Ilustrasi gedung DJP.
JAKARTA, DDTCNews – Pemerintah berencana mengubah besaran imbalan bunga yang diberikan kepada wajib pajak. Rencana pemerintah ini menjadi bahasan beberapa media nasional pada hari ini, Selasa (10/9/2019).
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak (DJP) Hestu Yoga Saksama mengatakan pemerintah tengah mempertimbangkan penggunaan suku bunga acuan Bank Indonesia sebagai dasar perhitungan besaran imbalan bunga.
Dengan demikian, hal tersebut akan sejalan dengan rencana pemerintah yang mengubah besaran sanksi administratif perpajakan yang akan dituangkan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian.
“Kami sedang mempertimbangkan formula untuk imbalan bunga berdasarkan besaran suku bunga, tetapi seperti apa formulasinya, kita lihat nanti ya,” ujarnya.
Dalam UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), imbalan bunga akan diberikan kepada wajib pajak apabila pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan peninjauan kembali dikabulkan sebagian atau seluruhnya.
Imbalan bunga tersebut sebesar 2% per bulan untuk paling lama 24 bulan. Imbalan bunga juga diberikan atas surat keputusan pembetulan, surat keputusan pengurangan ketetapan pajak, atau surat keputusan pembatalan ketetapan pajak yang dikabulkan sebagian atau seluruhnya.
Selain itu, beberapa media nasional juga menyoroti laporan terbaru OECD bertajuk ‘Tax Policy Reforms 2019’. OECD melihat pemangkasan tarif pajak perusahaan yang telah berlanjut di beberapa negara. Namun, pemangkasannya sudah kurang signifikan daripada yang diperkenalkan pada 2018.
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Dalam laporan terbaru bertajuk ‘Tax Policy Reforms 2019’, OECD memaparkan pemangkasan tarif pajak perusahaan justru dilakukan negara-negara yang memiliki tarif pajak awal lebih tinggi. Hal ini mengarah ke konvergensi lebih lanjut dalam tarif pajak perusahaan di seluruh negara.
Untuk Indonesia, Partner DDTC Fiscal Research B. Bawono Kristiaji mengingatkan agar pemerintah tidak sekadar latah dalam pengambilan keputusan pemangkasan tarif PPh badan. Investor, sambungnya, akan mempertimbangkan beasaran beban pajak yang secara actual diterima investor atau effective tax rate.
Effective tax rate ini bisa jadi lebih rendah dari tarif PPh badan yang tercantum dalam UU. Hal ini dikarenakan adanya rezim khusus atas suatu transaksi, pembebasan pajak dividen, depresiasi dipercepat, dan sebagainya.
Ketua Badan Otonom Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Tax Center Ajib Hamdani berpendapat pemerintah seharusnya mengupayakan insentif perpajakan yang hanya berada di tataran perubahan peraturan pemerintah (PP) atau peraturan menteri keuangan (PMK). Hal ini penting agar insentif bisa cepat dieksekusi.
“Misalnya, tentang evaluasi ulang jenis-jenis PPh final. Ketentuan ini masih bisa ditinjau ulang lewat revisi PP atau PMK terkait,” katanya.
Pemerintah India berjanji menyamakan tarif bea masuk produk minyak kelapa sawit olahan impor (refined bleached deodorized palm oil/RBDPO) dari Malaysia dan Indonesia. Selama ini India mengenakan tarif bea masuk yang berbeda yakni 45% untuk produk asal Malaysia dan 54% untuk produk asal Indonesia.
Nantinya bea masuk produk minyak sawit olahan dari Malaysia akan dinaikkan sehingga sama dengan tarif bea masuk produk sejenis asal Indonesia. Rencana kebijakan ini diperkirakan akan mulai terealisasi pada 2019.
Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Henry Najoan berharap kenaikan tarif cukai industri hasil tembakau tahun depan mengikuti angka inflasi saja. Hal ini karena kinerja industri tembakau sedang lesu. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.