan kebijakan yang melibatkan jenis utama pajak meliputi pendapatan, konsumsi, dan pajak properti.

Regulator selama ini merasa kesulitan mengembangkan kebijakan pajak yang kuat untuk cryptocurrency karena kurangnya kontrol terpusat, anonimitas semu, kesulitan penilaian, karakteristik hibrida, dan evolusi teknologi yang cepat. Tantangan itu dihadapi negara maju dan berkembang, termasuk Indonesia.

Baca Juga:
Transaksi Aset Kripto Januari-Oktober 2024 Tembus Rp475,13 Triliun

OECD juga menilai perlu ada pembahasan tentang mata uang virtual tersebut mengingat berbagai negara memperlakukan transaksinya dengan cara yang berbeda sehingga tingkat kepatuhan pajak menjadi rendah.

Secara umum, OECD mengklasifikasi cryptocurrency ke dalam tiga kategori utama berdasarkan pada fungsi ekonominya. Ketiganya adalah token pembayaran, token untuk mengakses layanan atau sistem infrastruktur tertentu, dan token keamanan yang dapat diperdagangkan. Laporan OECD kemudian berfokus pada cryptocurrency sebagai mata uang virtual atau token pembayaran.

Menurut OECD, terdapat tiga perlakuan pajak yang dapat dilakukan terhadap cryptocurrency yakni PPh, pajak properti, dan pajak pertambahan nilai (PPN). Regulator harus memastikan mereka menawarkan panduan spesifik dan jelas mencakup semua peristiwa siklus cryptocurrency, pembuatan, pertukaran, penyimpanan, pembuangan, kehilangan atau pencurian, serta layanan terkait seperti alat tukar.

Baca Juga:
Setorkan Sendiri PPh 22, Penjual Kripto Harus Lapor SPT Masa Unifikasi

Secara bersamaan, regulator juga harus mempertimbangkan masalah yang muncul seperti hard fork, mata uang digital bank sentral, dan token berbunga. Panduan ini harus menunjukkan bagaimana bentuk lain dari cryptocurrency karena diperlakukan untuk tujuan pajak.

Di sisi lain, OECD mendukung pengenalan aturan de minimis untuk menjaga transaksi cryptocurrency yang kecil tidak dikenakan pajak.

Hadirnya regulasi yang efektif dan terkoordinasi terasa makin mendesak seiring dengan terus berkembangnya cryptocurrency. Regulasi itu setidaknya harus memuat standar yang jelas untuk pajak dan pelaporan uang virtual tersebut.

Baca Juga:
Pengembalian Kelebihan PPN Atas Aset Kripto Bakal via Skema Restitusi

Laporan OECD menjadi langkah awal yang memberikan kejelasan dan panduan untuk mengembangkan kebijakan yang lebih besar di tingkat regional atau global. Oleh karena itu, pembuat kebijakan di beberapa negara anggota kerangka inklusif perlu menindaklanjuti setiap saran dan rekomendasi pada laporan tersebut.

Secara internasional, panduan, aturan, dan regulasi tambahan juga dibutuhkan untuk mengatasi keberadaan mata uang virtual yang berubah dengan cepat. Sementara di dalam negeri, laporan OECD merupakan suatu sinyal penting tentang perlunya mengembangkan aturan dan sistem perpajakan cryptocurrency.

*Artikel ini merupakan artikel yang diikutsertakan dalam Lomba Resensi Jurnal untuk memeriahkan HUT ke-14 DDTC. Simak artikel lainnya di sini.


Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Selasa, 03 Desember 2024 | 19:00 WIB ASET KRIPTO

Bappebti Ungkap 75 Persen Pelanggan Aset Kripto Berusia 18-35 Tahun

Selasa, 03 Desember 2024 | 15:11 WIB RESENSI BUKU

Susun Pengaturan Kuasa dan Konsultan Pajak, Buku Ini Bisa Jadi Acuan

Jumat, 29 November 2024 | 17:15 WIB RESENSI JURNAL

Benarkah Pajak Minimum Global Mendukung Kesetaraan Antarnegara?

BERITA PILIHAN
Kamis, 26 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK DAERAH

9 Jenis Pajak Daerah Terbaru yang Ditetapkan Pemkot Sibolga

Kamis, 26 Desember 2024 | 10:30 WIB KILAS BALIK 2024

Januari 2024: Ketentuan Tarif Efektif PPh Pasal 21 Mulai Berlaku

Kamis, 26 Desember 2024 | 10:00 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Kredit Investasi Padat Karya Diluncurkan, Plafonnya Capai Rp10 Miliar

Kamis, 26 Desember 2024 | 09:30 WIB PENGAWASAN BEA CUKAI

Libur Natal dan Tahun Baru, Bea Cukai Perketat Pengawasan di Perairan

Kamis, 26 Desember 2024 | 09:00 WIB CORETAX SYSTEM

Fitur Coretax yang Tersedia selama Praimplementasi Terbatas, Apa Saja?

Kamis, 26 Desember 2024 | 08:45 WIB BERITA PAJAK HARI INI

PPN 12 Persen, Pemerintah Ingin Rakyat Lebih Luas Ikut Bayar Pajak

Kamis, 26 Desember 2024 | 08:30 WIB KOTA BATAM

Ada Pemutihan, Pemkot Berhasil Cairkan Piutang Pajak Rp30 Miliar

Kamis, 26 Desember 2024 | 08:00 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Bagaimana Cara Peroleh Diskon 50 Persen Listrik Januari-Februari 2025?

Rabu, 25 Desember 2024 | 15:00 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Pemerintah akan Salurkan KUR Rp300 Triliun Tahun Depan