RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa Inkonsistensi Penghitungan PPN Impor Sisa Bahan Baku

DDTC Fiscal Research and Advisory | Jumat, 19 November 2021 | 17:45 WIB
Sengketa Inkonsistensi Penghitungan PPN Impor Sisa Bahan Baku

RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa atas inkonsistensi penghitungan pajak pertambahan nilai (PPN) impor atas sisa bahan baku yang dilakukan wajib pajak.

Otoritas pajak menyatakan penghitungan PPN impor atas sisa bahan baku dilakukan berdasarkan pada harga rata-rata barang. Sebaliknya, wajib pajak berpendapat penghitungan PPN atas sisa bahan baku ditentukan berdasarkan pada harga jual.

Pada tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan menolak permohonan banding yang diajukan wajib pajak. Selanjutnya, di tingkat PK, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan PK yang diajukan wajib pajak.

Baca Juga:
Februari 2024: Wajib Pajak Bereaksi karena Potongan PPh 21 Lebih Besar

Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan Mahkamah Agung atau Perpajakan DDTC.

Kronologi
WAJIB pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan dari otoritas pajak. Terhadap permohonan banding tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak menyatakan terdapat inkonsistensi penghitungan PPN impor yang dilakukan wajib pajak.

Inkonsistensi penghitungan PPN impor tersebut dapat ditemukan dalam surat permohonan keberatan dengan surat permohonan banding.

Baca Juga:
PPN 12 Persen, Pemerintah Ingin Rakyat Lebih Luas Ikut Bayar Pajak

Kemudian, Majelis Hakim berpendapat penghitungan PPN impor atas sisa bahan baku yang dilakukan otoritas pajak telah sesuai dengan Pasal 13 ayat (1) huruf c Keputusan Menteri Keuangan No. 580/KMK.04/2003 tentang Tata laksana Kemudahan Impor Tujuan Ekspor dan Pengawasan s.t.d.d Peraturan Menteri Keuangan No. 111/PMK.010/2006.

Oleh karena itu, Majelis Hakim Pengadilan Pajak tidak dapat meyakini kebenaran argumentasi serta dasar penghitungan wajib pajak beserta bukti-bukti pendukung yang disampaikannya. Majelis Hakim Pengadilan Pajak menilai koreksi yang dilakukan otoritas pajak telah benar dan dapat dipertahankan.

Berdasarkan pada pertimbangan tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan menolak permohonan banding yang diajukan wajib pajak. Dengan keluarnya Putusan Pengadilan Pajak No. Put-51917/PP/M.XVB/16/2014 tanggal 16 April 2014, wajib pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 24 Juli 2014.

Baca Juga:
Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Pokok sengketa dalam perkara ini adalah koreksi dasar pengenaan pajak (DPP) PPN barang dan jasa atas impor barang kena pajak (BKP) senilai Rp112.144.395 yang dipertahankan Majelis Hakim Pengadilan Pajak.

Pendapat Pihak yang Bersengketa
PEMOHON PK menyatakan keberatan atas koreksi yang dilakukan Termohon PK dan pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Dalam perkara ini, Pemohon PK melakukan impor atas limbah/scrap sisa proses produksi dari bahan baku yang mendapatkan fasilitas KITE dan dijual kembali di dalam daerah pabean.

Pemohon PK menyatakan penghitungan PPN Impor yang tercantum dalam surat permohonan keberatan dan surat permohonan banding yang diajukan kepada Termohon PK memang berbeda. Perbedaan penghitungan tersebut dikarenakan ketidakpahaman Pemohon PK atas aturan perpajakan yang berlaku.

Baca Juga:
Apa Itu Barang Tidak Kena PPN serta PPN Tak Dipungut dan Dibebaskan?

Menurut Pemohon PK, penghitungan PPN atas impor sisa bahan baku seharusnya didasarkan pada harga jual ditambah bea masuk. Pendapat Pemohon PK tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 20 UU No. 8 Tahun 1983 s.t.d.d. UU No. 18 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN) yang menyatakan penghitungan PPN mengacu pada nilai impor dari dasar penghitungan bea masuk yang berupa harga jual.

