KEBIJAKAN PAJAK

PPnBM Itu Pajak Tambahan, Bukan Bentuk Lain PPN atas Barang Mewah

Redaksi DDTCNews | Jumat, 13 Desember 2024 | 10:33 WIB
PPnBM Itu Pajak Tambahan, Bukan Bentuk Lain PPN atas Barang Mewah

Ilustrasi. 

JAKARTA, DDTCNews - Indonesia mengenakan PPnBM sebagai pajak tambahan (selain PPN) atas penyerahan atau impor barang kena pajak (BKP) yang tergolong mewah.

Dengan demikian, PPnBM bukan merupakan ‘bentuk lain’ PPN atas barang mewah. Namun, sederhananya, atas penyerahan atau impor barang mewah yang sudah dikenai PPN juga bisa dikenai PPnBM. Hal ini yang sudah diatur dalam undang-undang.

“Di samping pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) … , dikenai juga pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) …,” bunyi penggalan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atau yang kerap disebut UU PPN.

Baca Juga:
Sempat Menolak, PDIP Kini Berbalik Dukung PPN 12 Persen

Adapun sesuai dengan pasal tersebut, PPnBM dikenakan terhadap 2 hal. Pertama, penyerahan BKP yang tergolong mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang menghasilkan barang tersebut di dalam daerah pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya. Kedua, impor BKP yang tergolong mewah.

Berdasarkan pada Penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU PPN, pengenaan PPnBM dilakukan dengan beberapa pertimbangan. Pertama, perlu keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang berpenghasilan rendah dan konsumen yang berpenghasilan tinggi.

Kedua, perlu adanya pengendalian pola konsumsi atas BKP yang tergolong mewah. Ketiga, perlu adanya perlindungan terhadap produsen kecil atau tradisional. Keempat, perlu untuk mengamankan penerimaan negara.

Baca Juga:
Keputusan yang Dikirim via Coretax Dianggap Sudah Diterima Wajib Pajak

Masih dalam UU PPN, yang dimaksud dengan barang kena pajak yang tergolong mewah adalah barang yang bukan merupakan barang kebutuhan pokok; barang yang dikonsumsi oleh masyarakat tertentu; barang yang pada umumnya dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi; dan/atau barang yang dikonsumsi untuk menunjukkan status.

Sesuai dengan Pasal 8 UU PPN, tarif PPnBM ditetapkan paling rendah 10% dan paling tinggi 200%. Perbedaan kelompok tarif tersebut didasarkan pada pengelompokan BKP yang tergolong mewah yang dikenai PPnBM. Adapun ekspor BKP yang tergolong mewah dikenai pajak dengan tarif 0%.

Adapun perincian jenis BKP mewah itu telah dibagi menjadi 2 kelompok, yakni kendaraan bermotor dan selain kendaraan bermotor. Peraturan yang menjadi landasan hukum juga sudah mengalami perubahan beberapa kali. Simak ‘Pasang Surut Pengenaan PPnBM di Indonesia’.

Baca Juga:
Hingga November, Kanwil DJP Jakbar Kumpulkan Pajak Rp57,67 Triliun

Pengaturan untuk kendaraan bermotor pada saat ini termuat dalam PMK 141/2021 s.t.d.d PMK 42/2022 dengan rentang tarif PPnBM sebesar 10%-95%. Sementara untuk nonkendaraan bermotor termuat dalam PMK 96/2021 s.t.d.d PMK 15/2023 dengan rentang tarif PPnBM sebesar 20%-75%.

Pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tidak memperhatikan siapa yang mengimpor Barang Kena Pajak tersebut serta tidak memperhatikan apakah impor tersebut dilakukan secara terus-menerus atau hanya sekali saja.

Masih berdasarkan pada Penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU PPN, pengenaan PPnBM tidak memperhatikan apakah suatu bagian dari BKP tersebut telah dikenai atau tidak dikenai PPnBM pada transaksi sebelumnya.

Baca Juga:
WP Bisa Akses Aplikasi Coretax Mulai Hari Ini, Fiturnya Masih Terbatas

Adapun pengertian ‘menghasilkan’ adalah kegiatan:

  • merakit, yaitu menggabungkan bagian-bagian lepas dari suatu barang menjadi barang setengah jadi atau barang jadi, seperti merakit mobil, barang elektronik, dan perabot rumah tangga;
  • memasak, yaitu mengolah barang dengan cara memanaskan baik dicampur bahan lain maupun tidak;
  • mencampur, yaitu mempersatukan 2 atau lebih unsur (zat) untuk menghasilkan satu atau lebih barang lain;
  • mengemas, yaitu menempatkan suatu barang ke dalam suatu benda untuk melindunginya dari kerusakan dan/atau untuk meningkatkan pemasarannya; dan
  • membotolkan, yaitu memasukkan minuman atau benda cair ke dalam botol yang ditutup menurut cara tertentu;

serta kegiatan lain yang dapat dipersamakan dengan kegiatan itu atau menyuruh orang atau badan lain melakukan kegiatan tersebut.

