Hadi Poernomo.
JAKARTA, DDTCNews—Hadi Poernomo akhirnya bisa bernapas lega karena perjuangannya menggugat Laporan Hasil Audit Investigasi Inspektorat Bidang Investigasi (LHA IBI) Inspektorat Jenderal (Itjen) Kementerian Keuangan sejak ia ditersangkakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 21 April 2014 sudah tuntas.
Hal tersebut ditandai dengan ditolaknya Peninjauan Kembali (PK) Itjen Kemenkeu oleh Mahkamah Agung (MA). Rapat permusyawaratan Majelis Hakim yang terdiri atas M. Syarifuddin, Irfan Fachruddin, dan Is Sudaryono sepakat menolak PK yang dimohonkan Itjen Kemenkeu itu pada 13 Agustus 2018.
MA juga sekaligus menghukum Itjen membayar biaya perkara Rp2,5 juta. Tidak cuma menolak PK-nya, Majelis Hakim juga secara tegas menyebutkan bahwa tindakan hukum Itjen menerbitkan keputusan LHA IBI Nomor LAP-33/IJ.9/2010 tanggal 17 Juni 2010 tersebut cacat hukum, karena pemeriksaannya sudah lewat daluwarsa.
Pokok tentang daluwarsa dari LHA IBI tentang Dugaan Penyalahgunaan Wewenang oleh Pejabat/ Pegawai DJP dalam Proses Pemeriksaan dan Keberatan PT BCA tersebut luput disebutkan Majelis Kasasi yang mengadili sebelumnya. Lalu, apa komentar Hadi Poernomo, mantan Dirjen Pajak sekaligus mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan, atas kemenangannya yang telak ini?
“Inilah proses hukum, Mas. Seperti yang saya katakan sewaktu pertama kali saya ditersangkakan oleh KPK beberapa tahun lalu. Saya waktu itu mengatakan kepada wartawan, saya akan ikuti proses hukum yang berlaku. Dan inilah proses hukum tersebut,” katanya kepada DDTCNews.
Dengan paripurnanya urusan hukum itu sendiri—karena setelah PK berarti sudah tidak ada upaya hukum lagi—Hadi berpesan agar ke depan Kemenkeu, khususnya Itjen lebih berhati-hati dalam menangani atau menyelidiki perkara-perkara yang terkait pajak.
Semua urusan hukum ini, katanya, sudah menjadi bahan pengingat yang sangat penting bagi Itjen dan Kemenkeu agar ke depan lebih berhati-hati. Kekuasaan yang dimiliki Kemenkeu, sambungnya, tidak boleh digunakan secara semena-mena.
“Hal-hal seperti ini seharusnya dipahami oleh Kemenkeu. Bahwa keputusan keberatan dalam perpajakan itu bukan putusan yang final. Dan pemeriksaan pajak tidak berlaku untuk hal-hal yang sudah lewat daluwarsa. Ini yang menjadi poin pentingnya,” kata Hadi.
PK itu diawali dengan gugatan Hadi ke Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN) Jakarta, tapi tidak diterima pada 25 Januari 2015 dengan Nomor 176/G/2015/PTUN-JKT. Selanjutnya Hadi banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN), yang juga tidak diterima pada 14 Juni 2016 dengan Nomor 112/B/2016/PT.TUN.JKT.
Namun, pada kasasi berikutnya yang ajukan Hadi ke MA, dua putusan pengadilan sebelumnya itu dibatalkan pada 30 Desember 2016, dengan Nomor 482 K/TUN/2016. Setelah itu, giliran Itjen mengajukan PK, yang kemudian ditolak pada 13 Agustus 2018 dengan Nomor 194 PK/TUN/2017. (Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.