Setelah Pemohon PK memahami aturan perpajakan yang berlaku, Pemohon PK melakukan penghitungan kembali jumlah PPN impor yang harus dipungut. Dengan demikian, penghitungan PPN impor yang dilakukan Pemohon PK sudah benar dan sesuai peraturan yang berlaku.

Sebaliknya, Termohon PK menilai penghitungan PPN impor atas sisa bahan baku seharusnya dilakukan berdasarkan harga rata-rata barang. Pendapat Termohon PK tersebut telah sesuai dengan ketentuan Pasal 23 ayat (1) huruf c Keputusan Menteri Keuangan No. 129/KMK.04/2003. Dengan demikian, koreksi yang dilakukan Termohon PK sudah benar dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku.

Baca Juga:
Sempat Menolak, PDIP Kini Berbalik Dukung PPN 12 Persen

Pertimbangan Majelis Hakim
MAHKAMAH Agung berpendapat alasan-alasan permohonan PK dapat dibenarkan. Putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan menolak permohonan banding wajib pajak tidak dapat dibenarkan. Terdapat 2 pertimbangan Mahkamah Agung sebagai berikut.

Pertama, koreksi DPP PPN atas impor BKP senilai Rp112.144.395 tidak dapat dibenarkan. Setelah meneliti dan menguji kembali dalil-dalil para pihak, pendapat Pemohon PK tidak dapat menggugurkan fakta-fakta dan melemahkan bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan serta pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak.

Kedua, dalam perkara ini, Mahkamah Agung menyatakan bahwa penghitungan PPN dalam putusan Pengadilan Pajak tidak tepat. Oleh karena itu, koreksi yang dilakukan Termohon PK tidak dapat dibenarkan karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan pada pertimbangan di atas, permohonan PK dinilai cukup beralasan sehingga Mahkamah Agung menyatakan mengabulkan permohonan PK. Dengan demikian, Termohon PK dinyatakan sebagai pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara. (kaw)

(Disclaimer)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Kamis, 26 Desember 2024 | 14:00 WIB KILAS BALIK 2024

Februari 2024: Wajib Pajak Bereaksi karena Potongan PPh 21 Lebih Besar

Kamis, 26 Desember 2024 | 08:45 WIB BERITA PAJAK HARI INI

PPN 12 Persen, Pemerintah Ingin Rakyat Lebih Luas Ikut Bayar Pajak

Rabu, 25 Desember 2024 | 13:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

BERITA PILIHAN
Kamis, 26 Desember 2024 | 14:30 WIB KPP PRATAMA BENGKULU SATU

Mobil Rp200 Juta Disita KPP, Bakal Dilelang Kalau Utang Tak Dilunasi

Kamis, 26 Desember 2024 | 14:00 WIB KILAS BALIK 2024

Februari 2024: Wajib Pajak Bereaksi karena Potongan PPh 21 Lebih Besar

Kamis, 26 Desember 2024 | 13:30 WIB CORETAX SYSTEM

Jelang Coretax Diterapkan, PKP Bakal Perlu Bikin Sertel Baru

Kamis, 26 Desember 2024 | 13:00 WIB PROVINSI JAWA TIMUR

Opsen Berlaku 2025, Pemprov Turunkan Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan

Kamis, 26 Desember 2024 | 12:30 WIB ADMINISTRASI PAJAK

PKP Risiko Rendah Diterbitkan SKPKB, Kena Sanksi Kenaikan atau Bunga?

Kamis, 26 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK DAERAH

9 Jenis Pajak Daerah Terbaru yang Ditetapkan Pemkot Sibolga

Kamis, 26 Desember 2024 | 10:30 WIB KILAS BALIK 2024

Januari 2024: Ketentuan Tarif Efektif PPh Pasal 21 Mulai Berlaku

Kamis, 26 Desember 2024 | 10:00 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Kredit Investasi Padat Karya Diluncurkan, Plafonnya Capai Rp10 Miliar

Kamis, 26 Desember 2024 | 09:30 WIB PENGAWASAN BEA CUKAI

Libur Natal dan Tahun Baru, Bea Cukai Perketat Pengawasan di Perairan

Kamis, 26 Desember 2024 | 09:00 WIB CORETAX SYSTEM

Fitur Coretax yang Tersedia selama Praimplementasi Terbatas, Apa Saja?