Selain itu, pengertian umum dari pajak masukan hanya berlaku pada PPN dan tidak dikenal pada PPnBM. Oleh karena itu, PPnBM yang telah dibayar tidak dapat dikreditkan dengan PPnBM yang terutang.

Baca Juga:
Jelang Tutup Tahun, Realisasi Pajak Kanwil Khusus Capai 95% Target

Sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat (2) UU PPN, PPnBM dikenakan hanya 1 kali pada waktu penyerahan BKP yang tergolong mewah oleh pengusaha yang menghasilkan atau pada waktu impor BKP yang tergolong mewah.

“Penyerahan pada tingkat berikutnya tidak lagi dikenai PPnBM,” bunyi penggalan Penjelasan Pasal 5 ayat (2) UU PPN.

Seperti diketahui, rencananya, kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% hanya akan diberlakukan untuk barang-barang mewah yang dikenai PPnBM. Artinya, untuk barang yang tidak dikenai tambahan pajak berupa PPnBM, PPN-nya tetap 11%.

Baca Juga:
Ini Aturan Terbaru Pengkreditan Pajak Masukan Sebelum Pengukuhan PKP

Namun, pemerintah masih melakukan kalkulasi. Dalam waktu dekat, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bersama Menko Perekonomian Airlangga Hartarto akan mengumumkan keputusan final mengenai PPN ini. Simak ‘Soal PPN 12%, Begini Penjelasan Lengkap Sri Mulyani Hari Ini’.

Adapun ulasan mengenai PPN ini juga ada dalam 4 buku DDTC. Pertama, Konsep Dasar Pajak: Berdasarkan Perspektif Internasional. Kedua, Konsep dan Studi Komparasi Pajak Pertambahan Nilai. Ketiga, Desain Sistem Perpajakan Indonesia: Tinjauan atas Konsep Dasar dan Pengalaman Internasional. Keempat, Gagasan Perpajakan untuk Prabowo-Gibran. (kaw)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Selasa, 24 Desember 2024 | 19:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Sempat Menolak, PDIP Kini Berbalik Dukung PPN 12 Persen

Selasa, 24 Desember 2024 | 18:00 WIB KANWIL DJP JAKARTA BARAT

Hingga November, Kanwil DJP Jakbar Kumpulkan Pajak Rp57,67 Triliun

Selasa, 24 Desember 2024 | 17:27 WIB CORETAX SYSTEM

WP Bisa Akses Aplikasi Coretax Mulai Hari Ini, Fiturnya Masih Terbatas

BERITA PILIHAN
Selasa, 24 Desember 2024 | 21:30 WIB CORETAX SYSTEM

Simak! Keterangan Resmi DJP Soal Tahapan Praimplementasi Coretax

Selasa, 24 Desember 2024 | 19:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Sempat Menolak, PDIP Kini Berbalik Dukung PPN 12 Persen

Selasa, 24 Desember 2024 | 18:00 WIB KANWIL DJP JAKARTA BARAT

Hingga November, Kanwil DJP Jakbar Kumpulkan Pajak Rp57,67 Triliun

Selasa, 24 Desember 2024 | 17:27 WIB CORETAX SYSTEM

WP Bisa Akses Aplikasi Coretax Mulai Hari Ini, Fiturnya Masih Terbatas

Selasa, 24 Desember 2024 | 17:00 WIB PMK 81/2024

Ini Aturan Terbaru Pengkreditan Pajak Masukan Sebelum Pengukuhan PKP

Selasa, 24 Desember 2024 | 16:30 WIB PROVINSI SUMATERA SELATAN

Realisasi Pajak Rokok di Sumsel Tak Capai Target, Ini Penyebabnya

Selasa, 24 Desember 2024 | 16:00 WIB CORETAX SYSTEM

Nanti Ada Coretax, Masih Perlu Ajukan Sertifikat Elektronik?

Selasa, 24 Desember 2024 | 15:00 WIB KPP PRATAMA KOSAMBI

Utang Pajak Rp632 Juta Tak Dilunasi, Mobil WP Akhirnya Disita KPP