Ketua Ikatan Akuntan Indonesia Kompartemen Akuntan Perpajakan (IAI KAPj) sekaligus Direktur Perpajakan Internasional Ditjen Pajak John Hutagaol dalam acara webinar bertajuk Strategi Pencegahan Dan Penyelesaian Sengketa Pajak Transfer Pricing Melalui MAP dan APA, Rabu (18/11/2020). (foto: hasil tangkapan layar dari medsos)
JAKARTA, DDTCNews –Seiring dengan perkembangan meningkatnya transaksi lintas batas negara, isu transfer pricing dalam konteks perpajakan dinilai makin penting, terutama dalam mencegah basis pemajakan tergerus.
Direktur Perpajakan Internasional Ditjen Pajak (DJP) John Hutagaol mengatakan 60% transaksi internasional yang dilakukan oleh korporasi multinasional adalah transaksi yang memiliki hubungan istimewa atau related party transaction.
"Transfer pricing menjadi isu perpajakan bila praktik tersebut berdampak pada basis pemajakan. Oleh karena itu, otoritas pajak di berbagai negara menyiapkan perangkat peraturan melalui anti-avoidance rule," katanya, Rabu (18/11/2020).
Dalam webinar bertajuk Strategi Pencegahan Dan Penyelesaian Sengketa Pajak Transfer Pricing Melalui MAP dan APA, John menilai praktik transfer pricing saat ini makin rumit seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan globalisasi ekonomi.
Pada level internasional, isu tersebut lantas ditindaklanjuti melalui Inclusive Framework yang mendapat mandat dari G20 untuk mendesain standar perpajakan internasional dan aggressive tax planning yang dapat menggerus basis pemajakan.
John menuturkan Indonesia memiliki komitmen yang kuat untuk mengimplementasikan standar pajak global dengan mengadopsi Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) Action 8-10, 13, dan 14 ke dalam ketentuan perpajakan Indonesia.
Secara lebih terperinci, BEPS Action 8-10 saat ini telah diadopsi Indonesia dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 22/2020 yang mengatur tentang advance pricing agreement (APA).
Selanjutnya, BEPS Action 13 juga telah diadopsi pada PMK No. 213/2016 mengenai dokumentasi transfer pricing. Adapun BEPS Action 14 telah diadopsi melalui PMK No. 49/2019 yang mengatur mengenai mutual agreement procedure (MAP).
"MAP ini dapat memberikan kepastian kepada wajib pajak yang melakukan transaksi lintas negara dan mencegah pajak berganda dengan memberikan corresponding adjustment," ujar John yang juga menjabat Ketua Ikatan Akuntan Indonesia Kompartemen Akuntan Perpajakan (IAI KAPj).
Sementara itu, Kasubdit Penanganan dan Pencegahan Sengketa Perpajakan Internasional DJP Dwi Astuti menjelaskan APA memiliki peran untuk memberikan kepastian hukum kepada wajib pajak yang melakukan transaksi afiliasi.
Dengan APA, risiko terjadinya sengketa transfer pricing dapat dimitigasi. DJP selaku otoritas juga mendapatkan manfaat dengan adanya kepastian perlakuan perpajakan atas transaksi afiliasi. Bahkan, SDM otoritas pajak juga dapat dialokasikan untuk tugas lainnya.
"Melalui APA wajib pajak dengan sendirinya memiliki cooperative compliance dan kami dari DJP bisa mengurangi alokasi SDM untuk pemeriksaan dan pengusaha makin senang berinvestasi di Indonesia," ujar Dwi. (rig)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.