Ilustrasi. (Kemenkeu)
JAKARTA, DDTCNews – Badan Kebijakan Fiskal (BKF) mendapat tanggung jawab untuk merancang revisi Undang-Undang (UU) Pajak Penghasilan (PPh) dan UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN). UU PPN akan diusulkan berubah menjadi RUU Pajak atas Barang dan Jasa.
Pemberian tanggung jawab itu tertuang dalam Matriks Kerangka Regulasi Kemenkeu Tahun 2020-2024 yang ada dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 77/PMK.01/2020. Ditjen Pajak (DJP) dan Sekretariat Jenderal (Setjen) menjadi unit terkait dengan revisi dua payung hukum tersebut.
“Rencana Strategis Unit Eselon I dan Rencana Strategis Unit Organisasi Non-Eselon yang bertanggung jawab langsung kepada Menteri Keuangan ditetapkan melalui Keputusan Pimpinan Unit Organisasi berkenaan, paling lambat dua bulan setelah Rencana Strategis Kementerian Keuangan ditetapkan,” demikian bunyi penggalan Pasal 5 PMK tersebut, dikutip pada Jumat (3/7/2020).
RUU Pajak atas Barang dan Jasa akan menata ulang perlakuan pajak atas barang dan jasa dengan membatasi pemberian fasilitas serta mengatur ulang batasan pengusaha kena pajak (PKP). Cara tersebut dilakukan dalam rangka meningkatkan basis pajak PPN.
“Dengan tax base PPN yang semakin luas, potensi penerimaan pajak akan semakin meningkat sehingga kebutuhan belanja APBN dapat lebih dipenuhi dari penerimaan pajak," tulis Kemenkeu dalam Rencana Strategis Kemenkeu 2020-2024.
Pada UU PPN, terdapat banyak jenis barang maupun jasa yang tidak dikenai PPN. Barang yang dimaksud antara lain barang hasil pertambangan, barang kebutuhan pokok yang dibutuhkan rakyat, makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, sejenisnya, serta uang, emas batangan, dan surat berharga.
Cakupan jasa yang tidak dikenai PPN juga cukup luas mulai dari jasa pelayanan medis, keuangan, pelayanan sosial, tenaga kerja, perhotelan, penyediaan tempat parkir, hingga katering.
Terkait batasan PKP, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 197/2013 telah mengatur batasan omzet PKP terhitung sejak 2014 adalah senilai Rp4,8 miliar, jauh meningkat dibandingkan ketentuan sebelumnya Rp600 juta.
Untuk revisi UU PPh, Kemenkeu tidak menerangkan terlalu banyak mengenai urgensi dari revisi payung hukum tersebut. Otoritas hanya menyebut UU PPh perlu direvisi untuk meningkatkan sumber penerimaan negara yang lebih berkelanjutan melalui perluasan basis pajak dan peningkatan kepatuhan.
Meski demikian, Kemenkeu juga menuliskan adanya urgensi untuk mengatur pemajakan atas transaksi lintas yurisdiksi yang menurut renstra berpotensi meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan memperbaiki iklim usaha dengan peraturan perpajakan yang lebih sederhana, adil, dan berkepastian hukum. Simak pula artikel ‘Revisi Paket UU Perpajakan Masuk Renstra 2020-2024, Ini Penjelasannya’. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.